Rabu, 29 Mei 2013
PROFILE : A. HASSAN
Assalamu'alaykum Wr. Wb.
A. Hassan, namanya mungkin tidak cukup dikenal
oleh sebagian umat Islam Indonesia dewasa ini, tetapi ia pernah menjadi sangat
populer diera tahun 1930 hingga 1940-an, ketokohannya diakui tidak hanya oleh
mereka yang mengaguminya saja tetapi bahkan oleh mereka-mereka yang menjadi
lawan debatnya. Pada kesempatan kali ini, saya akan mencoba menampilkan profil
beliau yang merupakan 1 dari 3 orang tokoh Islam yang tulisan dan pemikirannya
sangat mendominasi cara saya memahami agama Islam. Profil A. Hassan ini saya
cuplik dan simpulkan dari Majalah Dua Mingguan Amanah No. 88, 17 - 30 November
1989. InsyaAllah berikutnya akan saya tampilkan pula profil dari Nazwar Syamsu,
orang kedua setelah A. Hassan yang telah memberi sumbangsih besar melalui
pemikirannya kedalam diri saya pribadi.
Bahkan dalam banyak kasus, saya sering
merujukkan pendapat saya kepada mereka berdua, terjemahan al-Qur'an yang saya
pegangpun mengacu pada terjemahan mereka yang dalam pandangan saya jauh lebih
original ketimbang terjemahan manapun termasuk Departemen Agama Republik
Indonesia yang seringkali ditambah-tambahi malah sampai merubah arti ayat dari
yang seharusnya.
Demikian, selamat membaca ...
A. Hassan, lahir di Singapura pada tahun 1887
dari pasangan Hajjah Muznah yang asli Surabaya dan Ahmad Sinna Wappu Maricar
yang masih merupakan keturunan ulama Mesir yang sekaligus berprofesi sebagai
wartawan dan penerbit buku serta surat kabar berbahasa Tamil.
Pendidikan A. Hassan semasa kecil sebagian
besar didapat dari ayahnya, diusia 7 tahun beliau mulai belajar al-Qur'an dan
selama 4 tahun belajar disekolah Melayu (setingkat SD sekarang), selebihnya dia
mempelajari bahasa Melayu, Tamil, Inggris dan Arab secara privat. Sejak usia 7
tahun itu juga A. Hassan sudah dididik belajar bekerja, entah sebagai buruh
ditoko kain, agen distribusi es, vulkanisir ban mobil hingga guru bahasa Melayu,
Inggris dan Arab.
Pada usia 34 tahun A. Hassan hijrah dari
Singapura ke Bandung untuk memimpin pabrik tekstil milik pamannya. Disini ia
berkenalan dengan tokoh-tokoh politik seperti H.O.S Tjokroaminoto, Sangaji, H.
Agus Salim dan Wondomiseno. Surabaya saat itu sedang hangat-hangatnya
pertentangan antara kaum tua dan kaum muda, kaum tradisionalis dan kaum
pembaharu agama seperti perbedaan masalah usholli dan ucapan niat sebelum sholat
yang dipertahankan pemakaiannya oleh kaum tua (tradisionalis). A. Hassan sendiri
dalam hal ini berada pada posisi kaum muda (pembaharu) yang menentang
pelaksanaan kedua hal tadi karena menurutnya itu sama sekali tidak ada ajarannya
dari Allah dan Rasul-Nya, semua itu adalah hasil penambahan baru dari para ulama
yang tidai ada dasar dan contoh dari jaman kenabian.
Walaupun bukan sebagai pendirinya, tetapi nama
A. Hassan sering di-identikkan dengan nama PERSIS (Persatuan Islam), yaitu suatu
organisasi pembaharu keagamaan yang lahir pada tanggal 12 September 1923 di
Bandung. Kelahiran Persis setidaknya merupakan jawaban dari sikap kolonial
Belanda masa itu yang mencoba menerapkan unifikasi hukum, yaitu mematikan
syariat Islam dan menampilkan hukum barat melalui pemberlakuan hukum adat
sebagai perantara pengalihan. Dakwah Persis diambil langsung dari sumber
al-Qur'an dan Hadis, karenanya pula Persis menolak bermazhab.
Dakwah Persis dimulai secara sembunyi-sembunyi
karena adanya pengawasan yang ketat dari pihak Belanda, baru setelah Moh. Natsir
pada tahun 1934 memintakan pengesahan organisasi tersebut pada kementerian
kehakiman maka Persis memulai dakwah secara terbuka.
Moh. Natsir sendiri merupakan mantan ketua umum
PP Persis dan salah satu murid kesayangan dari A. Hassan, ia yang paling
menonjol dari semua murid-muridnya. Bersama Moh. Natsir dan Persis maka A.
Hassan menerbitkan majalan Pembela Islam, gerakan dakwah Persis sempat memasuki
arena politik setelah pada tahun 1930-an pemerintahan Belanda semakin keras
melakukan tekanan pada kegiatan kaum pribumi sementara dalam waktu bersamaan
kaum Salibis mulai melancarkan misi Kristenisasinya secara meluas.
Secara internal kebangsaan, Persis berhadapan
dengan kelompok PNI yang dilakoni oleh mantan presiden Sokarno, perbedaan
terjadi karena adanya perbedaan ideologi dari keduanya. Meski demikian Persis
tidak menganggap PNI sebagai musuhnya, bahkan saat Soekarno dipenjara di Banceuy
Bandung, orang-orang Persis merupakan yang pertama membesuknya.
Persis bukan organisasi pembaharuan agama yang
pertama di Indonesia, sebelumnya sudah berdiri Muhammadiyah dikota Yogya,
al-Irsyad di Jakarta serta Syarikat Dagang Islam, Syarikat Islam dan
Perseryikatan Ulama. Namun karena masing-masing organisasi itu telah membatasi
dirinya dibidang-bidang tertentu seperti Syarikat Dagang Islam menitik beratkan
perhatiannya pada sektor Ekonomi yang membidani kelahiran Koperasi, Syarikat
Islam dibidang politik dan Perseryikatan Ulama yang berdiri di Majalengka Jawa
Barat pada keterampilan para santri dibidang usaha sementara Muhammadiyah
sendiri sibuk dengan bidang sosial dan pendidikan, maka Persis berdiri untuk
menjembatani semuanya dan menitik beratkan pada dakwah agama.
Tahun 1942 saat invasi Jepang ke Indonesia,
Persis sudah mendirikan 6 masjid dengan anggota jemaahnya berjumlah 500-an
orang. Jum'atan pertama Persis mendapat reaksi keras dari masyarakat. Soalnya
ketika itu khutbah Jum'at biasa dan harus disampaikan dengan bahasa Arab,
sedangkan Persis menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa daerah sebagaimana
lazimnya sekarang.
Persis juga yang pertama kali membuat tafsir
al-Qur'an dari kiri kekanan, karena tafsirnya itu menggunakan huruf latin. Pada
waktu itu orang beranggapan kafir bila memakai huruf latin disebelah huruf Arab.
Barangkali saking bencinya kepada Belanda, huruf Latinpun dikafirkan. Sedangkan
A. Hassan sendiri melalui Persisnya menganggap masalah huruf Latin hanyalah
urusan duniawi. Pesantren Persis juga mempelopori gerakan pembaharuan internal,
gurunya berdasi dan muridnya harus bersih dan necis tidak seperti kalangan
Pesantren waktu itu yang masih menggunakan sarung dan tidak terlalu
memperhatikan masalah pakaian.
A. Hassan melalui Persisnya melakukan dakwah
secara frontal, beliau menganggap bahwa umat sudah menjadi jumud (beku) bahkan
mundur karena telah menyimpang dari ajaran al-Qur'an dan hadis. Baginya Islam
itu sesuai tuntutan jaman, Islam berarti kemajuan dan agama tidak menghambat
malah menyetujuinya, mencari ilmu pengetahuan, perkembangan sains modern,
persamaan hak antara kaum wanita dan pria dan seterusnya.
Mereka melakukan perdebatan-perdebatan dengan
orang-orang yang tidak menyetujui cara pandang mereka terhadap agama, perdebatan
panjang telah mereka lalui, mulai dengan pihak Kristen, kaum Tua atau
tradisional, kaum kebangsaan, Ahmadiyah sampai pada komunis Ateis. Contoh kisah
Mubahalah antara kaum Persis dengan pihak Ahmadiyah Jakarta yang pernah
menghebohkan, peristiwa tersebut didahului dengan perdebatan sengit antara
keduanya yang mengakibatkan banyak anggota Ahmadiyah keluar dan sebagian lagi
menjadi anggota Persis. Contoh lain misalnya bagaimana A. Hassan menolak keras
paham mengenai sampainya pahala bacaan Yasin orang hidup kepada orang yang sudah
mati.
Berdebat dalam hal agama menurut A. Hassan
bagaikan membebaskan katak dari kurungan tempurung sehingga memberi kesempatan
bagi manusia untuk memilah dan memilih kebenaran sejati. Tindakan dan cara
seperti ini memang banyak ditentang oleh sejumlah orang terutama bagi mereka
yang sama sekali tidak memiliki kemampuan atau keberanian dalam berdebat, tetapi
seperti yang diungkapkan oleh Moh. Natsir bahwa beragama itu harus cerdas dan
jelas, sebab antara yang hak dan yang batil tidak bisa dicampur. Memang bagi
orang yang kalah berdebat bisa saja menjadikannya sebuah tamparan dimuka umum
sehingga menjadikannya trauma, tetapi bagaimanapun agama ini tidak boleh
dipahami secara beku, kita harus berani kritis dalam beragama.
Bid'ah dalam agama bukan suatu perbedaan,
bid'ah adalah penyimpangan dari Qur'an dan Sunnah, membiarkan Bid'ah artinya
kita memupuk perbuatan yang salah dan kemunafikan.
A. Hassan tahu benar bahwa pendiriannya yang
terlalu keras dalam beragama menimbulkan banyak orang benci dan memusuhinya.
Tetapi disayang atau dibenci buatnya adalah urusan orang lain. Dia tidak
memperdulikan masalah itu. Baginya musuh dalam tulisan tetapi tidak dengan
orangnya. Dia selalu hormat kepada setiap orang walaupun itu musuhnya sendiri.
Bertamu kerumahnya pintu terbuka lebar, apalagi orang itu datang dari jauh,
diterimanya bahkan dilayaninya sebaik-bainya. Dia sangat memuliakan tamu. Setiap
surat yang datang dari siapapaun pasti dibalasnya sehingga ia disebut juga singa
dalam tulisan dan domba dalam pergaulan.
A. Hassan ahli dalam segala macam masalah
agama, segala macam pertanyaan dapat dijawabnya. Dia mempunyai buku catatan
mengenal hampir semua masalah agama. Setiap masalah disusun menurut abjad, dan
dalam seuatu munazarah atau perdebatan ia hanya membawa buku catatan tersebut.
