BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Hadȋts merupakan unsur terpenting didalam Islam yang martabatnya
menempati posisi kedua setelah Al-Qur’ȃn dari sebagian Hukum-Hukum Islam
yang lainnya. Dalam artian, apabila suatu masalah itu tidak ditemukan dasar
Hukumnya didalam Al-Qur’ȃn, maka seseorang harus kembali kepada Hadȋts
Rosȗlullȃh ShollAllȃhu ‘Alaihi Wasallam.
Dalam
prakteknya tidak dapat dipungkiri bahwa banyak masalah yang secara umum tidak
dimuat didalam Al-Qur’ȃn tetapi ketentuannya dapat kita temukan didalam Hadȋts
Rosȗlullȃh ShollAllȃhu ‘Alaihi Wasallam. Dalam hal ini tidaklah
mengherankan mengingat kitab suci Al-Qur’ȃn didalamnya hanya memuat
ketentuan-ketentuan umum serta prinsip-prinsip dasar dan garis-garis besar yang
riciannya terdapat didalam Hadȋts Rosȗlullȃh ShollAllȃhu ‘Alaihi
Wasallam.[1]
Kemudian
dalam perkembangannya masalah yang dihadapi Umat semakin pelik dan senantiasa
ada sepanjang zaman. Sekiranya Al-Qur’ȃn memuat masalah yang kecil-kecil
dan bersifat lokal saja, tentu penyajiannya kurang sejalan dengan roda
perkembangan zaman. Padahal dalam keyakinan kita Al-Qur’ȃn senantiasa
relevan dengan setiap situasi dan tempat dan menjadi pegangan umat Islam hingga
Akhir zaman. Oleh sebab itulah Al-Qur’ȃn tidak memuat cara membuat
mobil, pesawat, kapal dll. Sebab masalah yang seperti ini sifatnya temporal dan
senantiasa akan selalu berkembang sejalan dengan perkembangan zaman.[2]
Oleh
karena itu masalah yang tidak terinci didalam Al-Qur’ȃn pada umumnya
kita temukan pembahasannya didalam Hadȋts Nabi Rosȗlullȃh
ShollAllȃhu ‘Alaihi Wasallam, baik itu yang menyangkut umpamanya masalah
seperti Sholat, zakat, Haji, puasa yang kesemuanya merupakan Rukun Islam, tidak
diterangkan secara detail didalam Al-Qur’ȃn tetapi dijelaskan melalui
keterangan Hadȋts Nabi Rosȗlullȃh ShollAllȃhu ‘Alaihi Wasallam.
Demikian pula aturan Mu’ȃmalat dan Transaksi, hukum pidana dan
aturan moral dan lainnya. Dari sinilah kita dapat melihat bahwa Hadȋts
begitu besar perannya dalam mengokohkan sendi-sendi islam, sehingga tidak
berlebihan sekiranya dikatakan bahwa bagian terbesar dari konsep Islam didapati
melalui Hadȋts Nabi Rosȗlullȃh ShollAllȃhu ‘Alaihi Wasallam.
Dikalangan
para pengkaji Islam banyak yang berpendapat bahwa Hadȋts dan Ilmu
Hadȋts termasuk pengetahuan yang sangat sulit. Pernyataan ini
memang cukup logis dan beralasan, mengingat bahwa setidak-tidaknya bagi mereka
yang belum memahami dengan baik sejarah Hadȋts itu sendiri, baik
sejarah penghimpunannya serta berbagai istilah dan kaedah didalam disiplin Ilmu
Hadȋts, metode dalam meneliti sebuah Hadȋts, sampai
dalam mencapai suatu pemahaman terhadap Hadȋts (Fiqhul
Hadȋts) sehingga kesemuanya bermuara kepada pemahaman
yang utuh sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Nabi SAW, sehingga tidak
mengherankan didalam memahami suatu Hadȋts memakan waktu yang
relatif lama dibanding Ilmu yang lain.[3]
Oleh sebab
itulah tidak jarang menjadikan seorang yang mengkaji Islam bersikap enggan
kalau tidak dikatakan malas untuk mengkaji Hadȋts beserta
disiplin Ilmunya. Sebab lain yang menjadi faktor adalah karena Hadȋts
Nabi tidak terdapat dalam satu kitab saja melainkan sampai Ribuan kitab Hadȋts
baik yang besar-besar sampai yang kecil dan cukup banyak ragamnya, baik dilihat
dari Nama penghimpunnya, Metodologi penghimpunannya, masalah yang
dikemukakannya, sampai bobot kualitasnya semuanya satu sama lain cukup beragam.[4]
Adakalanya apabila seseorang itu membaca Hadȋts Rasulullah Rosȗlullȃh ShollAllȃhu ‘Alaihi Wasallam, ditemuinya lafadz-lafadz
Hadȋts yang menggusarkan fikirannya. Hadȋts - Hadȋts tersebut kelihatan aneh dan sulit apabila diukur dengan sains, ilmu
kedokteran modern, logika, sampai kepada kesulitan dalam memahami makna yang
sesungguhnya dari Matan Hadȋts sehingga menimbulkan
berbagai spekulasi . Hadȋts seperti ini disebut
sebagai Hadȋts musykȋl.[5]
Hadȋts musykȋl ini adakalanya memberi kesan yang negatif kepada umat, dan ada sebagian
umat menjadi ragu akan kebenaran Hadȋts - Hadȋts tersebut manakala sebagian lain menjadikannya salah satu faktor untuk
menolak Hadȋts secara keseluruhan dari syari‘at Islam.
Sebenarnya ke- musykȋl -an
yang timbul dari Hadȋts seperti ini hanyalah
merupakan perspektif awal seseorang. Ia bukanlah merupakan sesuatu yang hakiki.
Musykȋl atau tidak sesuatu Hadȋts itu sangat bergantung
kepada arah perspektif seseorang dan kadar ilmu yang digunakannya sebagai bahan
ukuran. Bukankah ke- musykȋl -an itu sendiri sesuatu yang relatif.
Demikian juga dengan Hadȋts Rasulullah Rosȗlullȃh
ShollAllȃhu ‘Alaihi Wasallam. Adakalanya sesebuah Hadȋts dianggap musykȋl dari sudut sains padahal Hadȋts tersebut tidak ada kena mengena dengan ilmu sains atau ilmu sains
itu sendiri yang belum mantap. Adakalanya sesebuah Hadȋts dianggap musykȋl dari sudut ilmu pengobatan modern padahal ilmu pengobatan
itu sendiri adalah sesuatu yang senantiasa dinamis selaras dengan peradaban
manusia.
Kesempurnaan yang
menjadikan kaum Muslimin semakin mengikatkan diri mereka kepada keimanan terhadap
Allah adalah dengan mempercayai (Beriman) terhadap seluruh yang diwahyukan Oleh
Allah SWT (Al-Qur’ȃn), dan apa yang disampaikan oleh Nabi SAW (Hadȋts).
Diantara tanda-tanda kebenaran akan kenabian Rosȗlullȃh ShollAllȃhu ‘Alaihi
Wasallam adalah berita-berita Ghô’ib tentang masa depan. Oleh karena
itu kita dapati didalam Al-Qur’ȃn penuh akan informasi itu, baik yang
diberitakan secara rinci maupun secara Umum. Begitu juga dengan
Informasi-informasi tentang hal yang Ghô’ib
yang terdapat didalam Hadȋts Nabi ShollAllȃhu ‘Alaihi Wasallam
jika benar itu dari Nabi ShollAllȃhu ‘Alaihi Wasallam maka kita Wajib
untuk mempercayainya,dan inilah yang menjadi fokus penulis didalam penelitian
ini.
Didalam
memahami Hadȋts yang bersifat Ghô’ib dan mengandung makna
yang Musykȋl terutama ketika Hadȋts itu berisi tentang
kejadian yang baik maupun yang buruk terhadap keadaan suatu kelompok, maka tidak
jarang adanya klaim-klaim, baik itu klaim untuk mendukung pendapat dan Madzhab
tertentu maupun Klaim untuk menjelekkan menghancurkan identitas kelompok
tertentu sampai-sampai mereka membuat-buat Hadȋts palsu untuk
memperkuat Hujjah mereka.
Terhadap Hadȋts
palsu, tentu kita tidak perlu mempersoalkannya, karena sudah jelas itu
bukan berasal dari Nabi Rosȗlullȃh ShollAllȃhu ‘Alaihi Wasallam, dan
menjadikannya sebagai Hujjah untuk mendukung dan menghakimi
kelompok lain tentu tidak layak. Tetapi yang menjadi persoalannya adalah ketika
ada suatu Hadȋts yang derajadnya bukan saja Ahȃd
tetapi “Mutawȃtir” difahami secara Kontroversi dikalangan Umat Islam.
Salah satunya adalah Hadȋts yang menjadi objek penelitian ini
adalah yang sebagaimana terdapat didalam Shohîh Al-Bukhôri pada
No Hadȋts 7094 berbunyi:
حدثنا علي بن عبد الله حدثنا
أزهر بن سعد عن ابن عون عن نافع عن ابن عمر قال
: ذكر النبي صلى الله عليه و سلم ( اللهم بارك
لنا في شأمنا اللهم بارك لنا في يمننا ) . قالوا يا رسول الله وفي نجدنا ؟ قال (
اللهم بارك لنا في شأمنا اللهم بارك لنا في يمننا ) . قالوا يا رسول الله
وفي نجدنا ؟ فأظنه قال في الثالثة ( هناك الزلازل والفتن وبها يطلع قرن الشيطان )
Artinya: Telah menceritakan
kepada kami ‘Alî Bin ‘Abdillâh menceritakan kepada kami Azhar Bin Sa’ad dari Ibnu
‘Aun dari Nâfi’ dari Ibnu ‘Umar yang berkata Nabi ShollAllȃhu
‘Alaihi Wasallam bersabda: “Ya
Allah berilah keberkahan kepada kami, pada Syam kami dan berilah keberkahan
kepada Yaman kami”. Para sahabat berkata “dan juga Najd kami?”. Ya Allah
berilah keberkahan kepada kami, pada Syam kami dan berilah keberkahan kepada
Yaman kami”. Para sahabat berkata “dan juga Najd kami?”kira-kira beliau
mengulanginya tiga kali, kemudian Beliau bersabda “disana muncul kegoncangan
dan fitnah, dan disanalah akan muncul tanduk setan”. (HR.Shahih
Bukhari )[6]
Hadȋts ini diriwayatkan secara Bi Al-
Ma’na dari segi Matan dengan berbagai macam Lafazh yang secara umum diantaranya adalah:
حدثنا
بشر بن آدم بنت أزهر السمان حدثني جدي أزهر السمان عن ابن عون عن نافع عن ابن عمر
: أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال اللهم بارك لنا في شأمنا اللهم بارك لنا
في يمننا قالوا وفي نجدنا قال اللهم بارك لنا في شأمنا وبارك لنا في يمننا وفي
نجدنا قال هناك الزلازل والفتن وبها أو قال منها يخرج قرن الشيطان
Dengan
tambahan Lafazh وبها
أو قال منها يخرج قرن الشيطان
Didalam
Muwattho’ Imâm Mâlik no Hadȋts 168.[8]
حَدَّثَنِي مَالِك عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُشِيرُ إِلَى الْمَشْرِقِ وَيَقُولُ
هَا إِنَّ الْفِتْنَةَ هَاهُنَا إِنَّ الْفِتْنَةَ هَاهُنَا مِنْ
حَيْثُ يَطْلُعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ
Pada
redaksi Matan diatas Imâm Mâlik tidak mencantumkan Do’a Nabi untuk Negeri Syam dan Negeri
Yaman tetapi redaksi diatas menceritakan tentang keadaan Negeri Masyriq.
Berdasarkan Lafazh pada Matan Hadȋts diatas, Sebagian kalangan seperti: Lembaga Bahtsul
Masâ’il Nakhdhotul ‘Ulamâ’ pimpinan Cabang Jember (LBM
NU PC. Jember)[9], Sayyid Ahmad Bin Sayyid Zaini Dahlan[10], Syeikh Idahram[11],dll mengaitkan Lafazh pada Matan Hadȋts ““disana muncul kegoncangan dan fitnah, dan
disanalah akan muncul tanduk setan” dengan pen-da’wah yang selama ini kita kenal dengan jamâ’ah Salafi, Wahhâbi,
atau salafi Wahhâbi.[12] Artinya menurut mereka Kegoncangan dan Fitnah yang dimaksud
adalah Gerakan Salafi Wahhâbi, dan Nejd yang dimaksud oleh Hadȋts tersebut adalah Negara Saudi Arabia sekarang, sedangkan Tanduk
setan tersebut adalah Syeikh Muhammad Bin ‘Abdul Wahhâb.
Kalaulah Najd yang dimaksud adalah Najd Hijâz (Saudi Arabia) dan diantara Tanduk Setan tersebut adalah Syaikh Muhammad
ibn Abdul Wahhâb sedangkan kegoncangan dan
Fitnah adalah Salafi Wahhabi maka konsekuensi logisnya adalah “Salafi Wahhâbi”
merupakan “Ajaran Setan” dan pengikutnya adalah
“Setan Manusia” dan
konsekuensi logisnya lagi adalah “Anti Salafi Wahhâbi” dan meyakini bahwa Haramain (Makkah
dan Madinah) telah dikuasai oleh “Syaitân”. Apakah ini tidak bertentangan
dengan sekian banyak dalil yang menyatakan bahwa Syaitân tidak mampu memasuki Makkah dan
Madinah yang merupakan benteng
terakhir Ummat Islam?
Ditampilkannya Kajian yang
dilakukan oleh kelompok dan individu diatas adalah sebagian dari fenomena yang
terjadi ditengah tubuh Umat Islam yakni ketika
memahami dari maksud Hadȋts tersebut manakala selanjutnya menjadikan Hadȋts tersebut sebagai Argumen mereka untuk memojokkan kelompok
yang berseberangan dengan kelompoknya.
Berdasarkan polemik tentang
maksud Hadȋts diatas,dirasakan sangat perlu untuk menganalisa lebih dalam
apakah Hadȋts tersebut benar seperti yang difahami oleh ‘Ulamâ’ dari sebagian Kalangan Umat Islam tersebut? atau Hadȋts diatas mempunyai maksud yang
tidak ada sangkut pautnya dengan yang selama ini diarahkan kepada Jama’ah Salafi Wahhâbi. Dan yang lainnya adalah
apakah Nejd yang ada didalam Hadȋts tersebut adalah Negara Arab Saudi atau masih ada Nejd yang
lain yang dimaksudkan oleh Nabi. Didalam penelitian ini penulis ingin
menganalisa melalui kitab-kitab yang Mu’tabâr dan Mu’tamâd terutama kitab-kitab Syarah Hadȋts yang menjelaskan mengenai Hadȋts tersebut sehingga diperoleh
pemahaman yang benar dan jelas mengenai Hadȋts tersebut (Fiqhul Hadȋts). Dengan ini maka judul
penelitian ini adalah: KAJIAN FIQHUL HADȊTS TENTANG “FITNAH TANDUK SETAN DARI
NEGERI MASYRIQ (NEJED)”
B.
Alasan Pemilihan Judul
Adapun Yang memotivasi untuk melakukan
penelitian lebih dalam dan Kaffah terhadap
Makna Lafazh Hadȋts Diatas adalah:
a.
Melihat Polemik yang terdapat
pada kelompok yang saling berseberangan ini terutama sangat terlihat pada
karya-karya mereka ketika memahami Hadȋts ini.
b.
Dan yang paling terpenting dari alasan penulis adalah
ketika Hadȋts ini dipahami secara salah dan keliru karena sifat
ta’assub (Fanatik) terhadap kelompok maupun individu tertentu,maka akan
membawa kepada konsekuensi yang mengakibatkan perpecahan dan konflik-konflik
yang tidak diinginkan.
C. Penegasan Istilah
Untuk menghindari ke salah fahaman
dalam memahami penelitian ini, maka perlu dicantumkan penegasan Istilah agar
supaya tidak rancu dalam memahami kata demi kata maupun kalimat perkalimat.
Istilah-Istilah tersebut adalah:
1.
Fiqhul Hadȋts,
Fiqhul Hadȋts dalam
pembahasan ini lebih kepada Makna Fiqih secara bahasa yakni berarti : “pemahaman”
sebagaimana diterangkan didalam Al-Qur’ȃn Surat An-Nisâ’ Ayat 78.[13] Selain
itu istilah Fiqhul Hadȋts sebenarnya sudah dikenal oleh para ‘Ulamâ’
hanya saja Istilah ini tidaklah sepopuler istilah Ma’ani Al- Hadȋts,
dan Syarah Hadȋts. Tetapi istilah Fiqhul Hadȋts
bisa dijumpai didalam kitab para ‘Ulamâ’ seperti: Dr. Yûsuf Al-Qorodhôwi
dalam kitabnya “ Kaifa Nata’amal Ma’a As-Sunnah” dll.
2.
Matan Hadȋts,
pengertian Matan secara bahasa adalah diambil dari kata
Al-Mumaatanaat (المما
تنة) yang Artinya: “Jauh
Tujuannya” atau dari kata Al-Matan (المتن) yang berarti: “ Bagian dari tanah tinggi yang keras”.[14]
Dan secara Istilah adalah: Lafazh Hadȋts Materi Hadȋts,
Redaksi Hadȋts atau Kalam yang diakhiri oleh sanad yang terakhir.[15]
3.
Masyriq, Arti Masyriq secara Bahasa berasal dari akar kata ” شرق “ yang artinya :
“ Timur”,[16]
Jadi Masyriq secara Harfiyah adalah: “Tempat Terbit Matahari yakni Timur
“ sebagaimana didalam Al-Qur’ȃn Surat Asy-Syu’araa’ ayat28.[17]
Dari
penjelasan Istilah kata kunci dalam penelitian ini, maka yang dimaksud oleh
penulis dengan judul : KAJIAN FIQHUL HADÎTS TENTANG “FITNAH TANDUK SETAN DARI NEGERI MASYRIQ
(NEJED)” Adalah:
pemahaman yang benar terhadap Makna Hadȋts
Fitnah Negeri Tanduk setan dari Negeri Masyriq (Timur/Tempat
terbit Matahari) kajian Lafazh Matan Hadȋts (Fiqhul Hadȋts).
D.
Batasan Masalah
Agar tidak melebar, masalah dalam penelitian ini perlu dibatasi.
