Rabu, 29 Mei 2013









PROFILE : A. HASSAN

Assalamu'alaykum Wr. Wb.
A. Hassan, namanya mungkin tidak cukup dikenal oleh sebagian umat Islam Indonesia dewasa ini, tetapi ia pernah menjadi sangat populer diera tahun 1930 hingga 1940-an, ketokohannya diakui tidak hanya oleh mereka yang mengaguminya saja tetapi bahkan oleh mereka-mereka yang menjadi lawan debatnya. Pada kesempatan kali ini, saya akan mencoba menampilkan profil beliau yang merupakan 1 dari 3 orang tokoh Islam yang tulisan dan pemikirannya sangat mendominasi cara saya memahami agama Islam. Profil A. Hassan ini saya cuplik dan simpulkan dari Majalah Dua Mingguan Amanah No. 88, 17 - 30 November 1989. InsyaAllah berikutnya akan saya tampilkan pula profil dari Nazwar Syamsu, orang kedua setelah A. Hassan yang telah memberi sumbangsih besar melalui pemikirannya kedalam diri saya pribadi.
Bahkan dalam banyak kasus, saya sering merujukkan pendapat saya kepada mereka berdua, terjemahan al-Qur'an yang saya pegangpun mengacu pada terjemahan mereka yang dalam pandangan saya jauh lebih original ketimbang terjemahan manapun termasuk Departemen Agama Republik Indonesia yang seringkali ditambah-tambahi malah sampai merubah arti ayat dari yang seharusnya.
Demikian, selamat membaca ...
A. Hassan, lahir di Singapura pada tahun 1887 dari pasangan Hajjah Muznah yang asli Surabaya dan Ahmad Sinna Wappu Maricar yang masih merupakan keturunan ulama Mesir yang sekaligus berprofesi sebagai wartawan dan penerbit buku serta surat kabar berbahasa Tamil.
Pendidikan A. Hassan semasa kecil sebagian besar didapat dari ayahnya, diusia 7 tahun beliau mulai belajar al-Qur'an dan selama 4 tahun belajar disekolah Melayu (setingkat SD sekarang), selebihnya dia mempelajari bahasa Melayu, Tamil, Inggris dan Arab secara privat. Sejak usia 7 tahun itu juga A. Hassan sudah dididik belajar bekerja, entah sebagai buruh ditoko kain, agen distribusi es, vulkanisir ban mobil hingga guru bahasa Melayu, Inggris dan Arab.
Pada usia 34 tahun A. Hassan hijrah dari Singapura ke Bandung untuk memimpin pabrik tekstil milik pamannya. Disini ia berkenalan dengan tokoh-tokoh politik seperti H.O.S Tjokroaminoto, Sangaji, H. Agus Salim dan Wondomiseno. Surabaya saat itu sedang hangat-hangatnya pertentangan antara kaum tua dan kaum muda, kaum tradisionalis dan kaum pembaharu agama seperti perbedaan masalah usholli dan ucapan niat sebelum sholat yang dipertahankan pemakaiannya oleh kaum tua (tradisionalis). A. Hassan sendiri dalam hal ini berada pada posisi kaum muda (pembaharu) yang menentang pelaksanaan kedua hal tadi karena menurutnya itu sama sekali tidak ada ajarannya dari Allah dan Rasul-Nya, semua itu adalah hasil penambahan baru dari para ulama yang tidai ada dasar dan contoh dari jaman kenabian.
Walaupun bukan sebagai pendirinya, tetapi nama A. Hassan sering di-identikkan dengan nama PERSIS (Persatuan Islam), yaitu suatu organisasi pembaharu keagamaan yang lahir pada tanggal 12 September 1923 di Bandung. Kelahiran Persis setidaknya merupakan jawaban dari sikap kolonial Belanda masa itu yang mencoba menerapkan unifikasi hukum, yaitu mematikan syariat Islam dan menampilkan hukum barat melalui pemberlakuan hukum adat sebagai perantara pengalihan. Dakwah Persis diambil langsung dari sumber al-Qur'an dan Hadis, karenanya pula Persis menolak bermazhab.