Menurut Buya Hamka, banyak buku karangan A.
Hassan dalam bahasa Indonesia menyiarkan paham Islam dengan dasar al-Qur'an dan
Hadis, memerangi taklid atau ikut-ikutan paham orang lain tanpa mengetahui
dasarnya. Dia menganjurkan kebebasan berpikir, menolak Bid'ah dan khurafat atau
ajaran yang tidak masuk akal dan membersihkan akidah dari pengaruh ajaran
lainnya. A. Hassan juga sangat gigih memberantas penyimpangan praktek keagamaan
Islam yang berlebihan seperti pendudukan posisi ulama yang lebih tinggi dari
ajaran Rasul sampai-sampai meskipun suatu pengajaran itu bertentangan dengan
al-Qur'an dan Sunnah namun tetapi conding untuk taklid kepada ulama.
Keistimewaan seorang A. Hassan adalah pada
kekuatan hujjahnya atau dasar argumentasinya serta keteguhan dalam
mempertahankan pendirian yang beliau yakini kebenarannya.
A. Hassan berpulang kerahmatullah pada hari
Senin tanggal 10 November 1958, meninggalkan banyak buku dan tulisan lainnya,
dia mewariskan ilmu dan dia pantas disebut sebagai gudang ilmu ulama Indonesia
modern meskipun pendidikan formalnya rendah. Selamat Jalan A. Hassan ... semoga
Allah mengampuni semua salah dan dosa yang telah kau lakukan dan memberikan
ganjaran sesuai dengan apa yang telah engkau perbuat untuk menegakkan kebenaran
agama-Nya, bebas dari semua khurafat, mitos dan bid'ah.
Demikianlah kiranya sedikit biografi singkat
dari A. Hassan Bandung yang nama besarnya sekarang jarang disebut-sebut dan
dikenal oleh umat Islam, semoga apa yang sudah disampaikan ini bisa memberikan
manfaat dan tambahan pengetahuan bagi kita semua.
Wassalam,
ANALISA SUNNI - SYIAH
Assalamu'alaykum Wr. Wb.
Adalah suatu hal yang sangat memprihatinkan
apabila sampai pada hari ini umat Islam masih bertengkar mempermasalahkan status
madzhab, pola pikir atau juga sekte. Seolah merasa kebenaran adalah mutlak milik
madzhab dan golongan masing-masing, diluarnya salah dan sesat.
Lalu sampai seberapa jauh Islam ini akan dibawa
kepada pertarungan panjang yang melelahkan ? haruskah fanatisme dan kebutaan
pemikiran senantiasa melingkupi hati kita, mencemari kesucian roh dan
mencampakkan Nafs ?
Haruskah semuanya kita lanjutkan sampai masa
yang akan datang ?
Semoga Allah mengampuni kita yang tidak
mengerti betapa agung dan pluralnya Islam itu, kenapa kita menyianyiakan satu
ajaran yang konon gunungpun tak kuasa menerimanya ?
Jika dengan mencintai para keluarga Nabi,
membela kebenaran yang ada didiri Fatimah, Ali, Hasan dan Husin maka seseorang
disebut sebagai Syiah, maka saya akan dengan bangga menyatakan diri saya Syiah,
sebaliknya jika mengagumi ketokohan Umar bin Khatab dan mengamalkan hadis-hadis
selain riwayat dari para ahli Bait Nabi maka seseorang disebut sebagai Ahli
Sunnah, maka sayapun menyebut diri saya demikian.
Tidak ada yang salah dengan kedua istilah
tersebut, Syiah dan Sunni merupakan istilah yang terbentuk setelah ajaran Islam
selesai diwahyukan, keduanya pada dasarnya merupakan polarisasi pemahaman yang
berawal dari pemilihan pemimpin umat Islam pasca kematian Nabi yang akhirnya
meluas sampai pada tingkat penyelewengan dimasing-masing pemahaman oleh
generasi-generasi sesudahnya.
Sudah sampai saatnya masing-masing kita
melakukan koreksi diri terhadap apa yang selama ini terdoktrinisasi, bahwa
pelurusan sejarah serta pentaklidan buta sudah saatnya dilakukan.
Isyu perpecahan didalam Islam memang bukan hal
yang baru dan rasanya ini sesuatu yang wajar karena setiap orang bisa memahami
ajaran Islam dari sudut pandang keilmuan yang berbeda, apalagi Islam mencakup
pengajaran semua bangsa dan daerah yang masing-masingnya memiliki corak budaya,
tradisi serta situasi yang beraneka ragam sebagai salah satu sifat
universalismenya.
Semua perbedaan tersebut seharusnya tidak
dijadikan sekat dalam mengembangkan rasa kebersaudaraan dan toleransi beragama,
sebagaimana sabda Nabi sendiri bahwa umat Islam itu bagaikan satu tubuh,
semuanya bersaudara yang diikat oleh tali Tauhid, pengakuan ketiadaan Tuhan
selain Allah, Tuhan yang satu, yang tidak beranak dan tidak diperanakkan dalam
berbagai bentuk, penafsiran serta sifat apapun.
Karenanya kecenderungan untuk menghakimi
pemahaman yang berbeda dari apa yang kita pahami apalagi sampai melekatkan label
kekafiran atasnya sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang disampaikan oleh
Allah melalui nabi-Nya.
"Barangsiapa bersaksi bahwa Tiada Tuhan selain
Allah,
menghadap kiblat kita,
mengerjakan Sholat kita dan memakan hasil
sembelihan kita,
maka ia adalah seorang Muslim. Baginya berlaku
hak dan kewajiban yang sama
sebagai Muslim lainnya."
- Riwayat Bukhari -
Maraknya ajaran-ajaran sesat yang terjadi
diberbagai belahan dunia akhir-akhir ini memang sewajarnya membuat umat Islam
merasa prihatin, terlebih lagi mereka yang menggunakan nama dan tata cara Islam
sebagai topeng yang menutupi kesesatannya. ; Akan tetapi kita juga harus mampu
bersikap objektif, berpikiran terbuka dan jernih menyikapinya, selama kita belum
mengetahui secara jelas seberapa jauh penyimpangan yang dianggap sudah dilakukan
oleh mereka maka selama itu pula hendaknya kita menahan diri dari komentar
maupun tanggapan yang justru menimbulkan keresahan dimasyarakat.
Saya tidak terikat dengan organisasi keagamaan
manapun atau juga madzhab apapun yang ada, secara plural saya menganggap
semuanya mengajarkan kebaikan dan dari masing-masing kebaikan yang diajarkan itu
saya memetik nilai-nilai kebenaran yang sesuai dengan nash kitab suci serta
objektifitas berpikir.
Islam adalah satu, semuanya bersumber dari
ajaran yang satu, yaitu Yang Maha Kuasa yang kemudian diturunkan kepada kita
melalui salah seorang hamba terkasih-Nya bernama Muhammad bin Abdullah ditanah
Arab pada abad ke-6 masehi.
Jika Islam adalah satu, maka umatnya pun adalah
satu dan ini konsekwensi logis darinya, karena itu Nabi bersabda :
"Dari Miqdad bin 'Amr ; ia pernah bertanya
kepada Nabi : Bagaimana jika ia berperang dengan kaum kafir, lalu berkelahi
dengan seorang diantaranya hingga tangannya terputus dan dalam satu kesempatan
sang musuh berhasil dijatuhkan lalu saat akan dibunuhnya dia berseru "Aslamtu
lillah" - aku Islam kepada Allah - namun masih dibunuhnya, apa jawab Nabi
?
- Jangan kau bunuh dia, jika kau bunuh dia maka
sesungguhnya dia sudah berada dalam kedudukanmu sebelum engkau membunuhnya,
yaitu seorang Muslim, sedangkan kamu berada dalam posisinya sebelum dia
mengucapkan kalimat itu (yaitu kafir).; lalu dijawab oleh Miqdad bahwa
pernyataan orang itu hanya untuk menghindari pembunuhan saja, jawab Nabi lagi,
bahwa dirinya diutus Allah tidak untuk menghakimi hati seseorang."
"Islam adalah kesaksian bahwa Tiada Tuhan
selain Allah dan pembenaran kepada Rasulullah Saw, atas dasar itulah nyawa
manusia dijamin keselamatannya. Dan atas dasar itu juga berlangsung pernikahan
dan pewarisan serta terbina kesatuan kaum Muslimin." - Riwayat
Sama'ah
"Nabi bersabda : bahwa Jibril datang kepada
beliau dan mengabarkan tentang keutamaan seseorang yang meninggal dunia dalam
keadaan bertauhid secara murni maka ia akan masuk syurga kendati ybs pernah
berzina dan mencuri." - Riwayat Bukhari dari Abu Dzar
Kita semua tahu bagaimana vitalnya posisi dan
peranan Ali bin Abu Thalib dikehidupan Nabi dan putrinya Fatimah.
Sejak kecil, Nabi dibesarkan dalam lingkungan
keluarga ayahnya dari suku Bani Hasyim yang merupakan salah satu keluarga
terpandang dikalangan penduduk Mekkah saat itu. Ketika kakeknya Abdul Muthalib
wafat, hak pengasuhan atas diri Nabi pindah ketangan pamannya yang bernama Abu
Thalib, dari pamannya inilah Nabi belajar banyak hal mengenai perdagangan dan
kejujuran hingga beliau dikenal sebagai al-Amin (orang yang terpercaya)
sampai-sampai beliau dipercaya untuk membawa dan menjualkan dagangan sejumlah
saudagar hingga kenegri Syam dan bertemu dengan Khadijjah yang kelak
dinikahinya.
Dimasa awal turunnya wahyu, selain istrinya,
orang kedua yang mengimani kenabiannya adalah Ali putra pamannya, Abu Thalib
yang dengan beraninya mengumumkan keislamannya secara terbuka kepada
keluarganya.
Dalam bukunya yang berjudul “Sejarah Hidup Muhammad”, hal 89, Muhammad Husain Haekal
menggambarkan pernyataan kesetiaan Ali terhadap Nabi sebagai berikut :
“Tuhan menjadikanku
tanpa aku perlu berunding dengan Abu Thalib, apa gunanya aku harus berunding
dengannya untuk menyembah Allah ?”; selanjutnya pada halaman 92 juga dituliskan pernyataan Ali yang
lain : “Rasulullah, aku akan
membantumu, aku adalah lawan siapa saja yang menentangmu”.