Sebab, jika tidak dibatasi, masalah tersebut mungkin tidak sesuai dengan
kemampuan penulis, baik dari segi pengetahuan, Ekonomi, maupun Waktu. Selain
itu, hasilnya pun akan dangkal sehingga tidak terwujud penelitian yang kokoh
dan mendalam. Disini akan dibatasi kepada kitab-kitab Hadȋts yang
Mu’tamâd dan Mu’tabâr yang mewakili masing-masing kategori kitab
seperti yang mewakili Kitab Hadȋts Shohîh adalah: Shohîh
Al-Bukhôri, Shohîh Muslim, dan yang mewakili kitab Sunan
adalah kitab: Sunan Turmudzi, Sunan At-Tabrôni. Dan yang mewakili Kitab Musnad
adalah Musnad Ahmad Bin Hanbal, Musnad Asy-Syâmiyyin dan
terakhir kitab Muwattho’ Imâm Mâlik. Oleh karena itu disini penulis
hanya membatasi pada kajian terhadap Matan Hadȋts dengan
menggunakan kitab-kitab Syarah Hadȋts seperti : Fathul
Bâri, Syarah Muslim Li An-Nawâwi, Tuhfatul Ahwâdzi,
Al-Qobas Syarah Muwattho’,dll Selain itu penulis juga membatasi
Masalah ini hanya kepada pendapat Ahli Hadȋts yang Mu’tabar
Dikalangan Umat Islam, Dan jika nantinya disertakan kajian Sanad-nya, maka
yang dijelaskan hanya secara sepintas tidak terlalu mendetail kepada penilaian Jarh
Wa At-Ta’dîl pada setiap perowi Hadȋts-nya.
E.
Rumusan Masalah
Dalam kaitannya dengan penelitian ini agar lebih terpusat
kepada subtansi masalah yang menjadi pilihan penulis, maka pertanyaan berikut
diharapkan banyak membantu : Bagaimana Pemahaman (Fiqh al- Hadȋts)
tentang Matan Fitnah Tanduk Setan dari Negeri Masyriq (Nejed)
tersebut?
F.
Tujuan dan
Kegunaan Penelitian
Tujuan Utama
penelitian ini adalah untuk menemukan Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan
utama yang tersimpul dalam rumusan masalah. Lebih rinci tujuan itu dapat
diungkapkan sebagai berikut: Untuk Mengetahui maksud
Hadȋts (Fiqhul Hadȋts) tentang Fitnah Tanduk Setan dari Negeri Masyriq tersebut, yakni dengan
melakukan penelitian yang Objektif dengan rujukan utamanya adalah kitab Syarah
Hadȋts.
G.
Manfaat penelitian
Manfaat yang diharapkan dari
penelitian ini setidak-tidaknya adalah:
1.
Memberikan
Gambaran yang utuh dan berimbang tentang kontroversi terhadap Makna Hadȋts
tersebut. Juga Penelitian ini berguna sebagai khazanah ilmu pengetahuan keislaman,
khususnya dibidang disiplin ilmu Hadȋts dan sebagai respon terhadap fenomena-fenomena yang terjadi dimasyarakat.
2.
Untuk melengkapi persyaratan guna memperoleh gelar
keserjanaan pada fakultas Ushûluddin jurusan Tafsîr Hadȋts Universitas Islam Negri Sultan Syarif Kasim Riau.
H.
Tinjauan
Pustaka
Bardasarkan kajian yang sudah ada,sepanjang pencarian, penulis
belum menemukan pembahasan yang secara Khusus dan komperehensif membahas
tentang Hadȋts Fitnah Negeri Tanduk Setan ini, Namun Hadȋts
ini begitu populer ketika kita membaca buku-buku yang yang ditulis oleh
sekelompok orang atau Jama’ah Yang Anti terhadap Gerakan Da’wah Salafi
Wahhâbi, mereka menyerang Da’wah yang yang dikenal dengan sebutan
Salafi Wahhâbi ini dengan membawakan Hadȋts ini sebagai Hujjah
akan kebatilan Da’wah Salafi Wahhâbi, walaupun demikian Hadȋts
Fitnah Tanduk setan ini tidak menjadi pembahasan inti mereka tetapi Hadȋts
ini hanya sebagian kecil dari kajian mereka dan tidak kaffah karena
hanya dijadikan serangan balik kepada Jama’ah
Salafi Wahhâbi. Yang ada kebanyakan tentang sejarah Wahhabi,pemahaman
yang dibawanya,’Aqîdahnya, baik yang pro maupun yang Kontra kesemuanya
bersifat menyerang, menyanggah, klarifikasi, dll. Intinya Kalaupun ada Hadȋts
ini dibawakan itu hanya sekilas dan
tidak menyeluruh dan mendalam. Disini penulis kemukakan kajian-kajian yang
telah ada sepanjang pengtahuan penulis baik yang Pro Maupun Kontra seperti:
1.
Buku “
As-Sunan Al-Wâridah fi Al-Fitan wa Ghowâ’iliha Wa Asy-Syâ’ata Wa Asyrôtiha ”
Karangan Imam Abû ‘Utsmân Bin Sa’id Al-Muqri’ Ad-Dâni, buku ini
mempunyai metodologi yang sangat bagus yakni beliau menerangkan tentang
kualitas sanad tiap-tiap perowi Hadȋts, kemudian menerangkan Syarah
dari Hadȋts. Namun buku ini bukanlah buku Khusus yang yang
membahas Hadȋts yang menjadi objek penelitian ini melainkan
membahas Hadȋts tentang Hadȋts - Hadȋts
Fitnah, Tanda-Tandanya, dll. Sehingga Buku ini cukup besar karena tidak fokus
membahas Hadȋts yang menjadi Objek kajian dalam penelitian ini.
2.
Buku “Takhrîj
Ahâdits Fadhô’il As-Syam wa Dimasqy” karya Syeikh Muhammad
Nasâruddin Al-Albâni, dalam buku ini pengarangnya membahas tentang keutaman
Negeri Syam dan Damasqus dan Hadȋts Fitnah Negeri Tanduk Setan
juga beliau Cantumkan didalam buku ini,
hanya saja pembahasannya hanya sekilas bahwa Negeri Tanduk setan itu
adalah ‘Iraq dan hanya mengutip pendapat Ibnu Hajar Rohimahullâh
Saja.
3.
Buku “Sejarah
Sekte Salafi Wahabi” buah karya dari orang yang berlindung dibalik Nama
Samarannya yakni Syeikh Idahram. Buku ini muncul bersama dua buku
lainnya yang merupakan Trilogy karangan Syeikh Idahram. Didalam buku ini
Syeikh Idahram mengetengahkan pembahasan Hadits ini yakni ketika
memasuki Judul : “Hadȋts - Hadȋts Rosulûllah Tentang Salafi Wahhâbi”
didalam buku ini pengarang memvonis bahwa Hadȋts Fitnah Negeri Tanduk Setan adalah
mereka yang selama ini dikenal dengan Salafi Wahhâbi. Sayang nya
pengarang buku ini tidak objektif ketika melihat Hadȋts ini
karena hanya mengambil dari pemahaman Tokoh-Tokoh yang selama ini terang-terngan
menentang gerakan Wahhâbi dan selain itu pengarang hanya menafsirkan dan
mencocok-cocokkan dengan akal nya saja tanpa menyertakan kitab Syarah
dari Hadȋts yang beliau
ketengahkan.
4.
Buku “ Bersikap
Adil kepada Wahhabi” karya Ustâdz A.M. Waskito. Buku ini
merupakan buku bantahan yang cukup ilmiyah dan bagus sekali untuk bandingan,
buku ini sekaligus serangan balik terhadap buku Trilogy karangan Syeikh
Idahram diatas[18].
Didalam buku nya Ustâdz A.M. Waskito juga menjawab sekaligus menyerang
kembali yakni ketika berbicara mengenai Makna Hadȋts Fitnah Negeri
Tanduk Setan. Didalam buku ini sayangnya penulis juga tidak merujuk kepada
kitab-kitab Syarah dari Hadȋts tersebut tetapi
membantah dan menyerang balik dengan argumaen ‘Aqliyyah. Hal ini mungkin
dilakukan karena Syeikh Idahram juga menjelaskan Makna Hadȋts
tersebut dengan logika semata.tetapi bisa dikatakan Ustâdz A.M. Waskito
Cukup Netral karena dia juga mengkritik Syeikh Idahram juga Mengkritik
Gerakan “Wahhâbi” yang terlalu Ekstrem.
5.
Buku “
Membongkar Kebohongan Buku: Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat dan Dzikir
Syiriq” karya Tim Bahtsul Masâ’il PC NU Jember ini adalah
buku bantahan terhadap buku yang dikarang oleh Ustâdz Mahrus Ali Dengan
judul: “Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat dan Dzikir Syiriq”.
Tim Bahtsul Masâ’il PC NU Jember juga menyerang balik dengan
argumen-argumen yang salah satu nya membawakan Hadȋts Fitnah Negeri
Tanduk Setan dan memvonis bahwa itu adalah Gerakan Wahhâbi. Satu
sisi buku ini sangat bagus untuk perbandingan namun Buku ini juga layak diberi
catatan karena tidak Fair dan Objektif dalam membawakan Maksud Hadȋts
tersebut, karena tidak mengemukakan keterangan yang di ambil dari kitab Syarah
Hadȋts dan hanya mengambil dari ucapan tokoh-tokoh yang selama ini
memang benci terhadap Da’wah Wahhâbi.
6.
Buku “
Sesat Tanpa Sadar” karya Ustâdz Mahrus Ali. Buku ini merupakan
buku jawaban sekaligus gugatan Balik terhadap buku “ Membongkar Kebohongan Buku: Mantan
Kiai NU Menggugat Sholawat dan Dzikir Syiriq” karya Tim LBM PC NU
Jember diatas. Buku sangat bagus untuk dijadikan bahan kajian Ilmiyah karena
buku ini merupakan jawaban sekaligus gugatan untuk kedua kalinya untuk Warga Nakhdhiyyîn.
Didalam buku ini penulis juga mengklarifikasi dari maksud Hadȋts
Fitnah Negeri Tanduk Setan tersebut dan menyatakan bahwa Negeri Tanduk
Setan yang dimaksud adalah Iraq dengan me-nisbah-kan kepada
pendapat Ibnu Hajar Al-‘Asqolâni Rohimahullah tanpa
menyebutkan sumber Rujukan. Sayangnya pembahasan nya tidak sampai satu lembar
hanya setengah lembar saja.
7.
Buku “
Hanya Islam Bukan Wahhabi” Yang di tulis oleh Prof.Dr.Nasr Bin
‘Abdul Karîm Al-‘Aql, dosen ‘Aqîdah dan Aliran-aliran Modern Universitas
Al-Imâm Muhammad Bin Sa’ûd Al-Islâmiyyah. Buku ini sepanjang
pengetahuan penulis merupakan buku yang paling bagus dalam menjelaskan sejarah
gerakan Da’wah Syeikh Muhammad Bin ‘Abdul Wahhâb karena
diterangkan dengan mendetail. Didalam buku ini beliau juga mencantumkan
pembahasan mengenai Hadȋts Fitnah Negeri Tanduk Setan dan
menjelaskan maksud nya dengan membawakan Pendapat Para ‘Ulamâ’ yang
kebanyakan adalah ‘Ulamâ’ sekarang seperti Syeikh Nasaruddin
Al-Albâni, Syeikh Hamûd At-Tuwaijiri dll tanpa merujuk langsung ke kitab
Syarah Hadȋts.
8.
Buku “
Ad-Duroru As-Saniyyah Fi Roddi ‘Ala Al-Wahhâbiyyah” karangan Sayyid
Ahmad Bin Sayyid Zaini Dahlân seorang Mufti Madzhab Syâfi’I
yang tinggal di Makkah. Dalam buku ini beliau juga membawakan Hadȋts Fitnah
Negeri Tanduk Setan dan memvonis bahwa Gerakan Wahhâbi adalah
gerakan Khowârij dan Pengikut setan berdasarkan pemahaman beliau
ber-argumen dengan Hadȋts tersebut. Namun tidak satupun Kitab Syarah
yang beliau Rujuk. Hal ini tidak mengherankan mengingat beliau memang sangat anti
terhadap gerakan Wahhâbi.
Masih banyak pembahasan yang berkaitan dengan Hadȋts
yang penulis teliti tersebut terutama yang bersifat artikel-artikel. Kebanyakan
hanya membahas sekilas dan tidak cukup utuh untuk melihatnya secara mendalam
dan komperehensif mengenai Makna sesungguhnya dari Hadȋts tersebut
(Fiqhul Hadȋts).
Berdasarkan tinjauan diatas maka penelitian ini sangat urgen untuk
di kaji terutama ketika memahami suatu Hadȋts yang dengan Hadȋts
tersebut dijadikan dalil untuk menguatkan pendapat kelompoknya disisi lain
menjadikannya Hujjah untuk menghakimi kelompok tertentu seperti
yang dialami Salâfi Wahhâbi
sehingga pemahaman yang diperoleh tentu akan berdampak besar dengan
konsekuensi yang besar pula. Perlu ditekankan disini bahwa Penelitian ini
tidaklah membahas tentang Salafi Wahhâbi tetapi dengan dicantumkannya
tentang Salafi Wahhâbi hanya untuk membuktikan fenomena-fenomena
berdasarkan kajian-kajian yang telah ada ketika memahami Hadȋts tersebut.
Atas dasar itulah penulis ingin meneliti lebih dalam tentang bagaimana
pemahaman yang sebenarnya terhadap Lafazh Hadȋts tersebut
dengan objektif berdasarkan keilmuan Hadȋts melalui kitab-kitab Mu’tabar
dan Mu’tamad karya para ‘Ulamâ’ Muhadditsîn yang kompeten
dibidangnya. Dalam penelitian ini penulis akan meneliti maksud dan makna
sesungguhnya dari Hadȋts tersebut dengan menggunakan kitab-kitab Syarah
Hadȋts yang Mu’tamâd dan Mu’tabâr karya ‘Ulamâ’
Muhadditsîn
I.
Metodologi Penelitian
Metodologi
penelitian merupakan alat, prosedur, dan Tehnik yang dipilih dalam melaksanakan
penelitian untuk menyimpulkan data. Metodologi menyangkut berbagai hal yang
diperlukan dan digunakan selama penelitian berlangsung. Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (Library
research), oleh karena itu memerlukan beberapa tahap yaitu :
a. Sumber Data
Sumber data dapat dibagi menjadi dua kelompok yang pertama yaitu:
1. Sumber Primer,
yaitu kitab-kitab Hadȋts yang Mu’tamâd dan Mu’tabâr yang
mewakili masing-masing kategori kitab seperti yang mewakili Kitab Hadȋts
Shohîh adalah: Shohîh Al-Bukhôri, Shohîh
Muslim, dan yang mewakili kitab Sunan adalah kitab: Sunan
Turmudzi, Sunan At-Tabrôni. Dan yang mewakili Kitab Musnad adalah Musnad
Ahmad Bin Hanbal, Musnad Asy-Syâmiyyin dan terakhir kitab Muwattho’
Imâm Mâlik. Setelah itu yang paling Utama sekali adalah melihat kepada Kitab-kitab syarah Hadîts seperti: Fathul Bâri, Syarah Muslim Li An-Nawâwi,
Tuhfatul Ahwâdzi, Al-Qobas Syarah Muwattho’ dll. Berdasarkan
pengklasifikasian kitab Hadȋts di atas untuk diketahui makna yang
sesungguhnya dari Hadȋts yang menjadi Objek Penelitian.
2. Sumber Sekunder, yaitu data-data pelengkap
yang berhubungan dengan penelitian ini, antara lain : Tim Bahtsul
Masâ’il PC NU (Nakhdhotul ‘Ulamâ’) Jember, Membongkar Kebohongan
Buku “Mantan Kiyai NU Menggugat Sholawat & Dzikir Syirik” (H. Mahrus Ali),
Surabaya: Khalista,2008. Buku trilogy karangan Syaikh Idahram, Sejarah
Berdarah Sekte Salafi Wahabi “Mereka Membunuh Semuanya termasuk para ‘Ulama’ ”,
judul lainnya yakni: Mereka memalsukan kitab-kitab karya ‘Ulama’ klasik
“episode Kebohongan public Sekte salafi Wahabi”, Kemudian Buku: ‘Ulama’
Sejagat Menggugat salafi wahabi “Mengenal dan mengkritisi penyimpangan
tokoh-tokoh utama mereka: Ibnu Taimiyah,Muhammad bin ‘Abdul Wahhab,Nashiruddin
Al-albani,Ibnu Baz,Ibnu ‘Utsaimin,shalih Ibnu fauzan,dan lain-lain”, dengan
pengarang yang sama. kemudian buku sayyid Ahmad Bin sayyid Zaini dahlân,
Ad-duroru As-Saniyatu fi Roddi ‘Alâ Al-Wahhâbiyah, Ust. AM. Waskito, Bersikap
Adil kepada Wahabi dll.
b.
Tekhnik
pengumpulan dan Analisis data
Untuk pengumpulan data pada penelitian ini penulis menggunakan
dengan cara studi Dokumentasi, dari asal katanya Dokumen yang artinya:
“Barang-Barang Yang tertulis”[19]
yang dimaksud dengan Dokumentasi disini adalah seperti: Kitab-kitab Hadȋts,
kitab Syarah Hadȋts ,Buku-buku yang menjadi sumber Sekunder yang
membantu dalam penelitian ini, serta Artikel-Artikel sekedar menambah data. Sesuai dengan konsep diatas,
maka langkah-langkah Analisis Data Yang akan ditempuh ialah sebagai berikut:
1.
Menetapkan
judul yang akan diteliti.
2.
Kemudian
mengumpulkan kitab-kitab Hadȋts, Syarah sesuai dengan
Bidang kajian yang akan dibahas dalam penelitian ini.
3.
Selanjutnya
dipilah-pilah sesuai kitab yang diperlukanakan dalam kajian ini yang mana
meliputi delapan Kitab Hadȋts dan kitab-Kitab Syarah-nya.
4.
Memaparkan Hadȋts
yang diteliti baik dari segi Sanad Dan Matan serta keterangan
dari berbagai kalangan ‘Ulamâ’ terhadap Makna Hadȋts baik
dari kitab Syarah dan Kitab Kajian lainnya.
5.
Menganalisa
baik Status Hadȋts, sekaligus men-Tarjîh Pendapat
yang lebih kuat terhadap Makna Hadȋts yang diteliti (Kajian Fiqhul
Hadȋts).
6.
Mengambil
kesimpulan.
J. Sistematika Penulisan
Penelitian ini dilakukan dengan langkah-langkah
yang sistematis dan terarah agar hasilnya dapat diperoleh secara optimal.
Pembahasan di sini meliputi bab, yaitu :
Bab Pertama : Merupakan Bab Pendahuluan yang terdiri dari: Latar
Belakang Masalah, Alasan pemilihan judul, Penegasan Istilah, Batasan Masalah,
Rumusan Masalah,Tujuan dan Kegunaan Penelitian,Manfaat penelitian,Tinjauan Kepustakaan,
Metodologi Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
Bab Kedua : Merupakan Bab Tinjauan
Umum tentang Hadȋts dan Fiqih Hadȋts meliputi : Defenisi Hadȋts, penjelasan Fiqhul
Hadȋts dikalangan ‘Ulamâ’ .