Dakwah Persis dimulai secara sembunyi-sembunyi karena adanya pengawasan yang ketat dari pihak Belanda, baru setelah Moh. Natsir pada tahun 1934 memintakan pengesahan organisasi tersebut pada kementerian kehakiman maka Persis memulai dakwah secara terbuka.
Moh. Natsir sendiri merupakan mantan ketua umum PP Persis dan salah satu murid kesayangan dari A. Hassan, ia yang paling menonjol dari semua murid-muridnya. Bersama Moh. Natsir dan Persis maka A. Hassan menerbitkan majalan Pembela Islam, gerakan dakwah Persis sempat memasuki arena politik setelah pada tahun 1930-an pemerintahan Belanda semakin keras melakukan tekanan pada kegiatan kaum pribumi sementara dalam waktu bersamaan kaum Salibis mulai melancarkan misi Kristenisasinya secara meluas.
Secara internal kebangsaan, Persis berhadapan dengan kelompok PNI yang dilakoni oleh mantan presiden Sokarno, perbedaan terjadi karena adanya perbedaan ideologi dari keduanya. Meski demikian Persis tidak menganggap PNI sebagai musuhnya, bahkan saat Soekarno dipenjara di Banceuy Bandung, orang-orang Persis merupakan yang pertama membesuknya.
Persis bukan organisasi pembaharuan agama yang pertama di Indonesia, sebelumnya sudah berdiri Muhammadiyah dikota Yogya, al-Irsyad di Jakarta serta Syarikat Dagang Islam, Syarikat Islam dan Perseryikatan Ulama. Namun karena masing-masing organisasi itu telah membatasi dirinya dibidang-bidang tertentu seperti Syarikat Dagang Islam menitik beratkan perhatiannya pada sektor Ekonomi yang membidani kelahiran Koperasi, Syarikat Islam dibidang politik dan Perseryikatan Ulama yang berdiri di Majalengka Jawa Barat pada keterampilan para santri dibidang usaha sementara Muhammadiyah sendiri sibuk dengan bidang sosial dan pendidikan, maka Persis berdiri untuk menjembatani semuanya dan menitik beratkan pada dakwah agama.
Tahun 1942 saat invasi Jepang ke Indonesia, Persis sudah mendirikan 6 masjid dengan anggota jemaahnya berjumlah 500-an orang. Jum'atan pertama Persis mendapat reaksi keras dari masyarakat. Soalnya ketika itu khutbah Jum'at biasa dan harus disampaikan dengan bahasa Arab, sedangkan Persis menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa daerah sebagaimana lazimnya sekarang.
Persis juga yang pertama kali membuat tafsir al-Qur'an dari kiri kekanan, karena tafsirnya itu menggunakan huruf latin. Pada waktu itu orang beranggapan kafir bila memakai huruf latin disebelah huruf Arab. Barangkali saking bencinya kepada Belanda, huruf Latinpun dikafirkan. Sedangkan A. Hassan sendiri melalui Persisnya menganggap masalah huruf Latin hanyalah urusan duniawi. Pesantren Persis juga mempelopori gerakan pembaharuan internal, gurunya berdasi dan muridnya harus bersih dan necis tidak seperti kalangan Pesantren waktu itu yang masih menggunakan sarung dan tidak terlalu memperhatikan masalah pakaian.
A. Hassan melalui Persisnya melakukan dakwah secara frontal, beliau menganggap bahwa umat sudah menjadi jumud (beku) bahkan mundur karena telah menyimpang dari ajaran al-Qur'an dan hadis. Baginya Islam itu sesuai tuntutan jaman, Islam berarti kemajuan dan agama tidak menghambat malah menyetujuinya, mencari ilmu pengetahuan, perkembangan sains modern, persamaan hak antara kaum wanita dan pria dan seterusnya.