Meskipun demikian, Abu Thalib sendiri menurut
riwayat tetap pada keyakinan lamanya sebagai penyembah berhala, bertolak
belakang dengan sikap putranya. Namun perbedaan keyakinan antara mereka tidak
membuat Abu Thalib melepaskan perlindungan dan kasih sayangnya pada diri Nabi,
Ali dan Khadijjah, beliaulah yang sering melakukan pembelaan manakala ada pihak
Quraisy yang bermaksud mencelakakannya dan ini terus dilakoninya sampai ia
wafat.
Ali bin Abu Thalib telah ikut bersama Nabi
semenjak usia anak-anak, jauh sebelum Nabi bertemu dengan para sahabat lainnya,
karena itu juga mungkin beliau digelari Karamallahuwajhah (yaitu wajah yang
disucikan Allah dari penyembahan berhala).
Allah sendiri melalui wahyu-Nya telah
menekankan kepada Nabi agar terlebih dahulu menyerukan ajaran Islam kepada
keluarga terdekatnya :
Dan berilah peringatan kepada keluargamu yang
terdekat, Limpahkanlah kasih sayang terhadap orang-orang beriman yang
mengikutimu; Jika mereka mendurhakaimu maka katakanlah:"Sesungguhnya aku tidak
bertanggung jawab terhadap apa yang kamu kerjakan". – Qs. Asy-Syu’araa 26:214-216
Seruannya memang di-ikuti oleh keluarganya
dimulai oleh Khadijjah istrinya, Ali bin Abu Thalib sepupu sekaligus menantunya
kelak, paman sesusuannya, Hamzah bin Abdul Muthalib, Ja’far bin Abu Thalib dan pamannya Abbas bin
Abdul Muthalib.
Olehnya tidak menjadi suatu kesangsian lagi
bila Ali mengenal betul sifat dan watak yang ada pada diri Nabi sehingga tidak
ada alasan baginya untuk menolak perintah maupun membantah keputusannya,
terlebih dalam kapasitasnya selaku seorang Rasul Tuhan. ; Jelas dalam hal ini
sikap Ali bin Abu Thalib tidak bisa disejajarkan dengan sikap beberapa sahabat
yang kritis dan vokal terhadap beberapa pendapat Nabi, bisa dimaklumi bahwa
notabene mereka mengenal Nabi tidak lebih lama dari Ali bin Abu Thalib selain
juga ditentukan oleh faktor watak dan kondisi lain yang melatar
belakanginya.
Dimalam hijrahnya ke Madinah, Nabi meminta Ali
bin Abu Thalib menggantikan posisi tidurnya dipembaringan dengan mengenakan
mantel hijaunya dari Hadzramut, menyongsong rencana pembunuhan yang sudah
disusun oleh para kafir Quraisy yang saat itu berada disekitar kediaman
Nabi.
Tindakan Nabi ini seolah mengisyaratkan bahwa
beliau berkeinginan untuk menjadikan sepupunya itu pengganti dirinya dikala
hidup dan mati.
Saat Nabi mempersatukan kaum Muhajirin dan
Anshar dikota Madinah, Nabi sendiri justru mengangkat Ali bin Abu Thalib sebagai
saudaranya (padahal keduanya sama-sama Muhajirin), berbeda misalnya dengan Abu
Bakar yang disaudarakan dengan Kharija bin Zaid, Umar bin Khatab dengan
‘Itban bin Malik al-Khazraji,
bahkan pamannya sendiri yaitu Hamzah bin Abdul Muthalib dipersaudarakan dengan
Zaid, mantan budaknya.
Persaudaraannya ini sering di-ingatkan oleh
Nabi dalam hadis-hadisnya bahwa kedudukannya terhadap Ali laksana kedudukan Musa
terhadap Harun (bukankah dalam al-Qur’an surah al-A’raaf 7 : 142 disebutkan bahwa Harun menjadi pengganti Musa tatkala
beliau berangkat ke Sinai untuk mendapat wahyu ? )
Dari Sa’ad bin Abu Waqqas : “Rasulullah Saw mengatakan kepada Ali : Engkau dengan aku serupa
dengan kedudukan Harun dengan Musa, tetapi sesungguhnya tidak ada Nabi sesudah
aku” – Hadis Riwayat Muslim
Saat semua sahabat utamanya mengajukan lamaran
untuk menyunting Fatimah sebagai istri mereka, Nabi menolaknya dan menikahkan
putri tercintanya itu dengan Ali bin Abu Thalib.
Tatkala Hisyam bin Mughirah meminta izin kepada
Nabi agar memperbolehkan mengawinkan anak perempuannya dengan Ali, Nabi juga
menolaknya dan bersabda :
“Aku tidak
mengizinkan, sekali lagi aku tidak mengizinkan dan sekali lagi aku tidak
mengizinkannya kecuali bila Ali bin Abu Thalib mau menceraikan puteriku dan
kawin dengan anak-anak perempuan Hisyam, karena sesungguhnya, puteriku darah
dagingku, menyusahkanku apa yang menyusahkannya dan menyakitkanku apa saja yang
menyakitkannya” – Riwayat Muslim
Ali juga merupakan satu-satunya orang yang
diserahi panji Islam dalam peperangan Khaibar oleh Nabi yang menurut beliau
bahwa panji itu hanya layak bagi laki-laki yang benar-benar mencintai Allah dan
Rasul-Nya lalu ditangannya Allah akan memberikan kemenangan.; Padahal Umar bin
Khatab sangat berambisi agar tugas itu diserahkan kepadanya. (Riwayat Muslim dan
Bukhari)
Saat akan terjadi Mubahalah antara Nabi dengan
para pendeta dari Najran, beliau memanggil Ali, Fatimah serta kedua cucunya
yaitu Hasan dan Husin untuk mendampinginya baru para istri beliau (ini
ditegaskan juga dalam surah 3 Ali Imron ayat 61 yang mendahulukan penyebutan
anak-anak Nabi dari istri-istrinya, ditambah riwayat dari Imam Muslim bahwa saat
itu Nabi menunjuk Ali, Fatimah, Hasan dan Husin sebagai keluarganya).
Dalam haji terakhirnya disuatu daerah bernama
ghadir khum, beberapa riwayat menyebutkan bahwa Nabi sempat menyinggung tentang
regenerasi kepemimpinan umat sepeninggal beliau dan mengumumkan Ali sebagai
penerusnya.; dan memperingatkan kaum Muslimin agar memperhatikan keluarga beliau
sepeninggalnya kelak, ucapan ini sampai diulangnya sebanyak 3 kali, dan Zaid bin
Arkam menyatakan bahwa yang dimaksud oleh Nabi adalah keluarga Ali, ‘Aqil, keluarga Ja’far dan keluarga ‘Abbas. – Riwayat Muslim
Menjelang akhir hayatnya, Nabi menugaskan
sebagian besar sahabat utamanya termasuk Abu Bakar dan Umar kedalam satu
ekspedisi ke daerah Ubna, suatu tempat di Syiria dibawah komando Usamah bin Zaid
bin Haritsah, sementara Ali sendiri diminta untuk tetap menemani hari-hari
terakhirnya dikota Madinah serta memberinya wasiat agar mau mengurus jenasah dan
pemakamannya bila waktunya tiba.
Ini juga tersirat tentang keinginan Nabi
menjadikan dan memantapkan posisi Ali sebagai pengganti beliau memimpin umat,
dijauhkannya para sahabat senior lain dari kota Madinah agar ketika mereka
kembali tidak akan terjadi keributan seputar suksesi kepemimpinan.
Hanya sayang rencana Nabi kandas karena
sebagian sahabat senior merasa enggan berada dalam komando Usamah bin Zaid yang
masih relatif remaja sampai Nabi marah dan mempertanyakan kredebilitas dirinya
dihadapan mereka mengenai penunjukan Usamah itu.
Pada akhirnya kehendak Nabi harus mengalah
dengan kehendak Tuhan yang sudah mentakdirkan jalan lain, tidak ubah seperti
keinginan Isa al-Masih agar cawan penyaliban dihindarkan darinya namun Tuhan
tetap menginginkan semuanya terjadi sesuai mau-Nya.
Nabi wafat dipelukan Ali setelah membisikkan
kepada Fatimah agar tidak bersedih sepeninggalnya karena dalam waktu tidak
berapa lama setelah kematiannya, putrinya itupun akan menyusulnya.
Ali juga yang memandikan jenasah Nabi bersama
Ibnu Abbas dan mengurus pemakamannya, saat yang sama sekelompok orang disaat itu
malah meributkan suksesi kepemimpinan dan akhirnya menobatkan Abu Bakar selaku
Khalifah penerus Nabi dalam memimpin umat serta melupakan semua peran dan posisi
Ali dihadapan Nabi.
Inilah awal dari isyu perpecahan ditubuh Islam,
sebagai bentuk protes terhadap perbuatan mereka ini, Ali, Fatimah dan sejumlah
sahabat lainnya menolak mengakui kepemimpinan Abu Bakar, lebih-lebih lagi
setelah sang Khalifah menolak memberikan tanah Fadak yang diwariskan Nabi kepada
Fatimah hasil rampasan perang Khaibar.; Padahal semua orang tahu, bahwa
menyakiti Fatimah sama seperti menyakiti Nabi, namun mereka mengabaikannya
hingga akhirnya Fatimah wafat dalam keadaan tetap mendiamkan Abu Bakar dan
menolak berbaiat kepada pemerintahannya.
Ali bin Abu Thalib memakamkan jenasah istrinya
disuatu tempat pada malam harinya secara diam-diam dan hanya dihadiri oleh para
simpatisan dan pengikut mereka karena tidak ingin dihadiri oleh pihak yang
berseberangan dengannya.
Manakala keadaan Madinah semakin memanas, dan
beberapa pihak berusaha menghasut terjadinya peperangan antara pihak Ali dan Abu
Bakar, sebuah keputusan berdamai diambil oleh Ali demi menjaga persatuan umat
dan terciptanya kedamaian.
“Dan orang-orang yang
mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di dalam
Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau
kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang demikian
itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah). - Qs. al-Ahzaab 33:6
Kondisi ini terus berlangsung hingga wafatnya
Umar bin Khatab dan turunnya kredibelitas Usman bin Affan selaku Khalifah ke-3
akibat ulah para keluarganya yang tamak dan haus kekuasaan.
Keterbunuhan Usman bin Affan dan pengangkatan
dirinya sebagai Amirul Mukminin membangkitkan dendam lama Quraisy terhadap Bani
Hasyim keturunan Nabi, walaupun berakhir dengan baik dan terhormat, tidak urung
pertempuran Jamal yang dipimpin langsung oleh 'Aisyah istri Nabi merupakan awal
yang bagus untuk dimanfaatkan oleh Muawiah bin Abu Sofyan dalam mengobarkan
pemberontakan terhadap otoritas kepemimpinan Ali.
Ali akhirnya terbunuh dimasjid Kufah akibat
tusukan pedang beracun milik salah seorang dari kelompok Khawarij bernama
Abdurahman bin Muljam pada suatu Jum'at pagi dan menghembuskan nafas terakhirnya
pada malam Ahad 21 Ramadhan 40 H.