Bab Ketiga : Merupakan
Bab Penyajian Data, yang dimaksud disini adalah menyajikan secara utuh dan
menyeluruh baik Objek Hadȋts yang diteliti maupun pendapat ‘Ulamâ’
dari berbagai kalangan terhadap Hadȋts tersebut.
Bab
Keempat : Adalah Analisa terhadap
Hadȋts yang menjadi objek kajian dengan data yang meliputi pengajian Sanad dan Matan Hadȋts dan Men-Tarjîh
Pendapat ‘Ulamâ’ terhadap makna Hadits : Kajian Fiqhul Hadȋts.
Bab Kelima : Penutup, merupakan hasil kajian secara keseluruhan dalam bentuk
kesimpulan dan saran-saran.
BAB II
TINJAUAN UMUM
TENTANG HADÎTS DAN FIQHUL HADȊTS
A.
Pengertian Hadîts, Sunnah, Khabar, dan Atsar.
1. Pengertian Hadȋts.
Menurut bahasa kata Hadȋts memiliki arti;
a) Al-jadȋd min Al-asyyâ’ (sesuatu yang baru),
lawan dari qodȋm. Hal ini mencakup sesuatu (perkataan), baik banyak ataupun sedikit.[20]
c) Khabar
(kabar, berita,
Warta), yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari
seseorang kepada orang lain dan ada kemungkinan benar atau salahnya.[22]
Jamaknya adalah hudtsan,
hidtsan dan ahâdits.[23]
Adapun Hadȋts
menurut istilah Ahli Hadȋts
hampir sama (murodif) dengan Sunnah, yang mana keduanya
memiliki arti segala sesuatu yang berasal dari Rasul. Akan tetapi kalau kita
memandang lafadz Hdȋts secara umum Maka Sunnah lebih umum daripada Hadȋts.[24]
Menurut ahli ushul, Hadȋts adalah segala pekataan Rosul, perbuatan dan taqrir beliau yang
bisa bisa dijadikan dalil bagi hukum syar'i.[25] Oleh
karena itu, menurut ahli ushȗl sesuatu yang tidak ada sangkut pautnya
dengan hukum tidak tergolong Hadȋts, seperti urusan pakaian.[26]
2. Pengertian Sunnah.
Sunnah menurut bahasa adalah perjalanan (jalan yang ditempuh), baik terpuji atau
tidak.[27]
Jamaknya adalah Sunan.[28]
Sunnah menurut istilah Muhadditsȋn
adalah segala sesuatu yang berasal dari Nabi baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir,
sifat, kelakuan, maupun perjalanan hidup, baik setelah diangkat Jadi Rosul
ataupun sebelumnya.[29]
Sunnah menurut istilah Ahli ushul
fiqh adalah segala sesuatu yang berasal dari Nabi-selain Al Qur'ân-
baik berupa perkataan, perbuatan, ataupun taqrir yang bisa dijadikan dalil bagi
hukum syar'i.[30]
Sunnah menurut istilah Fuqoha
adalah sesuatu yang diterima dari Nabi Muhammad, yang bukan
fardlu ataupun wajib.[31]
3. Pengertian Khabar
Khabar menurut bahasa adalah
berita yang disampaikan dari seseorang kepada orang lain.[32]
Khabar menurut Muhadditsin
adalah warta dari Nabi, Shahabat, dan Tabi'in. oleh karena itu, Hadȋts
marfu', mauquf, dan maqthu' bisa dikatakan sebagai khabar.
Dan menurutnya khabar murodif dengan Hadȋts.[33]
Sebagian ulama berpendapat
bahwasannya Hadȋts dari Rosul, sedangkan khabar dari
selain Rosul. Dari pendapat ini, orang yang meriwayatkan Hadȋts
disebut Muhadditsin dan orang yang meriwayatkan sejarah dan yang
lain disebut Akhbari.[34]
Adapun secara terminologi terdapat perbedaan pendapat terkait definisi khabar,
yaitu:
1.
Kata khabar sinonim dengan Hadȋts;
2.
Khabar adalah perkataan, tindakan, dan ketetapan seseorang selain Nabi Muhammad.
Sedangkan Hadȋts adalah perkataan, tindakan, dan ketetapan Nabi
Muhammad.
3.
Khabar mempunyai arti yang lebih luas dari Hadits. Oleh karena itu, setiap Hadȋts
dapat disebut juga dengan khabar. Namun, setiap khabar belum tentu dapat
disebut dengan Hadȋts.[35]
4. Pengertian Atsar.
Secara etimologi atsar
berarti Sesuatu yang
tersisa.[36] Sedangkan secara terminologi ada dua pendapat mengenai definisi atsar
ini. Pertama, kata atsar sinonim dengan Hadȋts. Kedua, atsar
adalah perkataan, tindakan, dan ketetapan Shahâbat.[37]
B.
Struktur Hadȋts
Pengertian Sanad, Matan, dan Mukharrij.
Suatu Hadȋts
tidak terlepas dari beberapa unsur yang terkandung di dalamnya. Tanpa
unsur-unsur tersebut, maka status dan validitas suatu Hadȋts
patut untuk dipertanyakan. Beberapa unsur yang menjadi pertimbangan untuk
menilai kesahihan sebuah Hadȋts itu antara lain matan, sanad,
isnad dan mukharrij.
Adapun arti sanad secara etemologi adalah tempat bersandar.[38]
Sedangkan secara terminologi adalah
Jalan yang sampai kepada Matan.[39]
Atau rangkaian perawi yang sampai kepada Matan.
Pengertian Matan secara bahasa adalah bagian dari tanah tinggi yang keras.[40] Secara
istilah adalah:
Kalam yang di akhiri dengan Sanad yang terakhir.[41] Lebih sederhananya matan adalah bentuk redaksional sebuah Hadȋts.
Mukhorrij adalah orang yang
menyebutkan perawi Hadȋts.[42] Istilah
ini berbeda dengan al-muhaddits yang artinya orang yang
mempunyai keahlian tentang proses perjalanan Hadȋts serta
megetahui nama-nama perawi, redaksi, dan kelemahan Hadȋts.[43] Dalam
hal ini ia lebih tinggi apabila dibandingkan dengan al-musnid.[44] Orang
yang sedang bergelut dengan Hadȋts dapat digologkan menjadi
beberapa tingkatan antara lain sebagai berikut:
2.
Al-Muhaddits adalah orang yang mendalami dan menganalisis Hadȋts dari
segi riwâyat dan dirôyat.[46]
5.
Al-Hâkim adalah orang yang menguasai hal-hal yang berhubungan dengan Hadȋts
secara keseluruhan baik ilmu maupun mustolâh Al- Hadȋts.[49]
6.
Amîrul Mu’minîn Fî Al-Hadȋts ( Gelar ini
merupakan Gelar tertinggi dikalangan perawi Hadȋts).[50]
Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh dibawah ini:
حدثنا
محمد بن المثنى قال حدثنا حسين بن الحسن قال حدثنا ابن عون عن نافع عن ابن عمر
قال : اللهم بارك لنا في شامنا وفي يمننا.
قال قالوا وفي نجدنا ؟ قال قال اللهم بارك لنا في شامنا وفي يمننا . قال قالوا وفي
نجدنا . ؟ قال قال هناك الزلازل والفتن وبها يطلع قرن الشيطان .(رواه البخارى)
Sanad adalah :
حدثنا محمد بن المثنى قال حدثنا حسين
بن الحسن قال حدثنا ابن عون عن نافع عن ابن عمر قال
Matan adalah :
اللهم بارك لنا في شامنا وفي يمننا.
قال قالوا وفي نجدنا ؟ قال قال اللهم بارك لنا في شامنا وفي يمننا . قال قالوا وفي
نجدنا . ؟ قال قال هناك الزلازل والفتن وبها يطلع قرن الشيطان
Mukharrij adalah :
رواه البخارى
C.
Cara mengukur ke Shohîh-an Hadȋts.
Untuk mengetahui suatu Hadȋts
itu apakah shahih atau tidak, kita bisa melihat dari
beberapa syarat yang telah tercantum dalam sub yang menerangkan Hadȋts
shahîh. Apabila dalam syarat-syarat yang ada pada Hadȋts
shahîh tidak terpenuhi, maka secara otomatis tingkat Hadȋts
itu akan turun dengan sendirinya. Semisal kita meneliti sebuah Hadȋts, kemudian kita temukan salah satu dari perawi Hadȋts tersebut
dalam kualitas intelektualnya tidak sempurna. Dalam artian tingkat dhobith-nya berada pada tingkat kedua, maka dengan sendirinya Hadȋts
itu masuk dalam kategori Hadȋts shahîh
lighoirihi. Dan apabila ada sebuah Hadȋts yang setelah kita
teliti kita tidak menemukan satu kelemahan pun dan tingkatan para perawi Hadȋts
juga menempati posisi yang pertama , maka Hadȋts itu dikatakan
sebagai hadits shahîh lidzâtihi.
Untuk Hadȋts
shahîh lighoirihi kita bisa merujuk pada
ketentuan-ketentuan yang termuat dalam pengertian dan kriteria-kriteria Hadȋts
hasan lidzâtihi. Apabila Hadȋts itu terdapat beberapa jalur maka Hadȋts
itu akan naik derajatnya menjadi Hadȋts shahîh lighoirihi.
Dengan kata lain kita dapat menyimpulkan apabila ada Hadȋts hasan
akan tetapi Hadȋts itu diriwayatkan oleh beberapa rawi dan
melalui beberapa jalur, maka dapat kita katakana Hadȋts tersebut
adalah Hadȋts shahîh lighoirihi.
Adapun derajat Hadȋts
hasan sama dengan Hadȋts shahîh
dalam segi ke hujjahan-nya, sekalipun dari sisi kekuatannya
berada di bawah Hadȋts shahîh. Oleh karena
itu mayoritas ‘Ulama’
berpendapat bahwa Hadȋts hasan tetap dijadikan
sebagai hujjah dan boleh mengamalkannya.[51]
D. Hal-
Hal yang berhubungan dengan Matan
1. Kajian Syudzûdz
dalam analisis matan Hadȋts
a. Pengertian Syudzûdz.
Secara umum definisi Syudzûdz adalah suatu kejanggalan yang dapat menciderai
derajat kualitas suatu Hadȋts. Batasan suatu Hadȋts
dikatakan mengandung syâdz masih menjadi perbedaan diantara ‘ulama. Namun inti dari syâdz
adalah “penyendirian dan perlawanan”.[52]
Misalnya Hadȋts yang diriwayatkan seorang tsiqah
bertentangan dengan riwayat orang yang lebih tsiqah darinya,[53]
sehingga Hadȋts tersebut dianggap mengandung kejanggalan. Dalam
prakteknya, kajian syudûdz berpengaruh pada aspek penelitian sanad,
karena penentuan Syudzûdz adalah berdasarkan perbandingan kualitas
antara dua orang perawi.[54]
b. Cara menentukan Syudzûdz
Al-Hadȋts.
Parameter yang
dipergunakan dalam analisis Syudzûdz adalah dengan menggunakan dalil naql
(Al-Qur’ân dan Al-Hadȋts). Sedangkan salah satu
metode menentukan ada atau tidaknya Syudzûdz dalam suatu Hadȋts
dapat dengan cara mendatangkan Hadȋts yang satu tema atau Hadȋts
yang sama namun dari jalur lain untuk diperbandingkan.[55]
2. Kajian ‘Illat dalam analisis Matan Hadȋts.
Illat secara bahasa adalah:
Penyakit yang menjalar. Bentuk jamaknya adalah Illât.[56] Secara
sederhana yakni Cacat yang tersembunyi
tersebut dapat terjadi pada Sanad, Matan ataupun juga pada
keduanya.[57]
Dari ketiga faktor tersebut, aspek Sanad yang paling banyak menjadi
penyebab adanya cacat Hadȋts ini,[58] dan
cacat dari segi Matan hanya sedikit.[59] Ibnu Katsîr
menyebut bahwa Ilmu ini merupakan ilmu yang tersembunyi dari kebanyakan Ahli Hadȋts,[60]
artinya tidak banyak Ahli Hadȋts
yang menguasai Ilmu ini. Hal tersebut karena untuk
menemukan Illat (cacat) yang terkandung
dalam Hadȋts ini membutuhkan pengetahuan yang
luas dan ingatan yang kuat tentang sanad, matan, urutan dan
derajat perawi Hadȋts.
E.
Kerangka Umum Fiqhul Hadȋts.
1. PENGERTIAN FIQHUL HADÎTS
Kata Fiqh
(فقه),
yang secara bahasa berarti “mengetahui sesuatu dan memahaminya” juga disebut Al-Fithnah
(الفِطْنَةُ) yang berarti: pengertian yang mendalam,
pemikiran tajam.[61]
Kata Fiqh sudah menjadi istilah yang ekslusif dipakai untuk menunjukan
salah satu disiplin ilmu keislaman. Karena itu, dapat dilihat batasannya
sebagai “ilmu hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis yang di-istinbath-kan
dari dalil-dalilnya yang terperinci” yang dalam bahasa Prof. Dr. Daniel Juned
beliau mengatakan Fiqih disini adalah makna Fiqih secara generalnya
bukan Fiqih dalam Spesifikasi keilmuan.[62]
Dengan demikian, maka Fiqhul Hadȋts dapat dikatakan sebagai salah satu aspek ilmu Hadȋts yang mempelajari dan berupaya memahami Hadȋts-Hadȋts Nabi dengan baik. Dimaksudkan
dengan baik adalah mampu menangkap pesan-pesan keagamaan sebagai sesuatu yang
dikehendaki oleh Nabi (Murôd An-Nabi).
2. POSISI FIQHUL HADÎTS
Dari
sekian aspek-aspek kajian ilmu Hadȋts, Fiqhul Hadȋts merupakan
dimensi yang tak kalah pentingnya dan tidak bisa di pisahkan dari ilmu Dirôyah dan Mustholâh Hadȋts (Ilmu Riwâyah).[63]
Hal ini karena Fiqhul Hadȋts adalah kajian yang mencoba menggali dan
memahami ajaran yang terkandung dalam Hadȋts - Hadȋts Nabi
untuk dapat diamalkan.
Sejak masa yang paling awal, para
sahabat telah memperlihatkan kemampuan menangkap pesan-pesan di balik redaksi
yang disampaikan oleh Nabi. Karena itu, terkadang kita melihat sebagian sahabat
seperti ‘Ȃ’isyah dan ‘Umar bin Khattôb terlihat lebih maju dalam memahami Hadȋts - Hadȋts Nabi dan
ini terus berlanjut kepada masa Imâm Madzhab seperti Imâm Abû Hanȋfah
dan Imâm Mâlik.[64]
Pada zaman Nabi para sahabat tidak terlalu sulit memahaminya. Sebagian besar
mereka mengetahui Asbâb Al-wurûd (latar belakang disabdakannya hadis
oleh Nabi), bahkan mereka dapat saja mengkonfirmasikan apa yang mereka terima
sebagai hadis kepada Nabi.
Dirôyah secara etemologi bermakna ilmu atau ma'rifah yang
diperoleh dari usaha manusia. Dalam kitab Fâidhu al-Qadir sebagaimana
dinyatakan oleh Prof. Dr. Daniel Juned disebutkan ada lima belas kosakata yang
dianggap, sinonim atau paling tidak memiliki unsur kesamaan dengan ilmu, dan
yang kesembilan di antaranya adalah ad-dirôyah. Dalam kitab tersebut
penulis mendefenisikan ad-riwâyah dengan ma'rifah yang diperoleh
melalui analisis terhadap riwayat dengan menggunakan premis-premis yang
jelas.Sementara itu, penulis Fath Al-Bâri menyipati Ad-Dirôyah ini
dengan iktisab, atau upaya manusia mengetahui sesuatu dengan nalarnya sendiri.[65]
Sedangkan secara Terminologi
sebagaimana dikatakan Dr. Muhammad Dhiyâ’ Ar-Rohmân Al-A’zhômi adalah
Ilmu yang yang membahas tentang keadaan Sanad dan Matan-nya.[66]
Hadȋts seorang ahli riwayah akan ditolak atau minimal tidak
dijadikan hujah jika ia tidak ahli dirayah.[67]
Bahkan orang yang hanya mementingkan riwayah tanpa dirayah, dianggap
bagian dari sufaha’ (orang-orang bodoh). Hal ini seperti diungkapkan
oleh Mu'âdz bahwa seorang ulama pasti lebih mementingkan dirôyah, Sementara
sufahâ’ lebih mementingkan riwâyah.[68]
Oleh karena dirôyah bermakna pemahaman, maka ilmu Fikih dan Ushȗl
Fikih—sebagaimana disebutkan dalam
kitab Kasysyaf Ishthilah Al-Funȗn
disebut juga Ilmu dirôyah.[69]
jika disimpulkan, Dirôyah
baik sebagai kata maupun sebagai sebuah istilah mengandung makna pemahaman
pertama: sejarah atau Sanad Hadȋts, dan kedua: Hadîts itu sendiri sebagai
teks. Dengan demikian, Fiqhul Hadîts
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ilmu Dirôyah.
Pemahaman Hadȋts dan
adanya rumusan kaidah-kaidah yang berhubungan dengannya merupakan suatu
keharusan, karena fakta menunjukkan bahwa nyaris tak ada Hadȋts
yang tidak mengandung aspek ketidak jelasan (isykal), baik karena faktor
lafal (gharobah) atau karena ketersentuhannya dengan Hadȋts
lain atau ayat Al-Qur'ân yang memperlihatkan makna yang tidak sama (Ikhtilâf
Al-Hadȋts); ataupun terlihat keragaman, khususnya, dalam masalah
ibadah.
3.
KAEDAH-KAEDAH DALAM MEMAHAMI HADÎTS.[70]
Tatkala seorang muslim berhadapan dengan hadits-hadits Nabi dan
bermaksud menjadikannya sebagai landasan peribadahan kepada Alloh, sebelum
mengamalkannya dia berkewajiban memahami beberapa hal, yang sejatinya merupakan
aturan dalam memahami sunnah dan mengamalkannya; agar pemahaman dia benar dan
tepat. Di antara aturan kaidah tersebut:
Hadȋts nabawi merupakan landasan kedua
dalam Syari'at Islâm. Posisinya adalah penjabar dan penjelas dari apa
yang ada dalam Kitabullâh. Sebab itu, tidak mungkin akan ada kontradiksi
antara penjabar dan yang dijabarkannya. Andaikan ada sesuatu yang terlihat
saling bertentangan, maka bisa jadi dikarenakan Hadȋts-nya
lemah atau bersumber dari kekurang pahaman kita akan Hadȋts
tersebut.