Mereka melakukan perdebatan-perdebatan dengan orang-orang yang tidak menyetujui cara pandang mereka terhadap agama, perdebatan panjang telah mereka lalui, mulai dengan pihak Kristen, kaum Tua atau tradisional, kaum kebangsaan, Ahmadiyah sampai pada komunis Ateis. Contoh kisah Mubahalah antara kaum Persis dengan pihak Ahmadiyah Jakarta yang pernah menghebohkan, peristiwa tersebut didahului dengan perdebatan sengit antara keduanya yang mengakibatkan banyak anggota Ahmadiyah keluar dan sebagian lagi menjadi anggota Persis. Contoh lain misalnya bagaimana A. Hassan menolak keras paham mengenai sampainya pahala bacaan Yasin orang hidup kepada orang yang sudah mati.
Berdebat dalam hal agama menurut A. Hassan bagaikan membebaskan katak dari kurungan tempurung sehingga memberi kesempatan bagi manusia untuk memilah dan memilih kebenaran sejati. Tindakan dan cara seperti ini memang banyak ditentang oleh sejumlah orang terutama bagi mereka yang sama sekali tidak memiliki kemampuan atau keberanian dalam berdebat, tetapi seperti yang diungkapkan oleh Moh. Natsir bahwa beragama itu harus cerdas dan jelas, sebab antara yang hak dan yang batil tidak bisa dicampur. Memang bagi orang yang kalah berdebat bisa saja menjadikannya sebuah tamparan dimuka umum sehingga menjadikannya trauma, tetapi bagaimanapun agama ini tidak boleh dipahami secara beku, kita harus berani kritis dalam beragama.
Bid'ah dalam agama bukan suatu perbedaan, bid'ah adalah penyimpangan dari Qur'an dan Sunnah, membiarkan Bid'ah artinya kita memupuk perbuatan yang salah dan kemunafikan.
A. Hassan tahu benar bahwa pendiriannya yang terlalu keras dalam beragama menimbulkan banyak orang benci dan memusuhinya. Tetapi disayang atau dibenci buatnya adalah urusan orang lain. Dia tidak memperdulikan masalah itu. Baginya musuh dalam tulisan tetapi tidak dengan orangnya. Dia selalu hormat kepada setiap orang walaupun itu musuhnya sendiri. Bertamu kerumahnya pintu terbuka lebar, apalagi orang itu datang dari jauh, diterimanya bahkan dilayaninya sebaik-bainya. Dia sangat memuliakan tamu. Setiap surat yang datang dari siapapaun pasti dibalasnya sehingga ia disebut juga singa dalam tulisan dan domba dalam pergaulan.
A. Hassan ahli dalam segala macam masalah agama, segala macam pertanyaan dapat dijawabnya. Dia mempunyai buku catatan mengenal hampir semua masalah agama. Setiap masalah disusun menurut abjad, dan dalam seuatu munazarah atau perdebatan ia hanya membawa buku catatan tersebut.
Menurut Buya Hamka, banyak buku karangan A. Hassan dalam bahasa Indonesia menyiarkan paham Islam dengan dasar al-Qur'an dan Hadis, memerangi taklid atau ikut-ikutan paham orang lain tanpa mengetahui dasarnya. Dia menganjurkan kebebasan berpikir, menolak Bid'ah dan khurafat atau ajaran yang tidak masuk akal dan membersihkan akidah dari pengaruh ajaran lainnya. A. Hassan juga sangat gigih memberantas penyimpangan praktek keagamaan Islam yang berlebihan seperti pendudukan posisi ulama yang lebih tinggi dari ajaran Rasul sampai-sampai meskipun suatu pengajaran itu bertentangan dengan al-Qur'an dan Sunnah namun tetapi conding untuk taklid kepada ulama.