Setelah kematian Ali bin Abu Thalib, Hasan
puteranya tertua diangkat oleh sekelompok besar sahabat Nabi selaku Khalifah
pengganti. Namun lagi-lagi Muawiyah tidak senang dan terus mengobarkan semangat
permusuhan dengan Ali dan keturunannya, orang dipaksa untuk mencaci maki
keluarga Nabi itu sejahat-jahatnya bahkan termasuk dalam mimbar-mimbar
Jum'at.
Kenyataan ini jelas semakin memperdalam
kehancuran persatuan umat Islam, suatu ironi yang tidak dapat dihindarkan,
betapa dengan susah payah Nabi menggalang satu tatanan kehidupan masyarakat yang
madani dengan mengorbankan air mata dan tetesan darah para syuhada harus hancur
dihadapan cucu beliau sendiri.
Akhirnya Hasan bin Ali memutuskan untuk
berdamai dengan Muawiyah dan menyerahkan tampuk kekuasaan Khalifah kepadanya
demi untuk menghindarkan jurang yang lebih dalam lagi dikalangan umat Islam
dengan beberapa persyaratan perjanjian.
Beberapa isi dari perjanjian itu adalah
pemerintahan Muawiyah akan menjalankan pemerintahan berdasarkan kitab Allah dan
sunnah Rasul-Nya, menjaga persatuan umat, menyejahterakannya, melindungi
kepentingannya, tidak membalas dendam kepada anak-anak yang orang tuanya gugur
didalam berperang dengan Muawiyah juga tidak mengganggu seluruh keluarga Nabi
Muhammad Saw baik secara terang-terangan maupun tersembunyi dan menghentikan
caci maki terhadap para Ahli Bait ini serta tidak mempergunakan gelar "Amirul
Mukminin" sebagaimana pernah disandang oleh Khalifah Umar bin Khatab dan
Khalifah Ali bin Abu Thalib.
Akan tetapi selang beberapa saat sesudah
Muawiyah diakui sebagai Khalifah, dia mulai melanggar isi perjanjian tersebut,
orang-orang yang dianggap mendukung keluarga Nabi diculik dan dibunuh,
perbendaharaan kas baitul mal Kufah disalah gunakan, caci maki terhadap
keturunan Nabi dari Fatimah kembali dibangkitkan malah lebih parah lagi mereka
memaksa orang untuk memutuskan hubungan dengan ahli Bait Nabi.
Tidak hanya sebatas itu, beberapa hukum agama
yang diatur oleh Nabi Muhammad Saw pun dirombak oleh Muawiyah, misalnya Sholat
hari raya mempergunakan azan, khotbah lebih didahulukan daripada sholat,
laki-laki diperbolehkan memakai pakaian sutera dan sebagainya.
Mereka juga membuat pernyataan-pernyataan yang
dinisbatkan kepada Nabi Muhammad Saw dan beberapa sahabat utama yang sebenarnya
tidak pernah ada.
Hal ini membuat prihatin para pendukung Hasan
bin Ali bin Abu Thalib, mereka sepakat untuk kembali menyatakan cucu Nabi Saw
ini selaku seorang Imam atau pemimpin mereka.
Orang-orang ini diantaranya Hajar bin Adi, Adi
bin Hatim, Musayyab bin Nujbah, Malik bin Dhamrah, Basyir al-Hamdan dan Sulaiman
bin Sharat.
Akan tetapi selang tak lama, putera pertama
dari Fatimah az-Azzahrah ini wafat karena diracun, lama masa pemerintahan
Khalifah Hasan ini 6 bulan lebih 1 hari.
Kekejaman dinasti Bani Umayyah terhadap Bani
Hasyim keturunan Nabi Muhammad Saw terus berlanjut sampai pada masa pemerintahan
Yazid bin Muawiyah bin Abu Sofyan yang melakukan pembantaian besar-besaran atas
diri Husain sekeluarga dan para pengikutnya dipadang Karbala pada hari
Asyura.
Kepala Husain yang mulia telah dipenggal,
wanita dan anak-anak di-injak-injak, wanita hamil serta orang tua pun tidak
luput dari pembunuhan kejam itu.
Seluruh keturunan Nabi Muhammad Saw melalui Ali
bin Abu Thalib terus dicaci maki meskipun tubuh mereka telah bersimbah darah
merah, semerah matahari senja yang meninggalkan cahaya ke-emasannya untuk
berganti pada kegelapan.
Kekejaman Yazid dalam membunuh Husain,
menyembelih anak-anak dan pembantu-pembantunya, begitu pula memberi aib kepada
wanita-wanitanya, ditambah dalam tahun ke-2 memperkosa kota Madinah yang suci
serta membunuh ribuan penduduknya, tidak kurang dari 700 orang dari Muhajirin
dan Anshar sahabat-sahabat besar Nabi yang masih hidup.
Marilah sekarang kita berpikir secara objektif,
apakah perbuatan ini dianggap baik oleh orang yang mengaku mencintai Nabinya dan
senantiasa bersholawat kepada beliau dan keluarganya dalam setiap sholat ?
Masihkah kita berpikir jahat terhadap orang
yang mencintai dan mengasihi ahli Bait sementara kita sendiri justru berusaha
untuk membela orang-orang yang justru telah secara nyata melakukan pembasmian
terhadap keluarga Nabi Muhammad Saw ?
Permusuhan Muawiyyah bin Abu Sofyan terhadap
Bani Hasyim terus menurun kepada generasi sesudahnya seperti Yazid bin Muawiyah,
Marwan, Abdul Malik dan Walid, barulah pada pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul
Aziz keadaan berubah.
Sekalipun Umar bin Abdul Aziz berasal dari klan
Bani Umayyah sebagaimana juga pendahulunya, namun beliau bukan orang yang zalim,
seluruh penghinaan terhadap keluarga Nabi dilarangnya, sebaliknya beliau
membersihkan nama dan sangat menghormati para ahli Bait.
Sebagai tambahan catatan, dendam lama antara
Bani Umayyah terhadap Bani Hasyim pernah secara nyata dilakukan pada jaman Nabi
Muhammad Saw masih hidup, yaitu manakala Hindun istri Abu Sofyan (orang tua dari
Muawiyah) melakukan permusuhan terhadap Rasul dan bahkan ia juga yang membunuh
Hamzah bin Abdul Muthalib secara licik dalam peperangan Uhud lalu tanpa
prikemanusiaan mencincang tubuh paman Nabi itu lalu mengunyah hatinya dimedan
perang.
Namun pembalasan apa yang dilakukan oleh
Rasulullah Muhammad Saw ketika berhasil menguasai seluruh kota Mekkah pada hari
Fath Mekkah ?
Seluruh kejahatan Abu Sofyan dan Hindun justru
dimaafkan begitu saja oleh Nabi dan rumah Abu Sofyan dinyatakan sebagai tempat
yang aman bagi semua orang sebagaimana juga Masjidil Haram dinyatakan bersih dan
terjamin keselamatan orang-orang yang berada disana.
Sungguh bertolak belakang sekali perlakuan
generasi Bani Hasyim dibanding perlakukan Bani Umayyah terhadap sisa-sisa Bani
Hasyim dari keturunan Nabi.
Jika keagungan tujuan, kesempitan sarana dan
hasil yang menakjubkan, adalah tiga kriteria kejeniusan manusia, siapa yang
berani membandingkan manusia yang memiliki kebesaran didalam sejarah modern
dengan Muhammad ?
Orang-orang paling terkenal menciptakan
tentara, hukum dan kekaisaran semata.
Mereka mendirikan apa saja, tidak lebih dari
kekuatan material yang acapkali hancur didepan mata mereka sendiri.
Nabi Muhammad Saw, Rasul Allah yang agung,
penutup semua Nabi, tidak hanya menggerakkan bala tentara, rakyat dan dinasti,
mengubah perundang-undangan, kekaisaran. Tetapi juga menggerakkan jutaan orang
bahkan lebih dari itu, dia memindahkan altar-altar, agama-agama, ide-ide,
keyakinan-keyakinan dan jiwa-jiwa.
Berdasarkan sebuah kitab, yang setiap ayatnya
menjadi hukum, dia menciptakan kebangsaan beragama yang membaurkan bangsa-bangsa
dari setiap jenis bahasa dan setiap ras.
Dalam diri Muhammad, dunia telah menyaksikan
fenomena yang paling jarang diatas bumi ini, seorang yang miskin, berjuang tanpa
fasilitas, tidak goyah oleh kerasnya ulah para pendosa.
Dia bukan seorang yang jahat, dia keturunan
baik-baik, keluarganya merupakan keluarga yang terhormat dalam pandangan
penduduk Mekkah kala itu. Namun dia meninggalkan semua kehormatan tersebut dan
lebih memilih untuk berjuang, mengalami sakit dan derita, panasnya matahari dan
dinginnya malam hari ditengah gurun pasir hanya untuk menghambakan dirinya demi
Tuhannya. Dia lebih baik dari apa yang semestinya terjadi pada seseorang seperti
dia.
Mari kita semua berpikir objektif dan
mengedepankan kejujuran ... sekali lagi, jika dengan mencintai keluarga Nabi
maka seseorang disebut sebagai Syiah, maka saya adalah Syi'ah ... tetapi apakah
Syi'ah dalam arti aliran keagamaan ? - Tidak - Islam yang saya yakini bukan
Islam yang disekat oleh aliran dan madzhab.
Wassalam,
Armansyah
Waspada : Kajian hadist Dikalangan Orientalis
Para pakar berbeda pendapat tentang kapan dan siapa orang barat pertama kali
yang mengenal Islam. Ada yang berpendapat bahwa hal itu terjadi pada waktu
perang Mu'tah (tahun 8 H) kemudian perang Tabuk (tahun 9) di mana terjadi kontak
pertama kali antara orang-orang Romawi dengan kaum muslimin. Sementara pakar
lain berpendapat bahwa hal itu terjadi ketika meletus perang antara kaum
muslimin dan kaum Nasrani di Andalus (Spanyol), terutama setelah Raja Alphonse
VI menguasai Toledo pada tahun 488 H/1085 M. Ada juga yang berpendapat bahwa hal
itu terjadi ketika orang-orang Barat merasa terdesak oleh penaklukan Islam,
terutama setelah jatuhnya Konstantinopel (Istanbul) pada tahun 857 H/1453 M ke
tangan kaum muslimin di mana kemudian mereka memasuki Wina. Orang Barat merasa
perlu untuk membendung ekspansi ini, sekaligus mempertahankan eksistensi kaum
Nashrani. Sementara itu ada pula pakar yang berpendapat lain.