Di antara contoh terjelas yang
menunjukkan bahwa Hadȋts lemah atau palsulah yang
bertentangan dengan Al-Qur'ân, bukan Hadȋts Shohîh,
adalah kisah ghorôniq (berhala-berhala). Syaikh Al-Albâni telah
mengumpulkan jalur-jalur periwayatan Hadȋts ini dan menjelaskan ke-bathil-annya
dalam buku beliau, Nashb al-Majânîq li Nishf Qisshoh al-Ghorôniq.[71]
Aturan Kedua: Menghimpun Hadȋts - Hadȋts Yang Berbicara Tentang Suatu
Permasalahan Yang Sama Di Satu Tempat.
Mengumpulkan Hadȋts-Hadȋts Shôhih
yang membahas suatu permasalahan yang sama merupakan suatu keharusan bagi orang
yang ingin memahami sunnah dengan benar. Agar Hadȋts
yang isinya masih global bisa dirinci Hadȋts yang lain, Hadȋts
yang masih kurang jelas bisa dijabarkan Hadȋts lain, sehingga jelaslah maknanya
dan tidak saling dipertentangkan. Sebagaimana telah maklum bahwa Hadȋts
merupakan penjelas dari Al-Qur'ân, begitu pula Hadȋts-Hadȋts
Nabi saling menjelaskan satu sama lainnya.[72]
Aturan Ketiga: Memadukan
Antara Hadȋts - Hadȋts
Yang Lahiriahnya Bertentangan Atau Menguatkan Salah Satunya.
Secara
asal, dalil-dalil Al-Qur'ân dan Hadȋts yang Shohîh
tidak akan saling bertentangan. Allah Ta'alâ berfirman:
أَفَلا يَتَدَبَّرُونَ
الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلافًا
كَثِيرًا
Artinya:
Sekiranya (al-Qur'an) itu bukan dari Alloh, pastilah mereka menemukan banyak
hal yang bertentangan di dalamnya. (QS. An-Nisa' : 82)
Andaikan
hal tersebut ditemukan maka itu hanyalah sesuatu yang tampak di mata kita,
hakikatnya tidaklah demikian. Para ulama telah mengumpulkan dalil-dalil yang
lahiriahnya saling bertentangan, lalu mereka membantah adanya kontradiksi
tersebut, dengan cara memadukan antara dalil-dalil tersebut atau menguatkan
salah satunya, tanpa adanya unsur pemaksaan makna.[73] Diantara refererensi vang sangat
membantu kita mengetahui Hadȋts - Hadȋts
yang zhohirnya bertentangan: Musykil al-Atsar karya ath-Thohawi dan Ta’wil
Mukhtalaf Al- Hadȋts karya Ibnu Qutaibah, dan Ta’wil Musykîl
Al- Hadȋts
karya Imâm Ibn Furok.dll.[74]
Aturan Keempat: Mengetahui Hadȋts Nasikh
(Yang Menghapus Hadits Lain) Dan Mansukh (Yang Dihapus Oleh Hadȋts Lain).
Penghapusan Hadȋts benar-benar ada. Andaikan seorang muslim tidak mengetahui hal
tersebut, bisa jadi ia terjerumus ke dalam pengamalan sesuatu yang tidak
dibebankan Syari'at sebab kita tidak diperintahka untuk mengamalkan Hadȋts - Hadȋts yang telah dihapus. Namun
demikian,tidak diperbolehkan bagi kita untuk mengklaim adanya penghapusan suatu
Hadȋts, kecuali setelah terkumpul dalil-dalil serta bukti-bukti kuat
yang menunjukkan hal tersebut. Di antara referensi yang membantu kita untuk
mengetahui Hadȋts - Hadȋts yang telah dihapus: Al-I'tibâr
fin Nasîkh wal Mansȗkh minal Akhbâr karya al-Hazîmi, Nasîkh Al- Hadȋts wa Al-Mansȗkhuhu karya Al-Hâfizh Abu Bakar Ahmad
Bin Muhammad Al-Atsrôm, Nasîkh Al- Hadȋts Wa Mansȗkhuhu karya Abȗ Hafsin Ibn Ahmad
Al-Baghdâdi.[75]
Mengetahui sebab munculnya Hadȋts amat membantu kita dalam memahami
maksud perkataan Rosul Di antara contohnya ialah Hadȋts:
أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأُمُوْرِ دُنْيَاكُمْ
Artinya:
"Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian”.(HR. Muslim).[76]
Dilihat secara Lafazh nya akan membuat Sebagian orang
menjadikan Hadȋts di atas sebagai argumentasi untuk
menghindari hukum-hukum Syari'at yang berkenaan dengan permasalahan
ekonomi, hukum perdata, politik, dan yang semisal. Sebab hal-hal tersebut
merupakan perkara duniawi kami, Benarkah begitu maksud dari Hadȋts di
atas ? Tentu tidak, Buktinya, Al-Qur'ân dan Hadȋts
dipenuhi dalil-dalil yang mengatur urusan mu'amalah antar manusia, semisal:
jual beli, kerjasama bisnis, gadai, sewa, pinjam meminjam. Bahkan ayat
terpanjang dalam al-Qur'an, ternyata berisikan aturan penulisan hutang piutang.[77]
Perlu diketahui, bahwa Hadȋts "Kalian lebih mengetahui
urusan dunia kalian" telah ditafsirkan oleh sebab munculnya Hadȋts
tersebut. Yaitu, kisah penyerbukan pohon kurma, di mana beliau memberikan
arahan yang berdasarkan perkiraan agar para petani meninggalkan metode
penyerbukan. Mereka pun mengikuti arahan tersebut, namun ternyata justru
berakibat buruk bagi hasil buahnya."[78]
Saat itulah Rosulullâh mengeluarkan Hadȋts di atas.
Rosulullâh
adalah orang Arab yang paling Fashîh. Beliau berkomunikasi dengan
para sahabatnya menggunakan bahasa Arabyang jelas dan mudah dipahami mereka;
sebab mereka adalah orang ‘Arab asli yang belum terkontaminasi bahasa
asing. Sehingga mereka tidak kesusahan untuk memahami perkataan Rosȗl.
Namun, dengan berjalannya waktu dan
berbaurnya umat manusia antara orang Arab dan non-Arab, bahasa Arab mereka
melemah dan cenderung menjauh dari praktik berbahasa Arab Fashȋh.
Sebagai akibatnya, tidak sedikit di antara mereka yang kesulitan memahami
banyak Hadȋts karena ketidakpahaman mereka akan
makna kosa kata Hadȋts - Hadȋts
tersebut.
Dari sinilah para ulama berlomba
mengarang buku-buku yang bermuatan ilmu ini, yakni ilmu kosakata Hadȋts.
Jika seorang ulama, pencari ilmu, atau kaum muslimin secara umum berkeinginan
untuk memahami Hadȋts Nabi dengan benar, hendaklah ia
merujuk buku-buku tersebut. Di antara referensi ilmu ini: Ghorȋb Al- Hadȋts
karya Al-Harôwi, Ghorȋb Al-Hadȋts karya Abȗ Ishâq Al-Harbi, Ghorȋb
Ash-Shohȋhain karya al-Humaidi dan an-Nihâyah fȋ
Ghorȋb Al-Hadȋts
karya Ibnul Atsȋr. Buku terakhir ini merupakan salah satu referensi
terlengkap ilmu kosakata Hadȋts.[79]
Aturan
ini merupakan salah satu aturan terpenting, karena inilah jalan yang
mengantarkan seorang muslim menuju pengamalan Sunnah yang benar tanpa
tambahan atau pun pengurangan. Metode terbaik dalam menjabarkan Hadȋts adalah dengan sesama Hadȋts,
lalu dengan perkataan para sahabat Nabi sebab mereka menyaksikan langsung
turunnya wahyu. Pemahaman para sahabat akan Hadȋts
nabawi bisa ditemukan di buku-buku yang selain penulisnya meriwayatkan Hadȋts,
juga banvak meriwayatkan perkataan dan perbuatan para sahabat. Semisal Mushonnaf
Abdirrozzâq, Mushonnaf Abȋ Syaibah, Sunan Sa'id bin Manshȗr, Sunan ad-Dȋrimȋ,
serta as-Sunan Ash-Shughro dan al-Kubro karya Imâm Al-Baihaqi.[80]
Salah satu hal penting untuk memahami Hadȋts An-Nabawi
ialah merujuk buku-buku penjabar Hadȋts, sebab di dalamnya kita bisa
menemukan penjelasan tentang: kosakata Hadȋts, Hadȋts
yang menghapus dan yang dihapus, kesimpulan yang bisa dipetik dan Hadȋts,
serta riwayat-riwayat yang diperselisihkan Para ulama Islam telah mewariskan 'perpustakaan
megah' yang berisikan buku-buku tersebut. Mereka adalah para penerjemah Hadȋts
untuk umat. Ulama yang zamannya semakin dekat dengan masa nubuwwah
(ke-nabi-an), biasanya penjelasan yang mereka paparkan semakin mendekati
kebenaran.
Termasuk di antara faktor yang menjadikan suatu buku penjabar Hadȋts
dikedepankan dibanding lainnya, manakala penulisnya sangat intens dalam
memperhatikan dalil, dengan memaparkan jalur-jalur periwayatannya serta
menjelaskan mana yang Shohȋh dan mana yang tidak. Di
antara contoh kitab penjabar Hadȋts klasik yang Mu'tamad
(terpercaya/autentik/Standar): Syarhus Sunnah karya al-Baghôwi, Fathul
Bâri karya Ibnu Hajar al-Asqalâni,dll. Demikianlah beberapa aturan
penting, agar seseorang bisa memahami Hadȋts Nabi dengan baik. Hanya, perlu
diketahui bahwa semua aturan tersebut di atas diterapkan setelah seorang muslim
memastikan keabsahan Hadȋts yang ada di hadapannya baik Hadȋts tersebut dikategorikan Shohȋh
atau pun Hasan.
Dari pemaparan diatas itulah sekiranya yang dapat dijelaskan
secara umum didalam melanjutkan penelitian ini lebih lanjut serta terwujudnya
suatu kesimpulan yang Ilmiah dan Kokoh sesuai dengan kaedah-kaedah yang telah
ditetapkan oleh ‘Ulamâ’ Khususnya ‘Ulamâ’ Muhadditsȋn.
BAB III
A.
Lafazh Hadîts- Hadîts Tentang “ Fitnah tanduk
setan dari Negeri Masyriq (Nejed)”.
Sebagaimana
dalam batasan Masalah dijelaskan bahwa Hadîts “Fitnah tanduk
setan dari negeri Masyriq (Nejed)” telah
Masyhur didalam berbagai macam kitab Hadîts baik dalam
kitab Shohîh, Sunan, Musnad, Muwattho’, maupun Mushonnaf.
Dalam hal ini akan disajikan secara lengkap Hadîts
yang menjadi pokok penelitian ini sesuai dengan batasan kitab yang terdapat
didalam batasan masalah.[81]
Shohîh Al-Bukhôri pada Nomor Hadȋts 7094 berbunyi:
حدثنا
علي بن عبد الله حدثنا أزهر بن سعد عن ابن عون عن نافع عن ابن عمر قال
: ذكر النبي صلى الله عليه و سلم ( اللهم بارك
لنا في شأمنا اللهم بارك لنا في يمننا ) قالوا يا رسول الله وفي نجدنا ؟ قال (
اللهم بارك لنا في شأمنا اللهم بارك لنا في يمننا ) قالوا يا رسول الله
وفي نجدنا ؟ فأظنه قال في الثالثة ( هناك الزلازل والفتن وبها يطلع قرن الشيطان)[82]
Shohîh Muslîm
pada Nomor Hadȋts 2905:
حَدَّثَنَا
قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا لَيْثٌ ح وَحَدَّثَنِى مُحَمَّدُ بْنُ رُمْحٍ
أَخْبَرَنَا اللَّيْثُ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَهُوَ مُسْتَقْبِلُ الْمَشْرِقِ يَقُولُ « أَلاَ
إِنَّ الْفِتْنَةَ هَا هُنَا أَلاَ إِنَّ
الْفِتْنَةَ هَا هُنَا مِنْ حَيْثُ يَطْلُعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ ».[83]
Tanpa
adanya Lafazh اللهم
بارك لنا في شأمنا اللهم بارك لنا في يمننا dan
tidak menyebut Nama نجد akan tetapi tentang masa depan
Negeri مشرق.
Sunan At-Timidzi Nomor Hadȋts 3953:
حدثنا بشر بن آدم بنت أزهر السمان
حدثني جدي أزهر السمان عن ابن عون عن نافع عن ابن عمر : أن رسول الله صلى الله
عليه و سلم قال اللهم بارك لنا في شأمنا اللهم بارك لنا في يمننا قالوا وفي نجدنا
قال اللهم بارك لنا في شأمنا وبارك لنا في يمننا وفي نجدنا قال هناك الزلازل
والفتن وبها أو قال منها يخرج قرن الشيطان[84]
Dengan
tambahan Lafazh وبها أو قال منها يخرج قرن الشيطان
حدثنا أحمد بن طاهر قال
حدثنا جدي حرملة بن يحيى قال حدثنا بن وهب قال حدثني سعيد بن أبي أيوب قال حدثني
عبد الرحمن بن عطاء عن نافع عن بن عمر أن رسول الله قال : اللهم بارك
لنا في شامنا وفي يمننا فقال رجل وفي مشرقنا يا رسول الله فقال اللهم بارك لنا في
شامنا وفي يمننا فقال الرجل وفي مشرقنا يا رسول الله فقال اللهم بارك لنا في شامنا
ويمننا إن من هنالك يطلع قرن الشيطان وبه تسعة أعشار الكفر وبه الداء العضال[85]
Dengan tambahan Lafazh فقال رجل وفي مشرقنا, هنالك يطلع قرن الشيطان وبه تسعة أعشار الكفر وبه الداء العضال
Musnad Ahmad Bin Hanbal Nomor Hadȋts 5410:
حدثنا عبد الله ثنا أبي ثنا أبو سعيد
مولى بنى هاشم ثنا عقبة بن أبي الصهباء ثنا سالم عن عبد الله بن عمر قال : صلى
رسول الله صلى الله عليه و سلم الفجر ثم سلم فاستقبل مطلع الشمس فقال ألا ان
الفتنة ههنا ألا ان الفتنة ههنا حيث يطلع قرن الشيطان[86]
Dengan Lafazh فاستقبل مطلع الشمس , حيث يطلع قرن الشيطان dan Tanpa adanya
Lafazh اللهم بارك لنا في شأمنا
اللهم بارك لنا في يمننا
Musnad Asy-Syamiyyin Nomor Hadȋts 1276:
حدثنا عبد الله بن العباس بن الوليد
بن مزيد البيروتي حدثني أبي أخبرني أبي حدثني عبد الله بن شوذب حدثني عبد الله بن
القاسم ومطر الوراق وكثير أبو سهل عن توبة العنبري عن سالم بن عبد الله بن عمر عن
أبيه أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال : اللهم بارك في مكتنا وبارك لنا في
مدينتنا وبارك لنا في شامنا وبارك لنا في يمننا اللهم بارك لنا في صاعنا وبارك لنا
في مدنا فقال رجل يا رسول الله وعراقنا فأعرض عنه فرددها ثلاثا وكان ذلك الرجل
يقول وعراقنا فيعرض عنه ثم قال بها الزلازل والفتن وفيها يطلع قرن الشيطان[87]
Dengan tambahan Lafazh اللهم بارك في مكتنا, وبارك لنا في مدينتنا,
بارك لنا في صاعنا , وبارك لنا في مدنا
, فقال رجل يا رسول الله وعراقنا , فأعرض عنه
فرددها ثلاثا وكان ذلك الرجل يقول وعراقنا فيعرض عنه ثم قال بها الزلازل والفتن وفيها يطلع قرن الشيطان
Muwattho’ Imâm Malik Nomor Hadȋts 168:
حَدَّثَنِي مَالِك عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُشِيرُ إِلَى الْمَشْرِقِ وَيَقُولُ
هَا إِنَّ الْفِتْنَةَ هَاهُنَا إِنَّ الْفِتْنَةَ هَاهُنَا مِنْ
حَيْثُ يَطْلُعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ[88]
Dengan
tambahan Lafazh يُشِيرُ إِلَى الْمَشْرِقِ, Tanpa
adanya Lafazh اللهم
بارك لنا في شأمنا اللهم بارك لنا في يمننا dan tidak menyebut Nama نجد akan tetapi tentang masa depan Negeri مشرق
B.
Syarah Hadîts tentang
“Fitnah tanduk setan dari negeri
Masyriq (Nejed).
1. Fath Al-Bâri Bi Asy-Syah Ash-Shohîh Al-Bukhôri .
Setelah mengumpulkan
macam-macam lafazh mengenai Hadîts ini Al-Hâfizh
kemudian menukil pendapat Imâm Al-Khotthôbi dan Ad-Dâwȗdi yang menjelaskan
makna dari Nejed dalam Hadîts tersebut adalah
Nejed Iraq. Beliau mengatakan:
نجد من جهة المشرق، ومن كان بالمدينة
كان نجده بادية العراق ونواحيها وهي مشرق أهل المدينة، وأصل نجد ما ارتفع من الأرض
وهو خلاف الغور فإنه ما انخفض منها، وتهامة كلها من الغور ومكة من تهامةِ
“Najd Itu
berada disebelah timur. Siapapun yang berada diMadinah, maka najdnya adalah
pedalaman Iraq dan sekitarnya. Itulah sebelah timur Madinah. Asal kata Najd
adalah tanah yang meninggi, berbeda dengar ghaur yang berarti tanah yang
rendah. Seluruh Tihamah merupakah Ghaur dan Mekkah termasuk bagian Tihamah”.[89]
Setelah itu Ibnu Hajar menambahkan
pernyataan Imâm Al-Khottôbi bahwa Nejed adalah setiap tanah yang tinggi dengan
mengatakan
كل شيء ارتفع بالنسبة إلى ما يليه يسمى المرتفع نجدا
والمنخفض غورا
Setiap
yang lebih tinggi dibandingkan dengan sekitarnya dinamakan Najd dan
setiap yang lebih rendah dinamakan Ghaur.[90]
قَرْنُ الشَّيْطَانِ sendiri menurut Ad-Dâwȗdi adalah: pada sisi
ini قَرْنُ الشَّيْطَانِ pada hakekatnya bisa diartikan kekuatan setan yang selalu ingin menyesatkan
manusia. Kemudian bisa juga dimaknai bahwa ketika matahari terbit dan ketika para
penyembahnya sujud, setan ikut condong berbarengan dengan matahari, dan
matahari tergelincir dibelakang kepalanya.[91]
2.