Keistimewaan seorang A. Hassan adalah pada kekuatan hujjahnya atau dasar argumentasinya serta keteguhan dalam mempertahankan pendirian yang beliau yakini kebenarannya.
A. Hassan berpulang kerahmatullah pada hari Senin tanggal 10 November 1958, meninggalkan banyak buku dan tulisan lainnya, dia mewariskan ilmu dan dia pantas disebut sebagai gudang ilmu ulama Indonesia modern meskipun pendidikan formalnya rendah. Selamat Jalan A. Hassan ... semoga Allah mengampuni semua salah dan dosa yang telah kau lakukan dan memberikan ganjaran sesuai dengan apa yang telah engkau perbuat untuk menegakkan kebenaran agama-Nya, bebas dari semua khurafat, mitos dan bid'ah.
Demikianlah kiranya sedikit biografi singkat dari A. Hassan Bandung yang nama besarnya sekarang jarang disebut-sebut dan dikenal oleh umat Islam, semoga apa yang sudah disampaikan ini bisa memberikan manfaat dan tambahan pengetahuan bagi kita semua.
Wassalam,

ANALISA SUNNI - SYIAH

Assalamu'alaykum Wr. Wb.
Adalah suatu hal yang sangat memprihatinkan apabila sampai pada hari ini umat Islam masih bertengkar mempermasalahkan status madzhab, pola pikir atau juga sekte. Seolah merasa kebenaran adalah mutlak milik madzhab dan golongan masing-masing, diluarnya salah dan sesat.
Lalu sampai seberapa jauh Islam ini akan dibawa kepada pertarungan panjang yang melelahkan ? haruskah fanatisme dan kebutaan pemikiran senantiasa melingkupi hati kita, mencemari kesucian roh dan mencampakkan Nafs ?
Haruskah semuanya kita lanjutkan sampai masa yang akan datang ?
Semoga Allah mengampuni kita yang tidak mengerti betapa agung dan pluralnya Islam itu, kenapa kita menyianyiakan satu ajaran yang konon gunungpun tak kuasa menerimanya ?
Jika dengan mencintai para keluarga Nabi, membela kebenaran yang ada didiri Fatimah, Ali, Hasan dan Husin maka seseorang disebut sebagai Syiah, maka saya akan dengan bangga menyatakan diri saya Syiah, sebaliknya jika mengagumi ketokohan Umar bin Khatab dan mengamalkan hadis-hadis selain riwayat dari para ahli Bait Nabi maka seseorang disebut sebagai Ahli Sunnah, maka sayapun menyebut diri saya demikian.
Tidak ada yang salah dengan kedua istilah tersebut, Syiah dan Sunni merupakan istilah yang terbentuk setelah ajaran Islam selesai diwahyukan, keduanya pada dasarnya merupakan polarisasi pemahaman yang berawal dari pemilihan pemimpin umat Islam pasca kematian Nabi yang akhirnya meluas sampai pada tingkat penyelewengan dimasing-masing pemahaman oleh generasi-generasi sesudahnya.
Sudah sampai saatnya masing-masing kita melakukan koreksi diri terhadap apa yang selama ini terdoktrinisasi, bahwa pelurusan sejarah serta pentaklidan buta sudah saatnya dilakukan.
Isyu perpecahan didalam Islam memang bukan hal yang baru dan rasanya ini sesuatu yang wajar karena setiap orang bisa memahami ajaran Islam dari sudut pandang keilmuan yang berbeda, apalagi Islam mencakup pengajaran semua bangsa dan daerah yang masing-masingnya memiliki corak budaya, tradisi serta situasi yang beraneka ragam sebagai salah satu sifat universalismenya.
Semua perbedaan tersebut seharusnya tidak dijadikan sekat dalam mengembangkan rasa kebersaudaraan dan toleransi beragama, sebagaimana sabda Nabi sendiri bahwa umat Islam itu bagaikan satu tubuh, semuanya bersaudara yang diikat oleh tali Tauhid, pengakuan ketiadaan Tuhan selain Allah, Tuhan yang satu, yang tidak beranak dan tidak diperanakkan dalam berbagai bentuk, penafsiran serta sifat apapun.