Namun sejarah mencatat bahwa orang-orang seperti Jerbert de Oraliac (938-1003 M), Adelard of Bath (1070)-1135 M), Pierre le Venerable (1094-1156 M), Gerard de gremona (1114-1187 M), dan Leonardo Fibonacci (1170-1241 M) pernah tinggal di Andalus dan mempelajari Islam di kota-kota seperti Toledo, Cordova, Sevilla. Pulang dari Andalus yang saat itu masih dikuasai oleh umat Islam mereka menyebarkan ilmunya di daratan Eropa. Misalnya Jerbert de Oraliac yang kemudian terpilih sebagai Paus Silvestre II (999-1003) mendirikan dua sekolah Arab di Roma dan Perancis. Bahkan Robert of Cheter (populer antara tahun 1141-1148 M) dan kawannya yang bernama Hermann Alemanus (w.1172 M) setelah pulang dari Andalus, mereka menerjemahkan al-Qur'an atas saran dari Paus Silvestre II.
Penerjemahan al-Qur'an ke dalam bahasa Latin ini dibantu oleh dua orang Arab dan selesai pada tahun 1143 M. Dan ini merupakan terjemahan al-Qur'an yang pertama dalam sejarah. Nama-nama di atas tercatat sebagai orang-orang Eropa yang pertama kali melakukan kajian tentang Islam yang kemudian lazim dikenal sebagai orientalisme. Prof. Dr. M.M. Azami, Guru Besar Ilmu Hadis di Universitas King Saud, Saudi Arabia, menyatakan bahwa sarjana Barat yang pertama kali melakukan kajian Hadis kemungkinan adalah Ignaz Goldziher, seorang orientalis Yahudi yang lahir di Hongaria dan hidup antara tahun 1850-1921 M.
Pada tahun 1890 ia menerbitkan hasil penelitiannya tentang Hadis Nabawi dalam sebuah buku berjudul Muhammedanische Studien (Studi Islam). Sejak itu hingga sekarang buku ini menjadi kitab suci di kalangan orientalis.
Kurang lebih enam puluh tahun setelah terbitnya buku Goldziher, Joseph Schacht juga orientalis Yahudi menerbitkan hasil penelitiannya tentang Hadis dalam sebuah buku berudul The Origins of Muhammadan Jurisprudence. Konon, lebih dari sepuluh tahun ia melakukan penelitian Hadis. Dan sejak itu (tahun 1950 M), buku Schacht ini menjadi kitab suci kedua di kalangan orientalis. Dibanding dengan Goldziher, Schacht memiliki "keunggulan" karena Schacht sampai pada kesimpulan "meyakinkan" bahwa tidak ada satupun Hadis yang otentik dari Rasulullah, khususnya Hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum Islam, sementara Goldziher hanya sampai pada kesimpulan "meragukan" otentisitas Hadis. Setelah Goldziher dan Schacht, kajian Hadis memasuki periode Pasca-Goldziher.
Pada masa ini, para orientalis banyak yang melakukan kajian Hadis. Namun penelitian dan kajian mereka tidak memiliki bobot ilmiah yang signifikan.
Kajian dan penelitian mereka lebih merupakan sebagai upaya mengutip pribahasa Arab "yanfukhu fi al-ramad" (meniup arang), yaitu mengulang-ulang kajian yang telah ada sebelumnya.
Memburuk-burukkan Islam Orientalisme sejak semula telah memberikan perhatian kepada penyelidikan Hadis. Motivasi perhatian itu dapat dicari pada beberapa factor, antara lain dan yang mungkin terkuat adalah bahwa usaha untuk memburuk-burukkan Islam melalui penelitian Hadis lebih mudah dari pada melalui penelitian al-Qur'an. Adanya keinginan untuk mendiskreditkan Islam ini telah mengakibatkan banyak kekeliruan dalam penyelidikan Hadis hingga saat ini.
Gambaran yang sangat negatif dan prasangka yang berlebihan telah menyesatkan hampir semua kaum orientalis, kecuali beberapa sarjana yang berpikiran jernih dan bersifat obyektif dalam melakukan penyelidikan Hadis. Dan tampaknya baik Ignaz Goldziher maupun Joseph Schacht memiliki sasaran yang sama, yaitu ingin melecehkan Hadis agar ia tidak dapat dipakai sebagai rujukan umat Islam . Keduanya memiliki tesis yang menyatakan bahwa Hadis bukan sesuatu yang otentik dari Rasulullah, melainkan sesuatu yang lahir pada abad I dan II hijri, yang kesemuanya merupakan bikinan ulama. Kiat-kiat Orientalis Dalam rangka mencapai sasarannya, yaitu melecehkan dan menggusur eksistensi Hadis, kaum orientalis melakukan kiat-kiat antara lain sebagai berikut: 1. Mengubah Teks-teks Sejarah Di antara tokoh-tokoh ulama Hadis yang menjadi incaran pelecehan Goldziher adalah Ibn Syihab al-Zuhri (w. 123 H). disamping dituduhnya sebagai pemalsu Hadis, Goldziher juga mengubah teks-teks sejarah yang berkaitan dengan Ibnu Syihab al-Zuhri, sehingga timbul kesan bahwa al-Zuhri mengakui bahwa dirinya memang pemalsu Hadis. Menurut Goldziher, al-Zuhri mengatakan; Para penguasa itu telah memaksa kami untuk menulis Hadis. Kata ahadits dalam kutipan Goldziher tidak menggunakan "al" yang dalam bahasa Arab menunjukkan sesuatu yang telah definitive (ma'rifah).
Sementara dalam teks yang asli, seperti yang terdapat dalam kitab Ibn Sa'd dan Ibn 'Asakir, adalah al-ahadits yang berarti Hadis-hadis yang telah dimaklumi ada secara definitif, yaitu Hadis-hadis yang berasal dari Rasulullah.
Jadi pengertian ucapan al-Zuhri yang asli adalah bahwa para pejabat atau penguasa itu telah memaksanya untuk menuliskan Hadis-hadis yang pada saat itu sudah ada tapi belum terhimpun dalam satu buku.
Sementara pengertian ucapannya dalam kutipan Goldziher adalah bahwa para pejabat itu telah memaksanya untuk menuliskan Hadis-hadis yang pada saat itu belum ada.
Dengan kata lain, al-Zuhri dipaksa oleh para penguasa itu untuk membuat Hadis-hadis palsu.
2. Membuat Teori Rekayasa Untuk memperkuat tuduhannya bahwa apa yang dikenal sebagai Hadis adalah bukan berasal dari Rasulullah, tetapi bikinan ulama abad I dan II hijri, Schacht membuat teori tentang rekonstruksi terjadinya sanad Hadis. Teorinya kemudian dikenal dengan nama teori "Projecting Back" (Proyeksi belakang).
Menurut Schacht, hukum Islam belum eksis pada masa al-Sya'bi (w. 110 H). Ini artinya bahwa apabila bahwa apabila terdapat Hadis yang berkaitan dengan hukum Islam, maka Hadis-hadis itu adalah buatan orang-orang yang hidup sesudah al-Sya'bi. Schacht berpendapat bahwa hukum Islam baru dikenal semenjak masa pengangkatan para qadhi (hakim agama). Para Khalifah dahulu tidak pernah mengangkat qadhi.
Pengangkatan qadhi baru dilakukan pada masa Dinasti Bani Umayyah. Kira-kira pada akhir abad I hijri, pengangkatan qadhi itu ditujukan kepada "orang-orang spesialis" yang berasal dari kalangan taat beragama. Karena jumlah orang-orang ini bertambah banyak, maka akhirnya mereka berkembang menjadi kelompok aliran fiqh klasik (madzhab). Hal ini terjadi pada awal abad pertama hijri. Keputusan-keputusan hukum yang diberikan pada qadhi memerlukan legitimasi dari orang-orang yang memiliki otoritas yang lebih tinggi. Karenanya, mereka tidak menisbahkan (mengaitkan) keputusan-keputusan itu kepada diri sendiri, melainkan kepada tokoh-tokoh sebelumnya. Misalnya, orang-orang Iraq menisbahkan pendapat-pendapat mereka kepada Ibrahim al-Nakha'i (w. 95 H). Pada perkembangan berikutnya, pendapat-pendapat qadhi itu tidak hanya dinisbahkan kepada tokoh-tokoh terdahulu yang jaraknya masih dekat, melainkan dinisbahkan kepada tokoh-tokoh yang lebih terdahulu, misalnya Masruq. Langkah berikutnya untuk memperoleh legitimasi yang lebih kuat, pendapat-pendapat itu dinisbahkan kepada tokoh yang memiliki otoritas yang lebih tinggi, misalnya Shahabat Abdullah bin Mas'ud. Dan pada ronde terakhir, pendapat-pendapat itu dinisbahkan kepada Nabi Muhammad. Inilah rekonstruksi terbentuknya sanad Hadis menurut Prof. Dr. Joseph Schacht, yaitu dengan memproyeksikan pendapat-pendapat itu kepada tokoh-tokoh di belakang (Projecting Back). Teori rekayasa ini bertujuan untuk memperkuat tuduhannya bahwa apa yang disebut sanad Hadis itu adalah palsu. Begitu pula mantan atau materi Hadisnya, karena kesemuanya adalah ciptaan orang-orang belakangan.
Sumber : Prof. DR. Ali Mustafa Yaqub, MA { Guru Besar Ilmu Hadis Institut Ilmu Al-Qur'an Jakarta } di publikasi di waspada online
Namun sejarah mencatat bahwa orang-orang seperti Jerbert de Oraliac (938-1003 M), Adelard of Bath (1070)-1135 M), Pierre le Venerable (1094-1156 M), Gerard de gremona (1114-1187 M), dan Leonardo Fibonacci (1170-1241 M) pernah tinggal di Andalus dan mempelajari Islam di kota-kota seperti Toledo, Cordova, Sevilla. Pulang dari Andalus yang saat itu masih dikuasai oleh umat Islam mereka menyebarkan ilmunya di daratan Eropa. Misalnya Jerbert de Oraliac yang kemudian terpilih sebagai Paus Silvestre II (999-1003) mendirikan dua sekolah Arab di Roma dan Perancis. Bahkan Robert of Cheter (populer antara tahun 1141-1148 M) dan kawannya yang bernama Hermann Alemanus (w.1172 M) setelah pulang dari Andalus, mereka menerjemahkan al-Qur'an atas saran dari Paus Silvestre II.