Al-Bukhôri Bi Asy-Syarh al-Kirmâni.
Imâm Al-Kirmâni didalam kitabnya “Al-Bukhôri
Bi Asy-Syarh al-Kirmâni” mengungkapkan mengenai Hadîts diatas
:
ومن
كان بالمدينة الطيبة صلى الله على ساكنها كان نجده بادية العراق ونواحيها، وهي
مشرق أهلها
“Dan bagi
Al-Madinah Ath-Thayyibah semoga Allah melimpahkan barakah kepada penduduknya
maka najd-nya adalah sahara/gurun ‘Iraaq dan sekelilingnya. Ia adalah
arah timur bagi penduduk Madinah”.[92]
Sedangkan قرن adalah:
tempat ketinggian. posisi matahari tepat diketinggian, dikatakan bahwa ketika
matahari terbit dan ketika para penyembahnya sujud, setan ikut condong
berbarengan dengan matahari, dan matahari tergelincir dibelakang kepalanya.[93]
3.
’Umdat
Al-Qôrî.
Imâm Badruddîn Al-‘Aini
didalam kitabnya “’Umdat Al-Qôrî Syarh Shohîh Al-Bukhôri” menjelaskan arti قرن الشيطان dengan menukil pendapat Imâm Ad-Dâwȗdi bahwa pada hakekatnya setan
itu mempunyai dua tanduk, seperti disebutkan oleh Al-Harôwi bahwa tanduknya
berada disisi kepalanya, dan makna ini juga menggambarkan bahwa setan selalu
bergerak dan ingin menguasai, juga bisa dimaknai bahwa قرن adalah
kekuatan yang akan muncul karena adanya kekuatan setan, dan ketika Nabi
menunjuk kearah Timur memberikan penjelasan bahwa pada waktu itu penduduknya
dihuni Ahlu Al-Kuffar sehingga khobar (Hadîts) ini
memberi penjelasan bahwa fitnah tersebut akan muncul ditempat itu seperti
pristiwa perang jamal, perang Shiffîn, munculnya gerakan Khowârij di Nejed dan
‘Iraq dan daerah didekatnya, sampai kepada fitnah yang besar seperti pristiwa
pembunuhan Kholîfah ‘Utsmân Ra.[94]
Sedangkan makna
هناك الزلازل والفتن وبها يطلع قرن الشيطان dalam
lafazh Hadîts diatas: هناك yakni “Nejed” dan Nejed yang dimaksud kemudian beliau nukil
pendapat Imâm Al-Khottôbi sebagaimana keterangan Al-Khottôbi diatas dalam “Fath
Al-bârî” bahwa Nejed adalah Iraq. Sedangkan الزلازل والفتن
وبها يطلع قرن الشيطان beliau kembali menguatkan dengan pristiwa kemunjulan ya’jȗj wa
Ma’jȗj, Dajjâl, dan tambahan keterangan dari Al-Muhallab bahwa disana (Nejed)
juga akan muncul الداء العضال “penyakit kronis”.[95]
4.
Minnah
Al-Mun’im Fi Syarh Shohîh Muslim.
Al-Mubârokfȗri dalam kitabnya “
Minnah Al-Mun’im Fi Syarh Shohîh Muslim” berkata: ان المراد با لمشرق هنا
العراق “Sesungguhnya maksud dari Masyriq disini adalah Iraq”.
Sedangkan Lafazh مِنْ حَيْثُ يَطْلُعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ adalah: penjelasan mengenai fitnah yang besar dan juga perebutan
berbagai macam perkumpulan serta kesesatan dalam urusan dunia dan akhirat dan
peristiwa ini terjadi di kufah Iraq mulai dari pembunuhan Kholîfah ‘Utsmân disebabkan
fitnah yang lancarkan oleh Ibn Sabâ’, kemunjulan Syî’ah Ghulath, Murji’ah,
Mu’tadzilah, Qodariyyah, Jabbariyyah, Baha’iyyah yang intinya menunjukkan semua
pristiwa ini terjadi di Kuffah Iraq.[96]
5.
Tukhfah Al-Akhwâdzî Bi Asy-Syarh Sunan
At-Tirmidzi.
Muhammad Al-Mubârokfȗri dalam kitabnya “ Tukhfah Al-Akhwâdzî Bi
Asy-Syarh Sunan At-Tirmidzi “ menjelaskan ketika sebagian dari Shahabat berkata : فى نجدنا
“Di Nejed kami” menunjukkan
bahwa mereka juga meminta simpati Rosulȗllâh untuk mendo’akan keberkahan Nejed
sebagaimana do’a Nabi untuk keberkahan Syam dan yaman. Kemudian mengenai daerah
Nejed Muhammad Al-Mubârokfȗri menukil pendapat Imâm Al-Khottôbi
sebagaimana dinukil Ibnu Hajar sebagaimana telah dijelaskan diatas.[97]
Sedangakan kegoncangan yang
dimaksud adalah kegoncangan hati dan kekacauan umat, dan fitnah yang terjadi
berupa petaka dan bencana yang menyebabkan lemahnya Agama ini serta sedikitnya
pengetahuan terhadap Agama sehingga mencegahnya keberkahan sampai kepada
mereka. Sementara itu selanjutnya Muhammad
Al-Mubârokfȗri melanjutkan maksud dari يخرج قرن الشيطان “Akan keluar Tanduk setan” bisa berarti
Kelompok, umatnya, zamannya, penolongnya sebagaimana telah disebutkan oleh
As-Suyȗthi.dan juga bisa dimaknai قرن الشيطان adalah kekuatan setan beserta penolongnya
dalam rangka menyesatkan manusia. Karena
memang dari Masyriq (Nejed) itu akan munculnya fitnah dan firqoh-firqoh serta
ahli Bid’ah, seperti inilah sebagaimana terdapat dalam Fath Al-Bârî, dan
Badruddîn Al-‘Aini.[98]
6. Masu’ah Syuruh Al-Muwattho’.
Didalam kitab besarnya yang
beliau himpun dari berbagai kitab Syarah Muwattho’ yang terkenal dan beliau
kumpulkan menjadi satu kitab yang diberi judul “ Masu’ah Syuruh Al-Muwattho’ “ didalamnya beliau
menjelaskan mengenai Hadîts diatas yang diambil dari kitab “Al-Qobas” karya Abu Bakar Ibn
Al-‘Arobi, bahwa telah tersebar luas mengenai ucapan Nabi mengenai Kondisi
Masyriq yang akan terjadi didalamnya Fitnah yang mana mata pencaharian
penduduknya bekerja sebagai pengembala/petani dan juga pada saat itu kondisi
Nejed seluruh penduduknya berada didalam
kekufuran dan beliau jelaskan tempatnya adalah Iraq.[99]
Masih didalam kitab yang sama
kemudian beliau juga ambil dari kitab At-Tamhid karya Ibn ‘Abd Al-Bar
didalamnya dijelaskan bahwa Hadîts ini merupakan pengetahuan Nabi tentang berita Ghô’ib
mengenai masa depan. Sebagai tambahan Ibn ‘Abd Al-Bar menyebutkan contoh
fitnah-fitnah tersebut seperti Perang Shiffin, Perang Jamal, dan tragedi
pembunuhan Husein yang mana semuanya terjadi di Iraq. Fitnah yang
dimaksud didalamnya bisa berupa ‘Adzab, Kebakaran, peperangan yang semua
terjadi antara sesame manusia.[100]
7. Aujaz Al-Masâlik Ilâ Muwattho’ Mâlik.
Beliau menjelaskan mengenai Hadîts diatas
didalam kitabnya “ Aujaz Al-Masâlik Ilâ Muwattho’ Mâlik “ bahwa Fitnah
yang dimaksud bisa berupa Cobaan, bencana, hukuman dan ‘adzâb, dan
segala perbuatan yang dibenci seperti kekufuran, mencela, kemaksiatan.[101]
Selanjutnya beliau
menjelaskan lebih detail dengan menukil pendapat Ibn Hazm dalam kitabnya “ Al-Muhalla “ bahwa fitnah-fitnah yang
terjadi seperti perang Jamal, Perang Shiffin, Al-Hajjaj di Iraq dan sekitarnya
dan ini semua disebabkan karena terjadinya perpecahan didalam tubuh kaum
Muslimin terutama apa yang terjadi di Madinah dengan terbunuhnya Kholîfah ‘Utsmân
Bin ‘Affân sehingga bermula dari itulah terjadi perang Jamal, Shiffin, hingga
perang di Nahrowan.[102]
Sedangkan menurut Muhammad
Zakariyyâ Al-Kandahlawî sendiri bahwa Hadîts diatas berbicara mengenai kemunculan Dajjal, alasannya
adalah karena fitnah yang paling besar itu adalah fitnah yang dibawa oleh
Dajjal selain itu Hadîts ini juga satu
tema dengan Hadîts yang diriwayatkan Abȗ Huroiroh yakni
“
Kepala kekafiran berada di arah Masyriq” dan ini menurut beliau satu
tema dengan Hadîts diatas sebagimana kata-kata beliau: راءس الكفر و قرن الشيطان عندى واحد “Kepala
kekafiran dan tanduk setan menurutku satu (Tema)”.[103]
8
At-Ta’liq
‘Ala Al-Muwattho’.
Hisyâm Bin Ahmad Al-Waqqosyî
Al-Andalusî dalam kitab “
At-Ta’liq ‘Ala Al-Muwattho’ “ menjelaskan mengenai Hadîts diatas bahwa:
هَاهُنَا هَا إِنَّ الْفِتْنَةَ bermakna: sesungguhnya telah banyak muncul praktek Bid’ah
dari arah Masyriq seperti datangnya berita tentang seorang laki-laki
yang mengaku sebagai Nabi yang menyerukan untuk menyembah matahari, juga
menyeru kepada penyembahan terhadap bintang sebagaimana terjadi didaerah
Babilonia.[104]
مِنْ حَيْثُ يَطْلُعُ
قَرْنُ الشَّيْطَانِ : قَرْنُ الشَّيْطَانِ : Umat yang menyembah matahari dan barang siapa yang menyembah
selain Allah berarti ia telah menyembah setan, karena musibah memang banyak
muncul dari arah Masyriq dan didalamnya terdapat setan-setan yang
menyebar.[105]
9.
Syarh As-Sunnah.
Didalam kitabnya “ Syarh As-Sunnah “ Imâm
Al-Baghowi menjelaskan mengenai Hadîts diatas bahwa
Nejed pada Hadîts diatas
adalah wilayah Iraq sebagaimana beliau nukil pendapat Imâm Al-Khotthôbi yang telah dinukil kan oleh Ibnu Hajar
dalam kitab Syarahnya “Fath Al-bari” sebagaimana telah dicantumkan
diatas.[106]
Keterangan diatas beliau
kuatkan dengan menukil Hadîts yang
diriwayatkan Ibnu Hajar Al-Haitsami dalam “ Majmu’ “ nya dari Ibn
‘Umar , dengan jelas Nabi menyebut Nama Iraq.[107]
C.
Pendapat Tokoh diluar kitab Syarah mengenai
makna Hadîts “Fitnah tanduk setan dari negeri Masyriq (Nejed).
Ditampilkannya
pendapat beberapa kalangan dsini tidaklah dimaksudkan untuk keluar dari batasan
kitab, tetapi ditampilkan disini karena sebagai bahan tambahan kajian terhadap
fenomena yang terjadi ketika memaknai Hadîts diatas.
1. Syeikh Sayyid Ahmad
Zaini Dahlan.
Telah Masyhur
buku beliau yang berjudul “Ad-duroru As-Saniyatu fi Roddi ‘Ala Al-Wahabiyah “ bagi mereka
yang selama ini kontra terhadap Da’wah Syeikh Muhammd Bin ‘Abd
Al-Wahhab. Didalam buku ini beliau menjelaskan bahwa makna: قَرْنا الشَّيْطَانِ adalah Syeikh Muhammad Bin ‘Abd Al-Wahhab dan Musailamah
Al-Kadzzâb.[108]
2.
Syeikh
Idahram.
Seorang yang masih belum jelas siapa Nama aslinya yang
kemudian ditengarai bernama Marhadi Muhayyar ini telah mengarang buku yang
cukup menghebohkan dikalangan pen-Da’wah yang diberi judul “ Sejarah
berdarah sekte Salafi Wahabi “. Didalam buku ini ia mengatakan bahwa Hadîts diatas adalah
Nubuwwah Nabi akan kelahiran gerakan Salafi Wahhabi.[109]
3.
Tim LBM PCNU
Jember.
Tim ini membuat sebuah buku yang merupakan buku bantahan untuk
Ustadz H. Mahrus Ali yang oleh Tim ini katakan sebagai Wahhabi. Didalam buku
ini sebagai serangan balik Tim ini menjadikan
Hadîts diatas sebagai Hujjah bahwa yang
dimaksud oleh Hadîts diatas adalah kelompok Wahhabi dan dengan
jelas Tim ini menyebut Wahhabi sebagai kelompok pengikut setan.[110]
Berdasarkan keterangan dalam penyajian data diatas dapat kita
kumpulkan bahwa pada umumnya ‘Ulama’ Ahli Hadîts yang men-Syarah
Hadîts “ Fitnah tanduk setan dari negeri Masyriq (Nejed)” berkesimpulan
bahwa Nejed pada Lafazh Hadîts adalah wilayah Iraq sedangkan
kegoncangan dan fitnah yang dimaksud oleh Rosullullah sepeninggal beliau adalah
seperti Perang jamal, perang Shiffin, Perang Nahrowan, Syi’ah, Mu’tazilah,
Jahmiyyah, Qodariyyah yang fitnah-fitnah ini bermula atas kematian Kholîfah
‘Utsmân Bin ‘Affân Ra, serta munculnya Ya’juj dan ma’juj, dajjal.
Sedangkan pendapat yang berbeda menunjukkan bahwa Hadîts
diatas adalah Nubuwwah Nabi akan munculnya sebuah gerakan yang mereka
juluki dengan Wahhâbi yang di-Nisbah-kan kepada Syeikh Muhammad
Bin ‘Abd Al-Wahhâb.
D.
Pandangan
pengarang Ma’âjim dan Ahli bahasa mengenai makna Nejed.
Ḥafizh Abî Musâ Muhammad Bin Abî
Bakar Bin Abî ‘Îsâ Al-Madîni
Al-Ashfahâni.
و نجد: ما بين العذيب الى ذات
العراق, والى اليمامة, والى جبلى طئ, والى وجرة, والى اليمن.
Nejed: Antara
Al-‘Udzaib sampai arah ‘Iraq, selanjutnya sampai ke Yamamah, sampai ke Jabal
Thoyyi’, sampai ke Wajroh, sampai ke Yaman.[111]
Al-Imâm
Majduddîn Abî As-Sa’âdât Al-Mubâroq Bin Muhammad Al-jazary (Ibn Al-Atsir).
النجد : ما ارتفع من الارض,
وهو اسم خاص لما دون الحجاز, مما بلى العراق.
Nejed: tanah yang meninggi, Nejed adalah nama khusus
sedangkan Hijaz tidak termasuk, secara pasti (Nejed) adalah ‘Iraq.[112]
Dr. Syauqi Abȗ Kholîl.
النجد: الارض فى
ارتفاع من الجبل, ليس با لشديد الارتفاع, كل ما ارتفاع عن التهامة فهو نجد, فهى
ترعى بنجد وتشرب با لتهامة. وما ارتفاع عن بطن وادي الرمة فهو نجد الى ثنا يا ذات
عرق من نا حية الحجاز كله, غرب اليمامة, وشرق الحجاز.
Nejed:
tanah yang meninggi melalui gunung, akan tetapi bukanlah terlalu tinggi,
Setiap tanah yang tinggi dari Tihamah maka
disebut Nejed, di Nejed tempat mengembala dan meminumkan ternaknya di Tihamah.
Dan tanah yang tinggi dari tapak lembah seluruhnya maka disebut Nejed sampai ke
‘Iraq dari arah Hijaz seluruhnya,arah barat Yamamah, dan arah Timur Hijaz.[113]
Lembaga Bahasa Arab Mesir.
النجد : ما ارتفع من الارض و صلب. نجد : قسم من الجزيرة العربية بين
الحجاز والعراق.
Nejed:
tanah yang meninggi dan keras. Nejed : bagian dari Jazirah Arab yakni antara
Hijaz dan ‘Iraq.[114]
Imâm Abȗ Al-mukarrom Ibn Al-Manzhȗr.
وما
ارتفع عن تِهامة إِلى أَرض العراق، فهو نجد.
Dari keterangan ‘Ulama’
bahasa dan Ahli Hadîts
diatas dapat kita kumpulkan bahwa
yang dimaksud Nejed itu adalah: Al-‘Udzaib
sampai arah ‘Iraq, selanjutnya sampai ke Yamamah, sampai ke Jabal Thoyyi’,
sampai ke Wajroh, sampai ke Yaman, Hijaz, Thihamah. Dari pemahaman Ini tentu
kandidat tafsiran Nejed terkait Hadîts Nabi diatas menjadi banyak.
Bahkan pemilik kitab Mu’jâm Al-Buldân Menyebutkan
ada 12 Nejed yang
pernah dikenal oleh orang Arab dan tentu dataran Nejed di Saudi Arabia dan
Juga Negeri ‘Iraq termasuk diantara yang bernama Nejed.[116]
Untuk lebih mengerucutkan Nejed yang mana yang dimaksudkan
oleh Nabi, kita akan lihat dahulu penafsiran Hadîts diatas dengan Hadîts lain yang terkait dengan Hadîts diatas. Langkahnya adalah
dengan melakukan metode yang telah dirumuskan ‘Ulama’ yaitu dikenal dengan
metode جمع الاحاديث الواردة فى موضوع الواحد [117] yakni mengumpulkan Hadîts-
Hadîts terkait dalam satu tema guna memperoleh pemahaman yang utuh
dan ini akan disampaikan pada Bab IV.
BAB IV
ANALISA
A.
Kualitas Sanad Hadȋts.