Penerjemahan al-Qur'an ke dalam bahasa Latin ini dibantu oleh dua orang Arab dan selesai pada tahun 1143 M. Dan ini merupakan terjemahan al-Qur'an yang pertama dalam sejarah. Nama-nama di atas tercatat sebagai orang-orang Eropa yang pertama kali melakukan kajian tentang Islam yang kemudian lazim dikenal sebagai orientalisme. Prof. Dr. M.M. Azami, Guru Besar Ilmu Hadis di Universitas King Saud, Saudi Arabia, menyatakan bahwa sarjana Barat yang pertama kali melakukan kajian Hadis kemungkinan adalah Ignaz Goldziher, seorang orientalis Yahudi yang lahir di Hongaria dan hidup antara tahun 1850-1921 M.
Pada tahun 1890 ia menerbitkan hasil penelitiannya tentang Hadis Nabawi dalam sebuah buku berjudul Muhammedanische Studien (Studi Islam). Sejak itu hingga sekarang buku ini menjadi kitab suci di kalangan orientalis.
Kurang lebih enam puluh tahun setelah terbitnya buku Goldziher, Joseph Schacht juga orientalis Yahudi menerbitkan hasil penelitiannya tentang Hadis dalam sebuah buku berudul The Origins of Muhammadan Jurisprudence. Konon, lebih dari sepuluh tahun ia melakukan penelitian Hadis. Dan sejak itu (tahun 1950 M), buku Schacht ini menjadi kitab suci kedua di kalangan orientalis. Dibanding dengan Goldziher, Schacht memiliki "keunggulan" karena Schacht sampai pada kesimpulan "meyakinkan" bahwa tidak ada satupun Hadis yang otentik dari Rasulullah, khususnya Hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum Islam, sementara Goldziher hanya sampai pada kesimpulan "meragukan" otentisitas Hadis. Setelah Goldziher dan Schacht, kajian Hadis memasuki periode Pasca-Goldziher.
Pada masa ini, para orientalis banyak yang melakukan kajian Hadis. Namun penelitian dan kajian mereka tidak memiliki bobot ilmiah yang signifikan.
Kajian dan penelitian mereka lebih merupakan sebagai upaya mengutip pribahasa Arab "yanfukhu fi al-ramad" (meniup arang), yaitu mengulang-ulang kajian yang telah ada sebelumnya.
Memburuk-burukkan Islam Orientalisme sejak semula telah memberikan perhatian kepada penyelidikan Hadis. Motivasi perhatian itu dapat dicari pada beberapa factor, antara lain dan yang mungkin terkuat adalah bahwa usaha untuk memburuk-burukkan Islam melalui penelitian Hadis lebih mudah dari pada melalui penelitian al-Qur'an. Adanya keinginan untuk mendiskreditkan Islam ini telah mengakibatkan banyak kekeliruan dalam penyelidikan Hadis hingga saat ini.
Gambaran yang sangat negatif dan prasangka yang berlebihan telah menyesatkan hampir semua kaum orientalis, kecuali beberapa sarjana yang berpikiran jernih dan bersifat obyektif dalam melakukan penyelidikan Hadis. Dan tampaknya baik Ignaz Goldziher maupun Joseph Schacht memiliki sasaran yang sama, yaitu ingin melecehkan Hadis agar ia tidak dapat dipakai sebagai rujukan umat Islam . Keduanya memiliki tesis yang menyatakan bahwa Hadis bukan sesuatu yang otentik dari Rasulullah, melainkan sesuatu yang lahir pada abad I dan II hijri, yang kesemuanya merupakan bikinan ulama. Kiat-kiat Orientalis Dalam rangka mencapai sasarannya, yaitu melecehkan dan menggusur eksistensi Hadis, kaum orientalis melakukan kiat-kiat antara lain sebagai berikut: 1. Mengubah Teks-teks Sejarah Di antara tokoh-tokoh ulama Hadis yang menjadi incaran pelecehan Goldziher adalah Ibn Syihab al-Zuhri (w. 123 H). disamping dituduhnya sebagai pemalsu Hadis, Goldziher juga mengubah teks-teks sejarah yang berkaitan dengan Ibnu Syihab al-Zuhri, sehingga timbul kesan bahwa al-Zuhri mengakui bahwa dirinya memang pemalsu Hadis. Menurut Goldziher, al-Zuhri mengatakan; Para penguasa itu telah memaksa kami untuk menulis Hadis. Kata ahadits dalam kutipan Goldziher tidak menggunakan "al" yang dalam bahasa Arab menunjukkan sesuatu yang telah definitive (ma'rifah).
Sementara dalam teks yang asli, seperti yang terdapat dalam kitab Ibn Sa'd dan Ibn 'Asakir, adalah al-ahadits yang berarti Hadis-hadis yang telah dimaklumi ada secara definitif, yaitu Hadis-hadis yang berasal dari Rasulullah.
Jadi pengertian ucapan al-Zuhri yang asli adalah bahwa para pejabat atau penguasa itu telah memaksanya untuk menuliskan Hadis-hadis yang pada saat itu sudah ada tapi belum terhimpun dalam satu buku.
Sementara pengertian ucapannya dalam kutipan Goldziher adalah bahwa para pejabat itu telah memaksanya untuk menuliskan Hadis-hadis yang pada saat itu belum ada.
Dengan kata lain, al-Zuhri dipaksa oleh para penguasa itu untuk membuat Hadis-hadis palsu.
2. Membuat Teori Rekayasa Untuk memperkuat tuduhannya bahwa apa yang dikenal sebagai Hadis adalah bukan berasal dari Rasulullah, tetapi bikinan ulama abad I dan II hijri, Schacht membuat teori tentang rekonstruksi terjadinya sanad Hadis. Teorinya kemudian dikenal dengan nama teori "Projecting Back" (Proyeksi belakang).
Menurut Schacht, hukum Islam belum eksis pada masa al-Sya'bi (w. 110 H). Ini artinya bahwa apabila bahwa apabila terdapat Hadis yang berkaitan dengan hukum Islam, maka Hadis-hadis itu adalah buatan orang-orang yang hidup sesudah al-Sya'bi. Schacht berpendapat bahwa hukum Islam baru dikenal semenjak masa pengangkatan para qadhi (hakim agama). Para Khalifah dahulu tidak pernah mengangkat qadhi.
Pengangkatan qadhi baru dilakukan pada masa Dinasti Bani Umayyah. Kira-kira pada akhir abad I hijri, pengangkatan qadhi itu ditujukan kepada "orang-orang spesialis" yang berasal dari kalangan taat beragama. Karena jumlah orang-orang ini bertambah banyak, maka akhirnya mereka berkembang menjadi kelompok aliran fiqh klasik (madzhab). Hal ini terjadi pada awal abad pertama hijri. Keputusan-keputusan hukum yang diberikan pada qadhi memerlukan legitimasi dari orang-orang yang memiliki otoritas yang lebih tinggi. Karenanya, mereka tidak menisbahkan (mengaitkan) keputusan-keputusan itu kepada diri sendiri, melainkan kepada tokoh-tokoh sebelumnya. Misalnya, orang-orang Iraq menisbahkan pendapat-pendapat mereka kepada Ibrahim al-Nakha'i (w. 95 H). Pada perkembangan berikutnya, pendapat-pendapat qadhi itu tidak hanya dinisbahkan kepada tokoh-tokoh terdahulu yang jaraknya masih dekat, melainkan dinisbahkan kepada tokoh-tokoh yang lebih terdahulu, misalnya Masruq. Langkah berikutnya untuk memperoleh legitimasi yang lebih kuat, pendapat-pendapat itu dinisbahkan kepada tokoh yang memiliki otoritas yang lebih tinggi, misalnya Shahabat Abdullah bin Mas'ud. Dan pada ronde terakhir, pendapat-pendapat itu dinisbahkan kepada Nabi Muhammad. Inilah rekonstruksi terbentuknya sanad Hadis menurut Prof. Dr. Joseph Schacht, yaitu dengan memproyeksikan pendapat-pendapat itu kepada tokoh-tokoh di belakang (Projecting Back). Teori rekayasa ini bertujuan untuk memperkuat tuduhannya bahwa apa yang disebut sanad Hadis itu adalah palsu. Begitu pula mantan atau materi Hadisnya, karena kesemuanya adalah ciptaan orang-orang belakangan.
Sumber : Prof. DR. Ali Mustafa Yaqub, MA { Guru Besar Ilmu Hadis Institut Ilmu Al-Qur'an Jakarta } di publikasi di waspada online
Khutbah Ied: Memberantas Terorisme, Hentikan Kezaliman dan Tegakkan Keadilan
Oleh Fadly pada Jum'at 18 September
2009, 08:13 AM
Khotbah ini disampaikan oleh Irfan S
Awwas, Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin, di hadapan Jamaah Shalat
‘Idul Fithri 1 Syawal 1430 H/ 20 September 20099 M, di Lapangan Gedongan, Desa
Muruh, Kec. Gantiwarno, Kabupaten Klaten.
Allahu Akbar 9 x
إِنَّ
الْحَمْدَ للهِ, نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوْذُ
بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا, مَنْ يَهْدِهِ
اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ
لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً
عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ, أَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى
آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَأُمَّتِهِ الْمُطِيْعِيْنَ الْمَجَاهِدِيْنَ.
يَاأَيُّهَا
الَّذِيْنَ أَمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ وَقُوْلُوا قَوْلاً سَدِيْدًا يُصْلِحْ
لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْلَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ
وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزاً عَظِيْمًا. أَمَّا بَعْدُهُ : أُوْصِيْكُمْ
وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ
Mengawali khutbah ini, terlebih
dahulu marilah kita memupuji kebesaran Ilahy yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya, sehingga pada hari ini kita dapat melaksanakan perintah agama,
shalat Idul Fithri di tempat ini. Kita bersyukur kepada Allah Swt yang telah
menciptakan segala sesuatu, dan menurunkan syari’at sebagai petunjuk jalan bagi
makhluk ciptaan-Nya dalam mengarugi kehidupan dunia ini.
Semoga Allah senantiasa mencurahkan
rahmat dan kesejahteraan kepada Nabi Muhammad Saw, keluarga, para shahabat,
tabi’it-tabi’in serta seluruh kaum Muslimin yang setia mengikuti beliau dengan
baik hingga hari kiamat.
Kemudian, sebagai khatib pada
kesempatan khutbah hari raya ini, perkenankan kami mengingatkan diri pribadi
dan segenap jamaah sekalian untuk senantiasa meningkatkan taqwa kepada Allah
Swt. Marilah peningkatan taqwa ini kita jadikan sebagai agenda hidup yang
utama, agar menjadi manusia ideal menurut Islam. Yakni, menjadi manusia mulia
dan dimuliakan oleh Allah Swt sebagaimana firman-Nya (yang artinya):
“Sesungguhnya orang yang paling
mulia di antara kamu di hadapan Allah adalah orang yang paling bertaqwa.” (Qs. Al-Hujurat, 49:13)
Di zaman kita sekarang sedikit orang
yang menjadikan taqwa sebagai agenda hidupnya, yaitu menjalani hidup di bawah
naungan syari’at Allah. Kebanyakan umat Islam adalah ‘Muslim Otodidak’ yang
mengamalkan Islam menurut pemahaman dan penghayatan pribadinya, sehingga
adakalanya benar dan lebih sering keliru dalam memahami dan mengamalkan
perintah taqwallah (takut pada Allah).
Sekalipun kalimat taqwa menjadi bagian
dari sumpah jabatan para pejabat Negara, tapi faktanya, pemerintah belum pernah
memberi contoh yang benar tentang praktik taqwa pada Allah Swt. Yang kita
saksikan justru sebaliknya, berbagai penolakan dan pelanggaran terhadap ajaran
Islam yang dilakukan masyarakat dan pejabat Negara.
Ketika ada orang Islam
mengimplementasikan pola hidp taqwa dengan mengamalkan syari’at Islam dan
menuntut pelaksanaannya melalui lembaga Negara, malah dicurigai sebagai
fundamentalis. Belum adanya standar hidup taqwa dalam agenda pemerintahan
Negara, menyebabkan penilaian masyarakat menjadi kacau. Orang shalih dianggap
salah, mengenakan pakaian taqwa (jibab) bagi Muslimah dipersulit bekerja di
perusahaan atau masuk lembaga pendidikan karena dianggap budaya Arab, sementara
para koruptor dimanjakan, sebaliknya lembaga pemberantas korupsi dicurigai dan
sebagainya.
Ma’asyiral Muslimin
Rahimakumullah...
Allahu Akbar, Allahu Akbar wa
Lillahil Hamdu
Pada hari ini kita tengah menapaki
hari perdana di bulan Syawal 1430 H dengan menunaikan shalat ‘Idul Fithri
sebagai penutup kesempurnaan zikir, mengingat dan menyebut asma Allah Swt.
Marilah kita bersungguh-sungguh di dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah,
dan menjauhi kesalahan dan dosa agar kita beruntung dengan mendapatkan kehidupan
yang baik di dunia dan pahala yang banyak sesudah mati.
Kini bulan suci Ramadhan telah
berlalu, dan ia akan menjadi saksi yang menguntungkan atau memberatkan atas
amalan-amalan yang telah kita kerjakan. Jika selama bulan Ramadhan yang kita
lakukan adalah amal-amal yang shalih, hendaklah kita memuji Allah atas hal itu
dan hendaklah bergembira dengan pahala yang baik. Sesungguhnya Allah tidak akan
menyia-nyiakan orang yang berbuat kebajikan. Sebaliknya, siapa yang melakukan
amal yang buruk, hendaklah ia segera bertaubat kepada Allah dengan taubatan
nashuha, karena sesungguhnya Allah menerima taubat orang yang bertaubat
kepada-Nya.
Sesungguhnya kaum Muslimin sangat
merindukan kembalinya kejayaan Islam, agar dapat menciptakan dunia yang penuh
kedamaian, kesejahteraan, kasih sayang, keadilan dan persatuan bagi segenap
umat manusia. Harapan ini merupakan missi Islam yang diproklamirkan oleh
Rasulullah Saw sejak beliau memulai dakwahnya di Makkah yang dikenal dengan
misi Rahmatan lil Alamin.
Sebenarnya banyak sekali umat Islam
dewasa ini yang siap menerima apapun yang sesuai dengan ajaran Islam, tetapi
semua ini cepat berubah manakala muncul konflik antara Islam dan kekafiran.
Kelemahan ini bahkan terdapat di kalangan orang-orang yang menyatakan diri
sebagai pembela-pembela Islam. Mereka meneriakkan puji-pujian terhadap Islam,
melakukan aktivitas keislaman, membentuk jamaah zikir dengan puluhan ribu
pengikutnya.
Namun, jika diseru supaya
melaksanakan syari’at Islam dalam urusan pribadi, keluarga, Negara, relasi-relasi
bisnis, lembaga pendidikan, dan di segala aspek kehidupan, mereka akan
menjawab: “Negara kita bukan Negara Islam, lebih baik kita abaikan dulu untuk
sementara waktu menunggu momentum yang tepat agar kita tidak dicurigai.”
Kapankah kondisi yang aman damai itu
akan tiba, sehingga kebenaran dapat disampaikan dengan terus terang? Hingga
hari kiamat sekalipun kondisi demikian tidak akan pernah datang, karena
orang-orang kafir akan terus membuat makar untuk mendiskreditkan dakwah Islam.
Ingatlah nasihat Khalifah Umar bin Khathab bahwa, “Kebenaranlah yang membuat
kamu menjadi kuat, dan bukan kekuatan kamu yang membuat jayanya kebenaran.”
Sedangkan Khalifah Utsman berpesan, “Kejayaan umat ini akan terpelihara selama
Al Qur’an berdampingan dengan kekuatan. Bilamana kekuatan tanpa Qur’an akan
menjadi anarkhis dan bilamana Qur’an tanpa kekuatan tidak bermakna bagi
kehidupan.”
Kesan yang kini sangat dominan di
kalangan kaum Muslimin, bahwa menegakkan kehidupan berbasis Islam seakan
ancaman terhadap keselamatan dirinya. Ada juga di kalangan umat Islam yang
salah faham terhadap ajaran Allah Rabbul Alamin. Bila Allah Swt memerintahkan
suatu perbuatan tertentu, mereka menganggap akan merugikan dan menyusahkan
hidupnya, sedang bila dilarang mengerjakan tindakan tertentu, justru melanggar
larangan dianggap menguntungkan dirinya. Hal ini tercermin pada keengganan umat
Islam untuk berterus terang dengan agamanya dan menerima stigmatisasi
musuh-musuh Islam, seolah-olah Islam adalah agama yang telah kehilangan
relevansi untuk terus dipertahankan di era globalisasi ini.
Dengan stigmatisasi seperti ini
menjadi berat bagi tokoh-tokoh Islam, terutama para politisinya, untuk
mengibarkan bendera syari’at Islam secara jujur dan terus terang. Kondisi
demikian menciptakan hubungan yang tegang, saling mencurigai diantara komunitas
Muslim sehingga muncul pengelompokan Islam moderat dan radikal, toleran versus
ektrem, inklusif versus eksklusif, dan nasional versus transnasional.
Pemetaan seperti ini sengaja dibuat
oleh musuh-musuh Islam, sehingga kekuatan Islam dipecah-pecah sesuai program
mereka. Sehingga menjadi beban berat bagi umat Islam yang memiliki komitmen
tinggi terhadap agamanya. Dampak negatifnya, muncullah perasaan tertindas,
tertekan di kalangan Muslim; merasa teraniaya dan hidupnya menjadi sengsara.
Mentalitas yang merasa sengsara karena Islam, merasa tertindih beban berat bila
mengamalkan Al-Qur’an dikoreksi dan mendapat teguran keras dari Allah Swt:
“Kami tidak menurunkan Al Quran
ini kepadamu agar kamu menjadi susah; tetapi sebagai peringatan bagi orangyang
takut kepada Allah.” (Qs. Thaha, 20:2-3).
Al-Qur’anul Karim diturunkan bukan
untuk menjadikan manusia hidup dalam tatanan yang membawa kesengsaraan,
kemiskinan, penderitaan dan saling menindas. Tetapi untuk memberikan tatanan
hidup yang dapat membangun kasih sayang, berbuat kebajikan, perdamaian,
persaudaraan, dan saling menghormati martabat manusia satu dengan lainnya.
Ibarat kafilah di tengah padang
sahara yang sedang kehabisan bekal perjalanan. Tidak cukup untuk meneruskan
perjalanan dan tidak pula cukup digunakan buat kembali ke tempat asal. Di saat
kebingungan dan rasa panik, datanglah seorang pengembara menawarkan
pertolongan, mengajak mereka ke suatu taman nan hijau di tengahnya membentang
kolam air yang jernih dan menyegarkan. Di antara anggota kafilah itu ada
yang belum puas dan ingin di ajak ke tempat yang lebih nyaman, tapi sebagian
lain menyatakan, “kami puas dengan keadaan ini dan kami ingin tinggal menetap
disini.”
Begitulah perumpamaan kehadiran Nabi
Muhammad Saw dengan Al-Qur’an, pemberi petunjuk bagi kafilah manusia yang
kebingungan di tengah sahara tandus, kehilangan kompas kehidupan, terlunta di
tengah kegelapan akibat maksiat dan kemungkaran.
Mengawasi Juru Dakwah
Ma’asyiral Muslimin
Rahimakumullah...
Allahu Akbar, Allahu Akbar wa
Lillahil Hamdu
Pada masa akhir-akhir ini, kondisi
yang mencekam dan menakutkan menimpa kaum Muslimin, terutama ketika Islam
dikait-kaitkan dengan terorisme. Munculnya gagasan aparat keamanan untuk
mengawasi juru dakwah dengan dalih pemberantasan terorisme, mengundang
kekhawatiran mendalam. Apalagi, dengan mudahnya mengidentifikasikan seseorang
sebagai jaringan teroris, melalui atribut pakaian berjubah, bercadar bagi
Muslimah, memanjangkan jenggot dan celana komprang.
Sesungguhnya juru dakwah merupakan
urat nadi kehidupan sosial, bukan pengacau dan bukan pula penyebar teror.
Adakalanya seorang juru dakwah tampil sebagai tabib di tengah-tengah
masyarakat, atau menjadi pengamat sosial yang berinisiatif mengubah masyarakat
yang bobrok, jorok atau bodoh menjadi masyarakat yang terhormat. Bahkan seorang
juru dakwah bisa menjadi pendamping yang produktif bagi si kaya, dan sekaligus
menjadi pendamping yang kreatif bagi si miskin.
Namun kini, umat Islam di berbagai
belahan dunia justru mengalami terror dari musuh-musuh Islam, bahkan diteror di
dalam hatinya sendiri. Ketika terdapat tokoh dan orang-orang tertentu yang
tidak bersahabat dengan Islam, dan merusak citra Islam dengan mengatakan, bahwa
salah satu ayat Qur’an dalam surat Al Maidah ayat 44, 45, 47, tentang
penguasa kafir, faseq dan zalim, merupakan pemicu terorisme.
Inilah teror terhadap umat Islam yang
dilakukan oleh orang yang mengaku beragama Islam. Padahal sepanjang sejarahnya,
Islam tidak ada kaitannya dengan terorisme. Memang Islam memerintahkan jihad
fisabilillah, dan jihad jelas bukan terorisme. Maka, dalam kaitan ini kita
perlu menyampaikan himbauan Islam kepada para penguasa agar tidak membiarkan
aparat keamanan untuk mencari-cari kesalahan rakyat apalagi mengintimidasi
mereka.