Hadȋts pertama:
حدثنا علي بن عبد الله حدثنا أزهر بن
سعد عن ابن عون عن نافع عن ابن عمر قال : ذكر النبي صلى الله عليه و سلم ( اللهم
بارك لنا في شأمنا اللهم بارك لنا في يمننا ) قالوا يا رسول الله وفي نجدنا ؟ قال
( اللهم بارك لنا في شأمنا اللهم بارك لنا في يمننا ) قالوا يا رسول الله
وفي نجدنا ؟ فأظنه قال في الثالثة ( هناك الزلازل والفتن وبها يطلع قرن الشيطان)
Hadȋts ini secara
kualitas Shohîh dan ini sudah Masyhur dikalangan
seluruh ‘Ulama’ bahwa Hadȋts- Hadȋts yang
diriwayatkan Imâm Al-Bukhôri dan Shohîh Muslîm dapat
dijadikan Hujjah.[118]
Hadȋts kedua :
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ
حَدَّثَنَا لَيْثٌ ح وَحَدَّثَنِى مُحَمَّدُ بْنُ رُمْحٍ أَخْبَرَنَا اللَّيْثُ
عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- وَهُوَ مُسْتَقْبِلُ الْمَشْرِقِ يَقُولُ « أَلاَ إِنَّ الْفِتْنَةَ هَا هُنَا أَلاَ إِنَّ الْفِتْنَةَ هَا هُنَا
مِنْ حَيْثُ يَطْلُعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ ».
Hadȋts ini Shohîh
dan sudah mayhur dikalangan Ahli Hadȋts Bahwa Hadȋts-
Hadȋts yang diriwayatkan Imam Muslim dapat dijadikan Hujjah dan dapat
diterima.[119]
Hadȋts Ketiga :
حدثنا
بشر بن آدم بنت أزهر السمان حدثني جدي أزهر السمان عن ابن عون عن نافع عن ابن عمر
: أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال اللهم بارك لنا في شأمنا اللهم بارك لنا في
يمننا قالوا وفي نجدنا قال اللهم بارك لنا في شأمنا وبارك لنا في يمننا وفي نجدنا
قال هناك الزلازل والفتن وبها أو قال منها يخرج قرن الشيطان.
Hadȋts ini secara kualitas menurut Imâm Al-Hâfizh Ibn Al-‘Arobi
Al-Maliki dan Syeikh Muhammad Nasiruddin Al-Albâni dalam Tahqiq-nya
terhadap Sunan At-Tirmidzi menilai dengan derajad Hasan Shohîh
Ghorîb.[120]
Hadȋts keempat:
حدثنا أحمد بن طاهر قال حدثنا جدي حرملة بن
يحيى قال حدثنا بن وهب قال حدثني سعيد بن أبي أيوب قال حدثني عبد الرحمن بن عطاء عن نافع عن بن عمر أن رسول
الله قال : اللهم بارك لنا في شامنا وفي يمننا فقال رجل وفي مشرقنا يا رسول الله
فقال اللهم بارك لنا في شامنا وفي يمننا فقال الرجل وفي مشرقنا يا رسول الله فقال
اللهم بارك لنا في شامنا ويمننا إن من هنالك يطلع قرن الشيطان وبه تسعة أعشار الكفر
وبه الداء العضال.
Kalimat وبه تسعة أعشار الكفر وبه الداء
العضال yang terdapat dalam Matan Hadȋts menurut
Ulamâ berstatus “Ghoiru Mahfȗzh” karena ‘Abd Rahmân Ibn ‘Athô’
tidak meriwayatkan dari Nâfi’.[121]
Sedangkan selain dari وبه تسعة أعشار الكفر وبه الداء العضال
dalam Matan Hadȋts
diatas sejalan dengan Hadȋts Shohîh seperti
Riwayat Al-Bukhôri dll.
Hadȋts kelima:
حدثنا عبد الله ثنا أبي ثنا أبو سعيد مولى بنى هاشم ثنا
عقبة بن أبي الصهباء ثنا سالم عن عبد الله بن عمر قال : صلى رسول الله صلى الله
عليه و سلم الفجر ثم سلم فاستقبل مطلع الشمس فقال ألا ان الفتنة ههنا ألا ان
الفتنة ههنا حيث يطلع قرن الشيطان
.
Hadȋts keenam:
حدثنا عبد الله بن العباس بن الوليد بن مزيد البيروتي حدثني
أبي أخبرني أبي حدثني عبد الله بن شوذب حدثني عبد الله بن القاسم ومطر الوراق
وكثير أبو سهل عن توبة العنبري عن سالم بن عبد الله بن عمر عن أبيه أن رسول الله
صلى الله عليه و سلم قال : اللهم بارك في مكتنا وبارك لنا في مدينتنا وبارك لنا في
شامنا وبارك لنا في يمننا اللهم بارك لنا في صاعنا وبارك لنا في مدنا فقال رجل يا
رسول الله وعراقنا فأعرض عنه فرددها ثلاثا وكان ذلك الرجل يقول وعراقنا فيعرض عنه
ثم قال بها الزلازل والفتن وفيها يطلع قرن الشيطان.
Secara kualitas Hadȋts ini Shohîh menurut Syarat Al-Bukhôri
sebagaimana disebut Mahmudi ‘Abd Al-Majîd As-Salafi dalam Tahqîq-nya
terhadap Mu’jam Asy-Syâmiyyîn.[123]
Hadȋts ketujuh:
حَدَّثَنِي مَالِك عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُشِيرُ إِلَى الْمَشْرِقِ وَيَقُولُ
هَا إِنَّ الْفِتْنَةَ هَاهُنَا إِنَّ
الْفِتْنَةَ هَاهُنَا مِنْ حَيْثُ يَطْلُعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ.
Secara kualitas Hadȋts ini Shohîh karena tidak ada Ikhtilâf
didalam Sanad-nya sebagaimana dijelaskan Al-Imâm Yȗsuf Bin ‘Abdillâh Bin
‘Abd Al-Bar.[124]
B.
Analisa
terhadap Matan Hadȋts.
1.
Makna Nejed.
Untuk mengetahui Makna Nejed yang
sebenarnya dan terlepas dari sikap Ta’assub kelompok,Madzhab,tokoh,dll
kita akan lihat pengertian sesungguhnya dari kitab-kitab Mu’tabar dan Mu’tamad
yang telah diakui oleh para ‘Ulama’ Islam baik dari Muhadditsîn maupun
ahli bahasa dan dijadikan rujukan oleh umat Islam.
Bagi orang yang ingin meneliti jalur-jalur Hadîts ini dan
membandingkan lafazh-lafazh-nya, niscaya tidak samar lagi baginya
penafsiran makna Nejed yang benar dalam Hadîts ini. Hal itu karena penafsiran Hadîts dengan Hadîts
merupakansalah satu metode penafsiran yang terbaik. Guna menemukan
Fiqh Al- Hadîts mengenai
maksud dari lafazh pada Matan Hadîts yang sedang
diteliti ini, maka akan dikemukakan Hadîts - Hadîts yang saling menafsirkan satu dengan yang
lainnya. Dalam lafazh yang dikeluarkan Imâm Thobrôni dalam Mu’jâm
Al-Kabîr no.13422 dari jalur Ismâ’îl bin Mas’ȗd: dengan lafazh:
حدثنا الحسن بن علي المعمري ثنا إسماعيل بن مسعود ثنا عبيد
الله بن عبد الله بن عون عن أبيه عن نافع عن ابن عمر : أن النبي صلى الله عليه و
سلم قال : ( اللهم بارك لنا في شامنا اللهم بارك في يمننا ) فقالها مرارا فلما كان
في الثالثة أو الرابعة قالوا يارسول الله وفي عراقنا قال : ) إن ( بها الزلازل
والفتن وبها يطلع قرن الشيطان )
Menceritakan
kepada kami Hasan Bin ‘Ali Al-ma’mary, menceritakan kepada kami Ismâ’îl
Bin Mas’ȗd,Menceritakan kepada kami ‘Ubaidillâh Bin ‘Abdillâh Bin ‘Aun, dari ayah-nya
dari Nâfi’ dari Ibn ‘Umar: sesungguhnya Nabi ShollAllâhu ‘Alaihi Wasallam
berkata: Wahai Alloh berkahilah kami dalam Syam kami, wahai Alloh berkahi
kami dalam Yaman kami. Beliau mengulanginya beberapa kali, pada ketiga atau
keempat kalinya, para sahabat berkata, ”Wahai Rasulullah Dalam ‘Iraq
kami?” Beliau menjawab, ”Sesungguhnya di sana terdapat kegoncangan dan fitnah
dan di sana pula muncul tanduk setan.”[125]
حدثنا علي بن سعيد قال نا حماد بن إسماعيل بن علية قال نا ابي قال نا
زياد بن بيان قال نا سالم بن عبد الله بن عمر عن ابيه قال صلى النبي صلى الله عليه
و سلم صلاة الفجر ثم انفتل فأقبل على القوم فقال اللهم بارك
لنا في مدينتنا وبارك لنا في مدنا وصاعنا اللهم بارك لنا في شامنا ويمننا فقال رجل
والعراق يا رسول الله فسكت ثم قال اللهم بارك لنا في مدينتنا وبارك لنا في مدنا
وصاعنا اللهم بارك لنا في حرمنا وبارك لنا في شامنا ويمننا فقال رجل والعراق يا
رسول الله قال من ثم يطلع قرن الشيطان وتهيج الفتن لم يرو هذا الحديث عن زياد
بن بيان إلا إسماعيل بن عبلة تفرد به عنه ابنه حماد.
Menceritakan kepada kami ‘Alî
Bin Sa’îd berkata menceritakan kepada kami Hamâd Bin Ismâ’îl Bin ‘Ulyah berkata
menceritakan kepada kami ayahku berkata menceritakan kepada kami ziyâd Bin
bayân berkata menceritakan kepada kami Sâlim Bin ‘Abdillâh Bin ‘Umar dari
ayahnya bahwa berkata Nabi ShollAllâhu
‘Alaihi Wasallam pada Sholat Fajar kemudian beliau berpaling kearah kaumnya dan
berkata : Wahai Alloh berkahilah Madinah kami dan
berkahilah Mud kami dan Sho’ kami, wahai Alloh berkahilah Syam kami dan
berkahilah Yaman kami berkata seorang laki-laki di ‘Iraq juga
wahai Rosȗlullâh, kemudian Rosȗlullâh diam dan kembali berkata: Wahai Alloh
berkahilah Madinah kami dan berkahilah Mud kami dan Sho’ kami. wahai Alloh
berkahilah Harôm kami dan berkahi Syam kami dan berkahilah Yaman kami, berkata
seorang laki-laki di ‘Iraq juga wahai Rosȗlullâh, Beliau
menjawab, ”Sesungguhnya di sana muncul tanduk setan dan bergejolaknya api
fitnah Tidak
diriwayatkan Hadîts ini dari Ziyâd Bin bayân kecuali Ismâ’îl
Bin ‘Ulyah yang menyendiri darinya yakni anaknya Hamâd..[126]
حدثنا
عبدالله بن جعفر ثنا إسماعيل بن عبدالله ثنا الحسن بن رافع الرملي ثنا ضمرة عن ابن
شوذب عن توبة العنبري عن سالم بن عبدالله عن أبيه أن عمر قال إن النبي صلى الله
عليه و سلم قال اللهم بارك لنا في صاعنا وفي مدنا فرددها ثلاث مرات فقال الرجل يا
رسول الله ولعراقنا فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم بها الزلازل والفتن
ومنها يطلع قرن الشيطان كذا رواه ضمرة عن ابن شوذب عن توبة ورواه الوليد بن مزيد
عن ابن شوذب عن مطر عن توبة .
Menceritakan kepada kami ‘Abdullâh Bin ja’far menceritakan
kepada kami Ismâ’îl Bin ‘Abdillâh menceritakan kepada kami Hasan Bin
Rôfi’ Ar-Romly menceritakan kepada kami Dhomroh dari Ibn Syaudzab dari Taubah
Al-‘Anbary dari Sâlim Bin ‘Abdillâh dari ayahnya sesungguhnya ‘Umar berkata
bahwa sesungguhnya berkata Nabi ShollAllâhu
‘Alaihi Wasallam: Wahai Alloh
berkahilah Sho’ kami dan Mud kami, beliau mengulanginya tiga kali kemudian
berkata seorang laki-laki wahai Rosȗlullâh di ‘Iraq kami,
kemudian Rosȗlullâh berkata:”Sesungguhnya di sana akan terjadi kegoncangan dan
fitnah dan didalamnya akan muncul tanduk
setan.[127]
حدثنا عبدالله بن محمد بن جعفر ثنا عبدالله بن
جامع الحلواني ثنا عباس ابن الوليد بن مزيد ثنا أبي ثنا ابن شوذب حدثني عبدالله بن
القاسم ومطر وكثير أبو سهل عن توبة عن سالم عن أبيه أن النبي صلى الله عليه و سلم
قال اللهم بارك لنا في مدينتنا وبارك لنا في مكتنا وبارك لنا في شامنا وبارك لنا
في يمننا وبارك لنا في صاعنا ومدنا فقال رجل يا رسول الله وفي عراقنا فأعرض
عنه فقال فيها الزلازل والفتن وبها يطلع قرن الشيطان.
Menceritakan kepada kami ‘Abdullâh Bin Muhammad Bin
ja’far menceritakan kepada kami ‘Abdullâh Bin Jâmi’ Al-Hilwâny
menceritakan kepada kami ‘Abbâs Ibn Al-Walîd Bin Mazîd menceritakan kepada kami
Ayahnya bahwa sesungguhnya berkata Nabi ShollAllâhu
‘Alaihi Wasallam: Wahai Alloh
berkahilah Madinah kami dan keberkahan bagi kami Negeri Makkah, keberkahan bagi
kami Negeri Syam kami keberkahan bagi kami Negeri Yaman kami keberkahan bagi
kami Negeri Sho’ Kami dan Negeri Mud kami berkata seorang laki-laki wahai
Rosȗlullâh di‘Iraq kami, kemudian Rosȗlullâh berpaling dari nya
dan berkata:” didalamnya (‘Iraq) akan terjadi kegoncangan dan fitnah dan
darinya akan muncul tanduk setan.[128]
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ بْنِ أَبَانَ وَوَاصِلُ بْنُ عَبْدِ الأَعْلَى
وَأَحْمَدُ بْنُ عُمَرَ الْوَكِيعِىُّ وَاللَّفْظُ لاِبْنِ أَبَانَ قَالُوا
حَدَّثَنَا ابْنُ فُضَيْلٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ سَمِعْتُ سَالِمَ بْنَ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ عُمَرَ يَقُولُ يَا أَهْلَ الْعِرَاقِ مَا أَسْأَلَكُمْ عَنِ
الصَّغِيرَةِ وَأَرْكَبَكُمْ لِلْكَبِيرَةِ سَمِعْتُ أَبِى عَبْدَ اللَّهِ بْنَ
عُمَرَ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « إِنَّ
الْفِتْنَةَ تَجِىءُ مِنْ هَا هُنَا ». وَأَوْمَأَ بِيَدِهِ نَحْوَ الْمَشْرِقِ « مِنْ
حَيْثُ يَطْلُعُ قَرْنَا الشَّيْطَانِ ». وَأَنْتُمْ
يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ وَإِنَّمَا قَتَلَ مُوسَى الَّذِى قَتَلَ مِنْ
آلِ فِرْعَوْنَ خَطَأً فَقَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُ (وَقَتَلْتَ نَفْسًا
فَنَجَّيْنَاكَ مِنَ الْغَمِّ وَفَتَنَّاكَ فُتُونًا)
Menceritakan kepada kami ‘Abdullâh Bin ‘Umar Bin Abân dan
Wâshil Bin ‘Abd Al-A’lâ dan Ahmad Bin ‘Umar Al-Waki’iy dengan
menggunakan lafazh dari Ibn Abbân mereka berkata menceritakan kepada kami Ibn
Fudhoil dari Ayahnya yang berkata saya mendengar Sâlim Bin ‘Abdillâh Bin ‘Umar
berkata:Wahai penduduk
Iraq! Alangkah seringnya kalian bertanya tentang
masalah-masalah sepele dan alangkah beraninya kalian menerjang dosa besar! Saya
mendengar ayahku Abdullah bin Umar mengatakan, ”Saya mendengar Rasulullah ShollAllâhu
‘Alaihi wa Sallam bersabda,’Sesungguhnya fitnah datangnya dari arah sini beliau
sambil mengarahkan tangannya ke arah timur, dari situlah muncul tanduk setan. Kalian saling menebas leher satu sama lain.
Musa hanya membunuh orang yang berasal dari keluarga Fir’aun karena tidak
sengaja. Lalu Allah ‘azza wa jalla berfirman padanya : ‘Dan kamu pernah
membunuh seorang manusia, lalu kami selamatkan kamu dari kesusahan dan Kami
telah mencobamu dengan beberapa cobaan.”
(Thaahaa: 40)”[129]
Dari data-data yang telah dikumpulkan dan dengan menggunakan
Kaidah yang telah dirumuskan ‘Ulama’ maka dapatlah kita ketahui keterangan dari
para ‘Ulama’ khususnya ahli Hadîts dan ‘Ulama’ Ahli Bahasa bahwa Nejed pada Hadîts diatas adalah Nejed ‘Iraq
inilah yang telah diterangkan oleh para Muhadditsîn seperti: Ibn Hajar Al
– ‘Asqolâni, Al-Kirmâni, Al-‘Aini, Ibn
Batthôl, Shofîyyurrohmân Al-Mubârokfȗri, Muhammad Al-Mubârokfȗri, Dr. ‘Abd As-Sanad Hasan
Yamamah, Muhammad Zakariyyâ
Al-Kandahlawî, Hisyâm Bin Ahmad Al-Waqqosyî Al-Andalusî, Al-Baghowi.[130] Kemudian para Ahli Bahasa
juga melengkapi bahwa Nejed yang dikenal oleh orang Arab itu banyak
termasuk didalamnya adalah Nejed ‘Iraq, dan sangat sulit untuk dipungkiri lagi
setelah adanya keterangan dari Hadîts- Hadîts diatas yang dengan jelas menyebutkan bahwa tempat itu
adalah ‘Iraq.
Ibnu Taimiyyah mengatakan didalam Fatawaa nya:
وَمَعْلُومٌ أَنَّهُ كَانَ
بِالْكُوفَةِ مِنْ الْفِتْنَةِ وَالتَّفَرُّقِ مَا دَلَّ عَلَيْهِ النَّصُّ
وَالْإِجْمَاعُ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ) الْفِتْنَةُ
مِنْ هَاهُنَا ؛ الْفِتْنَةُ مِنْ هَاهُنَا ؛ الْفِتْنَةُ مِنْ هَاهُنَا ؛ مِنْ
حَيْثُ يَطْلُعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ (
Diketahui bahwa di Kufah terjadi fitnah dan
perpecahan yang telah ditunjukkan oleh Nash dan Ijma karena ada Sabda Nabi
ShollAllâhu ‘Alaihi Wasallam: fitnah dari arah sini, fitnah dari arah sini,
fitnah dari Arah sini, yaitu dari tempat munculnya tanduk setan.[131]
Sejarah
dan fakta lapangan membuktikan kebenaran Hadîts Nabi di atas.
Benarlah ‘Iraq adalah sumber fitnah, baik yang telah terjadi maupun
yang belum terjadi. Seperti:
1.
Keluarnya Ya’jȗj dan Ma’jȗj
2.
Perang Jamal
3.
Perang Shiffîn
4.
Fitnah Karbala’
5.
Tragedi Tartar
Demikian
pula munculnya kelompok-kelompok sesat seperti:
1.
Khowârij yang muncul di kota Harȗro’ kota dekat
Kuffah
2.
Rafidhah (Syi’ah) hingga kini masih kuat
3.
Mu’tazilah
4.
Jahmiyah, dan Qadariyah.[132]
Dan kenyataan
yang kita saksikan dengan mata kepala pada saat ini, keamanan di ‘Iraq terasa
begitu mahal. Banyak peperangan dan pertumpahan darah antara Sunni Syi’ah serta
andil (campur tangan) orang-orang kafir dalam menguasai ‘Iraq karena Iraq
dikenal dengan Negara yang kaya akan minyak dan merupakan salah satu Negara
terkuat Arab saat itu. Dilihat dari segi sifatnya mereka pada umumnya adalah
orang-orang yang sangat teguh dalam berprinsip sampai masalah terkecil
sekalipun akan dipermasalahkan sehingga disindir oleh Ibnu ‘Umar[133] ketika
mereka menanyakan hal yang sangat kecil (bertanya tentang hukum darah nyamuk
yang mengenai orang sholat) sementara mereka terlibat dalam masalah besar
seperti pembunuhan keluarga Husain.[134] Kita
berdo’a kepada Allâh agar memperbaiki keadaan di ‘Iraq, menetapkan
langkah para mujâhidîn di ‘Iraq dan menyatukan barisan mereka. Amiin.
2. Makna Tanduk Setan (Qorn Asy-Syaithôn).
Berdasarkan keterangan yang
terdapat dalam kitab Syarah Hadîts maka keseluruhannya dapat
kita simpulkan yang saling melengkapi bahwa قرن الشيطان itu adalah kekuatan setan berupa
fitnah-fitnah yang disebarkan guna untuk menguasai manusia yang senantiasa
menyebar diantara manusia guna untuk memalingkan manusia yang hanya beribadah
kepada Allâh kepada beribadah kepada
setan.[135]
Berdasarkan dari
keterangan-keterangan diatas dapat dipahami bahwa maksud Hadîts tersebut adalah Nubuwwah Nabi kepada para Sahabatnya
akan terjadinya fitnah besar serta munculnya kekuatan setan yang senantiasa
menyebar di Negeri yang beliau sebut dengan Nejed, dan berdasarkan kajian yang
dilakukan dengan mengumpulkan Hadîts - Hadîts yang semakna serta
menyertakan pendapat para ‘Ulama’ melalui kitab-kitab mereka yang Mu’tabar dan Mu’tamad
maka, dapat diketahui bahwa
Nejed yang dimaksud Nabi yakni Negeri ‘Iraq.
Tanduk
sendiri mempunyai arti filosofi tersendiri dalam sabda Nabi diatas, biasanya
Nabi selalu menyimbolkan suatu kejadian atau sifat dengan sesuatu yang biasanya
lekat dan dekat dengan kehidupan manusia, seperti tanduk dilambangkan dengan simbol
kejahatan setan dan fakta nya sampai sekarang perkumpulan Theosofi dan
pemuja setan juga menggunakan atribut dengan gambar setan yang mempunyai tanduk
diacara-acara mereka.[136]
Keutamaan
yang tetap dalam bentuk umum tidak menjadi ketetapan bagi individu begitu juga
kecaman yang tetap dengan keumuman tidak menjadi ketetapan bagi Individu. Jika benar bahwa yang dimaksud Najd adalah Iraq atau Hijaz,
maka kita tidak boleh menetapkan celaan dan kecaman kepada pribadi-pribadinya
karena tidak otomatis penduduk negeri tersebut menjadi tercela.
Berapa banyak orang fasik dan tercela berada di Madinah, Mekkah dan
Syam sedangkan banyak sekali orang alim lagi terpuji tinggal dan lahir di ‘Iraq
dan Hijaz. Dalam sebuah Hadîts yang ditujukan kepada
penduduk Madinah disebutkan:
حَدَّثَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ ، عَنِ الزُّهْرِيِّ ، عَنْ
عُرْوَةَ ، عَنْ أُسَامَةَ ، أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم أَشْرَفَ عَلَى
أُطُمٍ مِنْ آطَامِ الْمَدِينَةِ ، ثُمَّ قَالَ : هَلْ تَرَوْنَ مَا أَرَى إنِّي
لأَرَى مَوَاقِعَ الْفِتَنِ خِلاَلَ بُيُوتِكُمْ كَمَوَاقِعِ الْقَطْرِ.
Menceritakan kepada kami Ibn
‘Uyainah, dari Azzuhry, dari ‘Urwah, dari Usâmah, sesungguhnya Nabi ShollAllâhu
‘Alaihi Wasallam merupakan benteng yang paling mulia dari benteng-benteng yang
ada di Madinah, Nabi berkata: Sesungguhnya aku benar-benar melihat
tempat-tempat fitnah keluar dari rumah
kalian seperti tetesan-tetesan Hujan.[137]
Apakah boleh kita mencela penduduk Madinah atau
‘Ulama’ Madinah?
Bumi tidak
mensucikan individu. Begitu indah apa yang dikatakan oleh dua orang yang telah
dipersaudarakan oleh Rasulullah shollAllâhu ‘Alaihi Wasallam. karena cintanya
Salman kepada abu Dardâ’, beliau menginginkan Saudaranya tersebut Pindah
bersamanya ke Syam sebagai daerah yang kerap dipuji oleh Rasȗlullah. lalu Abu
Dardâ’ menjawab dengan jawaban yang perlu ditulis dengan tinta emas, Abu Dardâ’
menjawab:
أما بعد, فإن الأرض المقدسة لا تقدس أحداً, وإنما يقدس الإنسان بعمله
Amma ba’du, Sesungguhnya tanah yang disucikan tidak
dapat mensucikan seorangpun, Yang bisa mensucikan seseorang adalah amalnya.[138]
Celaan dan
kecaman terhadap suatu daerah tertentu terkait fitnah yang akan terjadi
didaerah tersebut tidak terjadi sepanjang kurun dan waktu tapi terkadang daerah
tersebut adalah mercusuar dari pengetahuan dan keilmuan serta kejayaan.
Oleh
karena itu mempelajari makna Hadîts dengan bantuan
kitab-kitab syarah (penjelasan) para ulama tentu menjadi keharusan agar
tidak keliru menafsirkannya.
Alangkah
indahnya ucapan Sufyan bin ‘Uyainah:
يَا أَصْحَابَ
الْحَدِيْثِ تَعَلَّمُوْا مَعَانِيَ الْحَدِيْثِ فَإِنِّيْ تَعَلَّمْتُ مَعَانِيَ
الْحَدِيْثِ ثَلاَثِيْنَ سَنَةً
Wahai penuntut
ilmu hadits! Pelajarilah makna hadits, sesungguhnya saya mempelajari makna
hadits selama tiga puluh tahun.[139]
BAB V
*PENUTUP
A.
Kesimpulan.
Berdasarkan
analisis yang peneliti lakukan, maka terdapat kesimpulan sebagai berikut:
1.
Hadîts “FITNAH TANDUK SETAN DARI NEGERI MASYRIQ (NEJED)” pada penelitian ini secara kualitas adalah Shohîh,
dan secara kwantitas Hadîts ini
diriwayatkan oleh 6 orang Sahabat dengan lafadz yang diriwayatkan secara
Bil Ma’na.
2.
Masyriq dalam
hal ini adalah Nejed yang dimaksud oleh Rosȗlullâh pada Hadîts “FITNAH
TANDUK SETAN DARI NEGERI MASYRIQ (NEJED)” berdasarkan penjelasan Imâm-Imâm
Ahli Hadîts kemudian dikuatkan oleh Pendapat Ahli Bahasa maka tidak syak
lagi bahwa Nejed yang dimaksud adalah Nejed ‘Iraq.
3.
Makna “Qorn
Asy-Syaitôn” sendiri adalah Fitnah besar yang mengakibatkan terjadinya
kekacauan yang disebarkan setan ditengah-tengah manusia.
B.
Saran
Adapun
saran yang peneliti ingin kemukakan pada penelitian karya ilmiyah ini, antara
lain sebagai berikut:
1.
Hendaknya kita menghindari fitnah dan tidak
menjadi pelopor dari timbulnya fitnah tersebut karena fitnah merupakan
pekerjaan yang sangat buruk.
2.
Apa yang sudah peneliti lakukan sudah maksimal
adanya. Kekurangan peneliti dalam hal ini adalah karena peneliti hanya
membatasi pada klasifikasi masing-masing kitab, baik Kitab Shohîh,
Sunan, Musnad, maupun Muwattho’ yang diharapkan mampu mewakilinya
karena kitab-kitab ini banyak digunakan dikalangan umat Islam. Sehingga untuk
peneliti yang akan meneliti selanjutnya terkait dengan masalah ini, selayaknya
berlanjut pada tujuan yang hendak dicapai agar kemudian penelitian tersebut
menghasilkan sesuatu yang Komprehensif dan lebih konkrit.
[1] Daud Rasyid, Islam
dalam berbagai dimensi, Jakarta:
Usamah Press.2003, Hlm. 24. Lihat M. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam
bukunya, Sejarah dan pengantar Ilmu Hadits, Jakarta: Bulan Bintang, 1991, Hlm. 168-171. Lihat H.M.
Syuhudi Isma’il didalam bukunya, Kaedah keshohihan sanad Hadits”
Tela’ah kritis dan tinjauan dengan
pendekatan Ilmu sejarah, Jakarta:
Bulan Bintang, 1995, Hlm. 3. H.M. Erfan Soebahar, Menguak Fakta
Keabsahan As-Sunnah, Jakarta Timur:
Kencana, 2003, Hlm. 3. Badri Khoiruman, Otentisitas Hadȋts”
Studi kritis atas kajian Hadits kontemporer”, Bandung: Rosdakarya, pada bab pendahuluan. Lihat. Metodologi
Ahli Hadits, terjm. H.Abdus Shomad,H. Johar Arifin, Pekanbaru:
Yayasan pusaka Riau, Hlm. 9-28. Jalâluddîn As-Suyȗthi, Argumentasi
As-Sunnah” Kontra Atas Penyimpangan
Sumber Hukum Orisinil, Surabaya:
Risalah Gusti, 1997.
[2] Daud Rasyid, Op
Cit, Hlm. 25.
[3] H.M. Syuhudi
Isma’il dalam Sekapur sirih, Op Cit, Hlm. Xi.
[4] Ibid, Hlm. Xi.
[5]
Abî Ja’far Ahmad
Bin Muhammad Bin Salâmah Ath-Thohâwi, Syarah Musykil Al-Atsar,
Beirut: Mu’assasah Ar-Risâlah, 1994, juz 1, Hlm.7.
[6] Muhammad
Bin Ismâ’il Bin Ibrôhȋm Bin Mughîroh Bin Bardizbah Al-Bukhôri Al-Ju’fi, Al-Jâmi’u AS-Shohîh
al-Musnad Min Hadîts Al-Rosûlillah Min Sunanihi Wa Ayyâmihi, Kairo: Maktabah
As-Salafiyyah Wa Maktabaha,1979,Juz IV, No.7094. dan terdapat juga pada No Hadîts
1032, (selanjutnya disingkat Shohih
Al-Bukhôri).
[7] Muhammad
Bin ‘Isâ Bin Saurota At-Turmȗdzi, Sunan At-Turmȗdzi, Riyadh: Maktabah
Al-Ma’ârif,tt, Tahqîq: Muhammad Nasaruddîn Al-Albâni,
No.1953,hlm.885. (Selanjutnya disingkat
Sunan At-Turmȗdzi)
[8] Imâm Mâlik Bin
Anas, Al-Muwattho’, Mesir: Dar Ar-Royyân, 1988, Hlm. 275-276.
[9] Lihat Buku Tim
Bahtsul Masâ’il PC NU (Nakhdhotul ‘Ulama’) Jember, Membongkar
Kebohongan Buku “Mantan Kiyai NU Menggugat Sholawat & Dzikir Syirik” (H.
Mahrus Ali), Surabaya: Khalista,2008, Hlm. 209. Didalam buku ini dikatakan
bahwa Wahabi adalah generasi pengikut setan dengan ber hujjah dengan Hadits
diatas.
[10] Lihat: sayyid Ahmad
Bin sayyid Zaini dahlân, Ad-duroru As-Saniyatu fi Roddi ‘Ala
Al-Wahabiyah, Damaskus: Maktabah al-Ahbab,2003,Hlm. 123-136.
[11] Lihat dalam
buku trilogy karangan Syekh Idahram, Sejarah Berdarah Sekte Salafi
Wahabi “Mereka Membunuh Semuanya termasuk para ‘Ulama’ ”,buku ini diberi
pengantar oleh Prof.Dr.KH.Said Agil Siraj,MA. (Ketua Umum PBNU), Yogyakarta:
Pustaka pesantren,2011,Hlm.139-176. (Buku ini Cukup menghebohkan sampai harus
naik cetak pada tahun 2011 sebanyak 11 kali kali cetak, selain judul diatas
pengarang (syekh idahram) ia juga
mengarang dua judul lainnya yakni: Mereka memalsukan kitab-kitab karya ‘Ulama’
klasik “episode Kebohongan public Sekte salafi Wahabi”, (buku ini lanjutan
kedua dari Buku karangan pertama) dengan pengantar Prof.Dr.KH.said agil
Siraj,MA. Dan Prof.Dr. Azyumardi Azra, MA. (Direktur Sekolah Pascasarjana UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta) buku ini tahun 2011 mengalami sampai 4 kali cetak
diterbitkan oleh penerbit yang sama
dengan buku pertama. Kemudian terakhir Buku: ‘Ulama’ Sejagat Menggugat
salafi wahabi “Mengenal dan mengkritisi penyimpangan tokoh-tokoh utama mereka:
Ibnu Taimiyah,Muhammad bin ‘Abdul Wahab,Nashiruddin Al-albani,Ibnu Baz,Ibnu
‘Utsaimin,shalih Ibnu fauzan,dan lain-lain”,dengan kata pengantar
Prof.Dr.KH. Said Agil Siraj,MA. Dan KH. Munzir Tamâm, MA. (Ketua Umum MUI
Jakarta) diterbitkan oleh penerbit yang sama.
[12] Selanjutnya agar
tidak berbelit-belit akan di Sebut Salafi Wahhabi saja mengikuti Istilah yang
Umum di Masyarakat.
[13] فَمَالِ هَؤُلاءِ الْقَوْمِ لا يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ
حَدِيثًا Artinya:
“Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami
pembicaraan sedikit pun?”
[14] ‘Abdul Mannân
Ar-Rasikh, Mu’jam Al-Ishthilahat Al-Ahadits An-Nabawi (Terjemahan),
Jakarta: Darul Falah,2006, Hlm.152.
[15] Totok
Jumantoro, Kamus Ilmu Hadits, Jakarta: Bumi Aksara, 2007,
Hlm.121-123.
[16] Mahmȗd Yȗnus, Kamus
Arab-Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung.tt, Hlm.196.
[17] قَالَ رَبُّ الْمَشْرِقِ
وَالْمَغْرِبِ وَمَا بَيْنَهُمَا إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ Artinya:
Musa berkata: "Tuhan yang menguasai timur dan barat dan apa
yang ada di antara keduanya: (Itulah Tuhanmu) jika kamu mempergunakan
akal".lihat juga keterangan Ibnu Mandzȗr dalam Lisân –Al-‘Arobi,Mesir:
Dar Al-Ma’ârif,tt,jilid 4 huruf ش, Hlm.2244.
[18] Mengenai Buku Trilogy Karangan Syeikh Idahram
telah di sebutkan dan dijelaskan siapa saja yang merekomendasikan buku tersebut
dalam Footnotes dihalaman 7.
[19] Heri Jauhari, Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah: Artikel,Resensi,Laporan,Makalah Proposal,Skripsi,
Tesis, Bandung: Pustaka Setia, 2007, Hlm.36.
[20] Lihat Muhammad
Bin Muhammad Abȗ Syuhbah, Al-Wasîth
fȋ ‘Ulȗmi Wa Mushtholahi Al-Hadȋts, Jeddah: ‘Ilmu
Al-Ma’rifah, tt, Hlm. 15. Lihat Muhammad Hasbi Ash- Shiddieqy, Op.
Cit, Hlm. 405.
[21] Muhammad
Hasbi Ash- Shiddieqy, Op. Cit, Hlm. 20.
[22] Ibid, Lihat ‘Abdul Mannan Ar-Rosikh, Op.Cit,Hlm.
89.
[23] Mahmûd
At-Thohân, Mushtholah Al-Hadȋts, Riyâdh: Maktabah
Al-Ma’ârif, 2004, Hlm. 17. Lihat Muhammad
Hasbi Ash- Shiddieqy, Loc. Cit.
[24] Lebih Lanjut
Lihat Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Op.Cit, Hlm. 404-409.
[25] Munzir
Suparta, Ilmu Hadits, Jakarta: Rajawali Press, 2008, Hlm. 3.
[26] Muhammad
Hasbi ash-Shiddieqy, Op.Cit, Hlm.23.
[27] Muhammad
Mushthofâ As-Sibâ’I, As- Sunnah Wa Makânatuhâ fȋ Tasyri’ Al-Islamî,
Kairo: Maktabah Islamȋ, tt, Hlm. 65. Lihat
Nur- Al-Dîn i‘tr, Manhaj
An-Naqdi Fî ‘Ulûmi Al-Hadîts, Damaskus: Dar-Al Fikr, 1988, Hlm. 27.
[28] ‘Abdul Mannan
Ar-Rosikh, Op.Cit, Hlm. 105,106. Lihat Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Hadits,
Op.Cit, Hlm. 231.
[29] Ibid. Lihat Muhammad Mushthofâ As-Sibâi, Loc. Cit. Maksud dari Qobla Al-Bi’tsah
ini seperti proses Tahannuts- nya Nabi Di Gua Hiro’.
(Lihat Munzir Suparta, Op.Cit, Hlm. 7)
[30] Totok
Jumantoro, Loc. Cit.
[31] Lihat Munzir
Suparta, Op.Cit, Hlm. 13.
[32] Muhammad
Hasbi Ash-Shiddieqy, Op. Cit, Hlm. 32. Lihat Munzir Suparta, Op.
Cit, Hlm. 15. Lihat ‘Abdul Mannan Ar-Rosikh, Op.Cit, Hlm. 89.
[33] Ibid, Muhammad
Hasbi Ash-shiddieqy, Hlm. 33.