Rasulullah Saw bersabda:
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ عَنِ النَّبِيِّ قَالَ : إِنَّ الأَمِيْرَ إِذَا
ابْتَغَىْ الرِّيْبَةَ فِي النَّاسِ أَفْسَدَهُمْ [رواه أبوداود]
“Dari Abu Umamah, Nabi Saw
bersabda: “Sesungguhnya apabila penguasa mencari-cari hal yang mencurigakan
dari rakyatnya, maka dia akan menghancurkan rakyatnya.”
Bila rakyat terus menerus
dimata-matai intelijen, dengan dalih pemberantasan terorisme, rakyat jadi
kehilangan inisiatif untuk berprestasi. Dari fakta sejarah kita ketahui bahwa
akar terorisme sebenarnya adalah kezaliman dan ketidakadilan penguasa. Inilah
yang dengan kasat mata kita saksikan, bahwa kejahatan yang dilakukan oleh
Amerika dan sekutunya di Negara-negara Muslim seperti Iraq, Afghanistan,
Pakistan, dan negeri-negeri lain termasuk Indonesia.
Kenyataan ini mengingatkan kita ke
zaman Fir’aun, 2500 tahun SM, yang sezaman dengan Nabi Musa As. Ketika
itu terjadi kezaliman dan berbagai bentuk ketidak adilan yang dilakukan oleh
Fir’aun terhadap bani Israel. Rakyat diintimidasi dan diprovokasi seperti
termatub dalam firman Allah Swt :
“Dan ingatlah ketika Kami
selamatkan kamu dan Fir’aun dan pengikut-pengikutnya; mereka menimpakan
kepadamu sikasaan yang seberat-beratnya, mereka menyembelih anak-anakmu yang
laki-laki dan membiarkan hidup anak-anakmu yang perempuan. Dan pada yang
demikian itu terdapat cobaan-cobaan yang besar dari Rabmu.” (Qs. Al Baqarah, 2:49).
Rezim fir’aun menyembelih anak-anak,
menelantarkan kaum wanita dan mematai-matai gerak gerik setiap orang dari bani
Israel karena distigmatisasai sebagai ancaman terhadap Negara. Akibat dari
sikap paranoid Fir’aun dan rezimnya, maka kaum ibu bani Israel takut melahirkan
bayi laki-laki, sebab hal ini berarti menjadi alasan penguasa untuk membunuh
bayinya dan sekaligus memenjarakan ibunya.
Jika hendak mmemberantas terorisme,
maka hentikan kezaliman dan hentikan kerjasama dengan penguasa jahat, baik di
barat maupun di timur. Pemerintah hendaknya menjauhkan diri dari kezaliman
dalam kebijakannya, terutama sekali berkaitan dengan pengelolaan alam untuk
tidak diserahkan pada orang asing. Pemerintah jangan memosisikan diri sebagai
elite penguasa yang memandang Indonesia sebagai pasar kapitalis global,
sehingga rakyat tetap terpuruk dalam perjuangan mencapai kesejahteraan. Harus
ada keberanian menghadapi tekanan asing yang menginginkan kekuatan Islam di
Indonesia menjadi lumpuh seperti yang dilakukan kaum salibis di Spanyol lima
abad yang lalu.
Rasulullah Saw menasihati para
penguasa agar berbuat adil dan menjauhi kezaliman, dalam sabdanya:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : اتَّقُوا الظُّلْمَ فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ [رواه مسلم]
Rasulullah Saw bersabda: “Jauhilah
kedzaliman, karena sesungguhnya kedzaliman membuahkan kegelapan pada hari
kiamat.”
Kezaliman akan semakin merajalela
bila rakyat tidak berani mencegahnya. Maka bila ada ulama yang berani mencegah
kezaliman penguasa, rakyat harus bersyukur dan membelanya karena dia telah
berusaha mencegah malapetaka dan murka Allah.
Ma’asyiral Muslimin
Rahimakumullah...
Allahu Akbar, Allahu Akbar
walillhil Hamdu
Kaum Muslimin bangsa Indonesia supaya
menyadari posisi dirinya sebagai pemilik sah negeri ini. Karena hanya umat
Islam satu-satunya yang paling konsistensi mempertahankan NKRI. Sedang umat
lain, justru menuntut keluar dari Indonesia seperti yang dilakukan oleh
pengikut Kristen di Papua dan kelompok RMS di Maluku.
Para tokoh Islam baik di organisasi
politik maupun massa tidak menjadi bagian dari agenda musuh Islkam untuk
mengerdilkan peran umat Islam di Indonesia, seperti yang dilakukan oleh JIL,
Islam oderat yang mengajak umat Islam untuk menukar aqidahnya dengan pluralisme
atau tata dunia baru yang berbaris pada doktrin zionisme dan HAM. Karena
sikap-sikap ambivalen hanya akan melahirkan orang Islam yang sekadar puas
menjalankan ibadah, tetapi mengabaikan ajaran Islam sebagai jalan kehidupan.
Para ulama jangan pernah memosisikan
diri sebagai terompet jahat musuh Islam, dengana menolak berlakunya syariat
Islam di lembaga Negara. Merekalah yang seharusnya memimpin rakyat agar berani
meluruskan apa yang bengkok dari penguasa, berani berkata benar secara terus
terang. Rasulullah Saw bersabda:
عَنْ
مُعَاوِيَةَ بْن أَبِيْ سُفْيَان ، عَنِ النَّبِيِّ قال : يَكُوْنُ أُمَرَاءَ
يَقُوْلُوْنَ وَلاَ يُرَدُّ عَلَيْهِمْ ، يَتَهَافَتُوْنَ فِي النَّارِ يَتْبَعُ
بَعْضُهُمْ بَعْضاً [رواه الطبراني]
“Dari Mu’awiyah bin Abu sufyan,
dari Nabi Saw bersabda: “Akan muncul para penguasa yang berkata sesuka mereka
dan tidak ada yang membantahnya. Mereka akan berjatuhan masuk neraka beriringan
satu demi satu.”
DO’A
Ma’asyiral Muslim
Rahimakumullah...
Allahu Akbar, Allahu Akbar
walillahil Hamdu
Mengakhiri khutbah ini, merilah kita
berdo’a, dengan meluruskan niat, membersihkan hati dan menjernihkan fikiran.
Semoga Allah memperkenankan do’a hamba-Nya yang ikhlas.
اَللَّهُمَّ
اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَاتَحُوْلُ بِهِ بَيْنَتَا وَبَيْنَ مَعْصِيَتِكَ
وَمِنْ طَاعَتِكَ مَاتُبَلِّغُنَا بِهِ جَنَّتَكَ وَمِنَ الْيَقِيْنِ مَا
تُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مَصَآئِبَ الدُّنْياَ اَللَّهُمَّ
مَتِّعْنَابِأَسْمَاعِنَا وَأَبْصَارِنَا وَقُوَّتِنَا مَاأَحْيَيْتَنَا
وَاجْعَلْهُ الْوَارِثَ مِنَّا وَاجْعَلْ ثَأْرَنَا عَلَى مَنْ ظََلَمَنَا
وَانْصُرْنَا عَلَى مَنْ عَادَانَا وَلاَتَجْعَلْ مُصِيْبَتَنَا فِى دِيْنِنَا
وَلاَتَجْعَلِ الدُّنْياَ أَكْبَرَ هَمِّنَا وَمَبْلَغَ عِلْمِنَا وَلاَتُسَلِّطْ
عَلَيْنَا مَنْ لاَ يَرْحَمُنَا. اَللَّهُمَّ الْعَنِ الْكَفَرَةَ مِنْ أَهْلِ
الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِيْنَ الَّذِيْنَ يَصُدُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِكَ
وَيُكَذِّبُوْنَ رُسُلَكَ وَيُقَاتِلُوْنَ اَوْلِيَآءَكَ. اَللَّهُمَّ اَلِّفْ
بَيْنَ قُلُوْبِنَا وَاَصْلِحْ ذَاتَ بَيْنِنَا وَاهْدِنَا سُبُلَ السَّلاَمِ
وَنَجِّنَا مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّوْرِ وَبَارِكْ لَنَا فِى أَسْمَاعِنَا
وَاَبْصَارِنَا وَقُلُوْبِنَا وَأَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا وَتُبْ عَلَيْنَا
إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّبُ الرَّحِيْمِ . وَصَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى
آلِهِ وَصَحْبِهِ اَجْمَعِيْنَ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ.
Ya Allah, ya Rab kami,
bagi-bagikanlah kepada kami demi takut kepada-Mu apa yang dapat kiranya
menghalang antara kami dan ma'siat kepada-Mu; dan (bagi-bagikan juga kepada
kami) demi taat kepada-Mu apa yang sekiranya dapat menyampaikan kami ke
sorga-Mu; dan (bagi-bagikan juga kepada kami) demi taat kepada-Mu dan demi
suatu keyakinan yang kiranya meringankan beban musibah dunia kami.
Ya Allah, ya Rab kami,
senangkanlah pendengaran-pendengaran kami, penglihatan –penglihatan kami dan
kekuatan kami pada apa yang Engkau telah menghidupkan kami, dan jadikanlah ia
sebagai warisan dari kami, dan jadikanlah pembelaan kami (memukul) orang-orang
yang menzhalimi kami serta bantulah kami dari menghadapi orang-orang yang
memusuhi kami; dan jangan kiranya Engkau jadikan musibah kami mengenai agama
kami, jangan pula Engkau jadikan dunia ini sebagai cita-cita kami yang paling
besar, tidak juga sebagai tujuan akhir dari ilmu pengetahuan kami; dan
janganlah Engkau kuasakan atas kami orang-orang yang tidak menaruh sayang
kepada kami (HR. Tirmidzi dan ia berkata hadist ini
hasan.)
Ya Allah, laknatilah orang-orang
kafir ahli kitab dan orang-orang musyrik yang menghalang-haalangi jalan-Mu,
mendustakan Rasul-rasul-Mu, dan membunuh kekasih-kekasih-Mu
Ya Allah, persatukanlah hati-hati
kami dan perbaikilah keadaan kami dan tunjukilah kami jalan-jalan keselamatan
serta entaskanlah kami dari kegelapan menuju cahaya yang terang. Dan jauhkanlah
kami dari kejahatan yang tampak maupun tersembunyi dan berkatilah
pendengaran-pendengaran kami, penglihatan-penglihatan kami, hati-hati kami dan
isteri-isteri serta anak keturunan kami, dan ampunilah kami sesungguhnya
Engkaulah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Shalawat atas Nabi Muhammad
SAW dan ahli keluarga serta sahabat-sahabat beliau semuanya. Segala puji bagi
Allah Rabb semesta alam.
Tulisan Terkait
© 2006 - 2009 Arrahmah.com. Designed & Developed by Arrahmah IT
Langganan:
Postingan (Atom)