[34] Ibid.
[35] Tim Kajian
Quantum Media, 1 Jam Mahir Hadits “Metode Al-Itqon, Surabaya: Quantum
Media, 2010, Hlm. 1.
[36] Ibid, Hlm. 2.
[37] Ibid.
[38] Mujamma’a
Al-Lughôh Al-‘Arôbiyyah, Mu’jam Al-Wâsȋth, Mesir: Maktabah Asy-Syurûq
Al-‘Arôbiyyah, 2004, Hlm. 453. Lihat ‘Abdul Mannan Ar-Rosikh, Op. Cit,
Hlm. 105.
[39] Ibid.
[40] Mahmûd
yûnus, ‘Ilmu Mushtholah Al-Hadȋts, Jakarta: Maktabah
As-Sa’âdiyyah Futra,1940, Hlm. 22.
[41] Ibid.
[42] Totok
Jumantoro, Op. Cit, Hlm. 157.
[43] Ibid, Hlm.
149-150.
[44] Al-Musnid
Artinya yang menyandarkan, yaitu rawi atau penuntut Hadits, atau
orang yang baru mulai. Karenanya Musnid derajadnya di bawah Muhaddits.
Gelaran ini keahlian bagi orang yang meriwayatkan Hadits beserta Sanad-nya.
Baik ia menguasai ilmunya atau tidak. Al-Musnid juga disebut ath-thôlib,
al-Mubtadi’, dan Ar-Rôwi. Atau orang yang menerangkan Hadits
dengan menyebut Sanad-nya. (Lihat Totok Jumantoro, Op. Cit, Hlm.
179). Lihat ‘Abdul Mannan Ar-Rosikh, Op.Cit, Hlm. 181.
[45] Ibid, Totok
Jumantoro, Op.Cit, Hlm. 179.
[46] ‘Abdul Mannan
Ar-Rosikh, Op.Cit, Hlm. 158.
[47] Ibid, Hlm.
82-83.
[48] Ibid, Hlm. 84.
[49] Ibid, Hlm. 83.
[50] Ibid, Hlm. 54.
[51] Munzir
Suparta, Op. Cit, Hlm. 148.
[52] Lihat Al-Hâfizh
Jalâluddȋn As-Suyûthi, Tadrȋb Ar-Rôwi Fi Syarhi Taqrȋb An-Nawâwi,
Beirut: Mu’assasah Ar-Royyân, 2005, Hlm. 190.
[53] Al-Hâfizh
Ibnu Hajar Al-‘Asqolâni, Nukhbah Al-Fikr Fi Mushtholah Ahli
Atsar, Beirut: Dar Ibn-Hazm, 2006, Hlm. 310.
[54] Muhammad
Syuhudi Isma’il, Op.Cit, Hlm. 170.
[55] Ibid.
[56] ‘Abdul Mannan
Ar-Rôsikh, Op.Cit, Hlm. 134.
[57] Lihat Abȗ
Thôlib Al-Qôdhi, ‘Ilal At-Tirmîdzi Al-Kabîr, Beirut: Maktabah
An-Nakhdhoh Al-‘Arôbiyyah, 1989, Hlm. 8.
[58] ‘Abdul Mannan
Ar-Rôsikh, Op.Cit, Hlm. 135
[59] Ibid.
[60] Ahmad Muhammad
Syâkir, Al-Bâ’its Al-Hatsîts Syarh Ikhtishôr ‘Ulȗm al-Hadîts,
Beirut: Dar Kitab ‘Ilmiyyah, tt, Hlm. 60.
[61] Lihat Sayyid
Muhammad Murtaddhu Al-Husaini Az-Zabidi, Taj Al-‘Arus Min
Jawâhir Al-Qomûs, Kuwait: Turôts Al-‘Arôbi, Cet. I, 2001, Hlm. 456.
[62] Daniel Juned, Ilmu
Hadits “Paradigma Baru dan Rekonstruksi Ilmu Hadits”,
Jakarta: Erlangga,2010, Hlm. X dalam Muqoddimah.
[63] Ibid, Hlm. 98.
[64] Lihat
keterangan Hasbi Ashiddieqy, Op.Cit, Hlm. 182-190.
[65] Daniel Juned, Op.Cit,
Hlm. 90.
[66] Muhammad
Dhiya’ Ar-Rohmân Al-A’zhômi, Mu’jam Al-Ishthilâhat Wa Lathô’if
Al-Asânid, Riyadh: Maktabah Adhwa’ As-Salaf, 1999, Hlm. 150.
[67] Al-Qodhi Al-Hasan
Bin ‘Abd Ar-Rohmân Ar-Româhurmuzi, Al-Muhaddits
Al-Fâshil baina Ar-Rôwi wa Al-Wâ’I, Beirut: Dar Al-Fikr, 1771, Hlm. 238.
Lihat Al-Khotib Al-Baghdadi, Al-Kifâyah Fi Ma’rifati Ushûli ‘Ilmi
Ar-Riwâyah, Mesir: Dar Al-Hudâ, 2003, Hlm. 153. Lihat Daniel Juned, Op.Cit,
Hlm. 91.
[68] Ibid.
[69] Shiddiq Hasan
Al-Qonȗji, Abjad Al-‘Ulum, Damaskus: Mansyurot wizarotu Atsaqofi wa Al-Irsyad
Al- Qoumi, 1889,Hlm. 285, 400.
[70] Kaedah-Kaedah
ini diambil dari berbagai Sumber seperti buku Yusuf Al-Qorodhowi “Kaifa
Nat’amal Ma’a Sunnah, kemudian dari buku Karangan Ustadz ‘Abdullah Zein,
MA. Dengan judul “ Agar tidak keliru dalam memahami Hadits”.
[71] Lihat Muhammad Nashir uddîn Al-Albâni, Nashb al-Majânîq li Nishf Qisshoh al-Ghorôniq,
Oman: Maktabah Islâmi, Cet. 3, 1996. Lihat juga dalam terjemahannya kedalam
bahasa Indonesia berjudul Menyingkap tabir kebohongan “Kisah Kontroversi
Pujian Nabi Terhadap berhala” Jakarta: Pustaka Azzam, 2004.
[72] Yȗsuf
Al-Qorodhôwi, Kaifa Nata’âmal Ma’a As-Sunnah, Mesir: Dar Asy-Syurȗq,
2008, Hlm. 123.
[73] Lihat Daniel
Juned, Op.Cit, Hlm. 104.
[74] Ibid. Hlm.
100.
[75] Lihat Totok
Jumantoro, Op.Cit. Hlm. 201.
[76] Imâm Muslim , Shohîh
Muslîm, Riyadh: Baitul Afkâr Ad-Dauliyyah, 1998. Hlm. 962.
[77] Qs.
Al-Baqoroh: 282.
[78] Yusuf
Al-Qorodhowi, Op.Cit. Hlm. 146-147.
[79] Totok
Jumantoro, Op.Cit. Hlm. 53-54.
[80] Lihat Muhammad
Dhiya’ Ar-Rohmân Al-A’zhômi,
Op.Cit. Hlm. 427.
[81] Perlu
ditekankan bahwa Hadîts “ Fitah tanduk
setan dari negeri Masyriq (Nejed)” secara Lafazh Matan-nya
diriwayatkan secara Bi Al-Ma’na bahkan jika dihitung jumlah Hadȋts
dengan berbagai macam bunyi Lafzh Hadȋts –nya sesuai
jumlah kitab yang dibatasi dalam batasan masalah mencapai 40 (penulis menghitung dari
Sofwere Maktabah Asy-Syâmilah) lafazh yang secara umum dapat
dikumpulkan mewakili macam-macam lafazh-nya.
[82] Imâm Al-Bukhôri,
Loc.Cit.
[83] Abî Al-Husain
Muslim Bin Hajjaj Bin Muslim Al-Qusyairi An-Naisabȗri, Shohîh
Muslim, Riyadh: Bait Al-Afkar Ad-Dauliyah, 1998, Hlm. 1165. (Selanjutnya d disingkat
Shohîh Muslim)
[84] Imâm
At-Tirmidzi, Loc.Cit.
[85] Al-Hâfizh
Abî Al-Qôsim Sulaimân Bin Ahmad Ath-Thobrôni, Al-Mu’jam Al-Ausath,
ttp: Dar Al Haromain, tt, Hlm.249. (Selanjutnya disingkat Sunan
Ath-Thobrôni).
[86] Al-Imâm Ahmad
Bin Hanbal, Musnad Ahmad Bin Hanbal, Mesir: Dar Al-
Hadȋts, tt, Hlm. 85. (Selanjut nya disebut Musnad Ahmad).
[87] Al-Hâfizh
Abî Al-Qôsim Sulaimân Bin Ahmad Ath-Thobrôni,, Musnad Asy-Syamiyyin,
Beirut: Mu’assasah Ar-Risalah, 1989, Hlm. 246-247. (Selanjutnya disingkat
Musnad Asy-Syamiyyin).
[88] Al-Imâm Mâlik
Bin Anas, Al-Muwattho’, Mesir: Dar Ar-Royyân, 1988, Hlm. 275-276.
(Selanjutnya disingkat Muwattho’)
[89] Ahmad
Bin ‘Ali Bin Muhammad Al-‘Asqolâni, Fath Al-Bâri Bi Asy-Syah
Ash-Shohîh Al-Bukhôri, Riyadh: Mamlakah Mâlik Fahd
Al-Wathoniyyah, 2001, Juz: 13, Hlm.51. (Selanjutnya di Singkat Ibnu Hajar).
Lihat. Abî Sulaimân Hammad Bin Muhammad Al-Khottôby, I’lâm
Al-Hadîts, Mekkah: Ummul Qurô’ University, tth. Hlm. 1237.
[90] Ibid.
[91] Ibid.
[92] Imâm yahya
Bin Abi Bakîr Qôdhi Al-Kirmâni, Al-Bukhôri Bi Asy-Syarh al-Kirmâni, Beirut:
Dar Ihya’ Al-‘Arobi, 1981, juz 24, Hlm. 168. (Selanjutnya di Singkat
Al-Kirmâni)
[93] Ibid, Hlm. 167-168.
[94]
Imâm Al-‘Allamah Badruddîn Abî Muhammad Mahmȗd Bin Ahmad
Al-‘Aini, ’Umdat Al-Qôrî Syarh Shohîh Al-Bukhôri, Beirut: Dar Kitab Al-‘Ilmiyyah, 2001, juz 24, Hlm. 296. (Selanjutnya
di Singkat Al-‘Aini), Lihat juga dalam Abî Al-Husain ‘Ali Bin Kholaf Bin
‘Abd Al-Mâlik, Syarh Shohîh Al-Bukhôri li Ibn Batthôl, Riyadh: Maktabah Ar-Rosyid,tt, Juz 10, Hlm. 44.
[95] Ibid, Hlm. 297.
[96]
Lihat Syeikh
Shofîyyurrohmân Al-Mubârokfȗri, Minnah Al-Mun’im Fi Syarh
Shohîh Muslim, Riyadh: Dar As-Salâm, 1999, Juz 4, Hlm.357. (Selanjutnya
di Singkat Al-Mubârokfȗri ).
[97]
Al-Imâm
Al-hâfizh Abî Al-‘Ulya Muhammad Bin ‘Abd Ar-Rohmân Bin ‘Abd Ar-Rohîm
Al-Mubârkfȗri , Tukhfah
Al-Akhwâdzî Bi Asy-Syarh Sunan At-Tirmidzi, Beirut: Dar Al-Fikr, tt, Juz 10, Hlm. 452. (selanjunya
disingkat Muhammad Mubârkfȗri).
[98]
Ibid, Hlm. 453.
[100]
Ibid, Hlm. 231.
[101]
Muhammad Zakariyyâ Al-Kandahlawî Al-Madanî, Aujaz
Al-Masâlik Ilâ Muwattho’ Mâlik, Damaskus: Dâr Al-Qolam, 2003, Hlm. 353.
[102]
Ibid, Hlm.
353-354.
[103]
Ibid. Hlm. 355.
[104]
Hisyâm Bin Ahmad Al-Waqqosyî Al-Andalusî,
At-Ta’liq ‘Ala Al-Muwattho’, Riyadh: Maktabah Al-‘Ubaikan,
2001, Hlm. 377.
[105]
Ibid.
[107]
Ibid. Hlm. 207.
[108]
Ahmad
Zaini Dahlan, Op.Cit, Hlm. 128.
[109]
Syeikh Idahram,
Op.Cit, Hlm. 150-154.
[110]
LBM PCNU
Jember, Op.Cit. Hlm. 209.
[111]
Imâm Al-Ḥafizh
Abî Musâ Muhammad Bin Abî Bakar Bin Abî
‘Îsâ Al-Madîni Al-Ashfahâni, Al-Majmȗ’ Al-Mughîts fî ghorîb Al-Qur’ân
Wa Al-Hadîts, Riyadh: Ummul Qurô University, 2005, Hlm. 251.
[112]
Al-Imâm Majduddîn Abî As-Sa’âdât Al-Mubâroq Bin Muhammad Al-jazary,
An-Nihayah fî ghorîb Al-Hadits wa Al-Atsar, Riyadh: Maktabah
Al-islamiyyah, ttp, juz 5, Hlm. 19.
[113]
Syauqi Abȗ Kholîl, Athlash Al-Hadîts An-Nabawi Min Al-Kutub
Ash-Shihâh As-Sittah, Damaskus: Dar Al-Fikr, 2005,
Hlm. 356.
[114]
Majma’
Al-lughoh Al-‘arobiyyah, Mu’jam Al-Wajiz, Mesir: Maktabah Syurȗq
Ad-dauliyyah, 1994, Hlm. 602-603. Bandingkan dengan Majma’ Al-lughoh
Al-‘arobiyyah, Mu’jam Al-Wasith, Mesir: Maktabah Syurȗq Ad-dauliyyah,
2004, Hlm. 902.
[116] Syeikh Al-Imâm
Syihabuddîn Abî ‘Abdillâh Yaqȗt Bin ‘Abdillâh Al-Hamwy Ar-Rowy
Al-Baghdâdy, Mu’jam Al-Buldan, Beirut: Dar Shôdir,1977, Jilid 5, Hlm.
265.
[117] Lihat dalam
Yusȗf Al-Qorôdhôwi,Op.cit, Hlm. 123.
[118]Mudzakaroh
Asâtidzah Al-‘Ulamâ’ Ad-Dimasq, Kulla mâ Fi Al-Bukhôri Shohîh,
Kuwait: Jam’iyyah Ishlah Al-Ijtima’I, 1966.
[119]
Baca dalam
Badri Khaeruman, Op.Cit,Hlm. 212-222.
[120]
Lihat Al-Hâfizh Ibn Al-‘Arobi Al-Maliky, ‘Aridhoh
Al-Ahwâdzi bi Syarh Shohîh At-Tirmidzi, Beirut:
Dar Al-Kitab Al-‘Ilmiyyah, tt, Hlm. 299. Lihat Sunân At-Tirmidzi, Loc.Cit.
[121]
Lihat Abȗ
‘Ubaidah Masyhȗr Bin Hasan Alu Salmân, At-Tahdzîb Al-Hasan Li
Kitâb Al-‘Irôq Fî Ahâdîtsi Wa Atsâr al-Fitan, Oman: Dar Al-Atsariyyah,
2007, Hlm. 12.
[122]
Al-Imâm Ahmad
Bin Hanbal, Loc.Cit.
[123]
Ath-Thobrôni , Loc.Cit.
[124]
Al-Imâm Yȗsuf
Bin ‘Abdillâh Bin ‘Abd Al-Bar, Mausu’ah Syuruh Al-Muwattho’, Mesir: ttp,
2005, Hlm.229.
[125]
Al-Hâfizh
Abî Al-Qôsim Sulaimân Bin Ahmad Ath-Thobrôni, Al-Mu’jam Al-Ausath,
Mesir: Maktabah Ibn Taimiyyah,tth,juz 12, Hlm.384. Lihat juga dari jalur Mu’âdz
Bin Jabal dalam ‘Ali Al-Muttaqi Bin Hisâmuddîn Al-Hindi Al-Burhân Al-Fauri, Kanzul
‘Ummal, Beirut: Mu’assasah Ar-Risâlah, 1985, Hlm 97.
[126]
Imâm
Ath-Thobrôni, Op.Cit, Hlm.245-246.
[127] Al-Hâfizh Abî
Nu’aim Ahmad Bin ‘Abdullâh Al-Ashfahâny, Hilyah Al-Auliyâ’ wa
Thobaqôt Al-Ashfiyâ’, Beirut: Dar Al-kitâb Al-‘Ilmiyyah, 1988, juz 6,
Hlm.133.
[128]
Ibid.
[129]
Abî Al-Husain
Muslim Bin Hajjaj Bin Muslim Al-Qusyairi An-Naisabȗri, Shohîh
Muslim, Riyadh: Dar Ath-Thoyyibah,2006,Hlm. 1329.
[130]
Lihat kembali
dalam Bab III, Hlm.46-54.
[131]
Taqiyuddîn Abȗ
Al-Abbas Ahmad Bin ‘Abd Al-halîm Bin Taimiyyah Al-Harrôni, Majmȗ’
Al-Fatâwaa, Riyadh: Dar Al-Wafa’, 2005, Juz 20, Hlm. 316.
[132]
Lihat kembali Syarah
yang diterangkan Ahli Hadîts seperti dijelaskan pada Bab
III, Hlm.46-54.
[134]
Abȗ Fatiyah
Al-adnâni, Misteri pasukan panji hitan (Ashhâb Ar-Rôyati As-Sȗd),
Surakarta: Granada Media Utama, 2008, Hlm. 299. Lihat juga mengenai perjuangan
Mujahidin Iraq pada buku yang sama, Hlm. 311-337.
[135]
Ibid.
[136]
Lihat
selengkapnya dalam Ridwan Saidi dan Rizki Ridyasmara, “Fakta dan data Yahudi
di Indonesia”, Jakarta Timur:
Khalifa, 2006.
[137]
Al-Imâm Abî
Bakar ‘Abdillâh Bin Muhammad Bin Abî Syaibah Al-‘Absyy Al-kȗfy, Al-Mushonnaf
Li Ibn Abî Syaibah, Beirut: Dar Al-Qorthobah, 2006,Jilid 21, Hlm.36.
[138]
Muhammad
Nashiruddîn Al-Albâny, Silsilah Al-Ahâdîts Ash-Shohîhah, Riyadh:
Maktabah Al-Ma’ârif,tth,Hlm.305.
[139], , Lihat dalam
kitab Durȗs Li Asy-Syaikh Shôlih Al-Munajjid oleh Muhammad Shôlih
Al-Munajjid, Juz 202, Hlm. 22 – Versi Maktabah Asy-Syâmilah.