Karenanya kecenderungan untuk menghakimi pemahaman yang berbeda dari apa yang kita pahami apalagi sampai melekatkan label kekafiran atasnya sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang disampaikan oleh Allah melalui nabi-Nya.
"Barangsiapa bersaksi bahwa Tiada Tuhan selain Allah,
menghadap kiblat kita,
mengerjakan Sholat kita dan memakan hasil sembelihan kita,
maka ia adalah seorang Muslim. Baginya berlaku hak dan kewajiban yang sama
sebagai Muslim lainnya."
- Riwayat Bukhari -
Maraknya ajaran-ajaran sesat yang terjadi diberbagai belahan dunia akhir-akhir ini memang sewajarnya membuat umat Islam merasa prihatin, terlebih lagi mereka yang menggunakan nama dan tata cara Islam sebagai topeng yang menutupi kesesatannya. ; Akan tetapi kita juga harus mampu bersikap objektif, berpikiran terbuka dan jernih menyikapinya, selama kita belum mengetahui secara jelas seberapa jauh penyimpangan yang dianggap sudah dilakukan oleh mereka maka selama itu pula hendaknya kita menahan diri dari komentar maupun tanggapan yang justru menimbulkan keresahan dimasyarakat.
Saya tidak terikat dengan organisasi keagamaan manapun atau juga madzhab apapun yang ada, secara plural saya menganggap semuanya mengajarkan kebaikan dan dari masing-masing kebaikan yang diajarkan itu saya memetik nilai-nilai kebenaran yang sesuai dengan nash kitab suci serta objektifitas berpikir.
Islam adalah satu, semuanya bersumber dari ajaran yang satu, yaitu Yang Maha Kuasa yang kemudian diturunkan kepada kita melalui salah seorang hamba terkasih-Nya bernama Muhammad bin Abdullah ditanah Arab pada abad ke-6 masehi.
Jika Islam adalah satu, maka umatnya pun adalah satu dan ini konsekwensi logis darinya, karena itu Nabi bersabda :
"Dari Miqdad bin 'Amr ; ia pernah bertanya kepada Nabi : Bagaimana jika ia berperang dengan kaum kafir, lalu berkelahi dengan seorang diantaranya hingga tangannya terputus dan dalam satu kesempatan sang musuh berhasil dijatuhkan lalu saat akan dibunuhnya dia berseru "Aslamtu lillah" - aku Islam kepada Allah - namun masih dibunuhnya, apa jawab Nabi ?
- Jangan kau bunuh dia, jika kau bunuh dia maka sesungguhnya dia sudah berada dalam kedudukanmu sebelum engkau membunuhnya, yaitu seorang Muslim, sedangkan kamu berada dalam posisinya sebelum dia mengucapkan kalimat itu (yaitu kafir).; lalu dijawab oleh Miqdad bahwa pernyataan orang itu hanya untuk menghindari pembunuhan saja, jawab Nabi lagi, bahwa dirinya diutus Allah tidak untuk menghakimi hati seseorang."
"Islam adalah kesaksian bahwa Tiada Tuhan selain Allah dan pembenaran kepada Rasulullah Saw, atas dasar itulah nyawa manusia dijamin keselamatannya. Dan atas dasar itu juga berlangsung pernikahan dan pewarisan serta terbina kesatuan kaum Muslimin." - Riwayat Sama'ah
"Nabi bersabda : bahwa Jibril datang kepada beliau dan mengabarkan tentang keutamaan seseorang yang meninggal dunia dalam keadaan bertauhid secara murni maka ia akan masuk syurga kendati ybs pernah berzina dan mencuri." - Riwayat Bukhari dari Abu Dzar
Kita semua tahu bagaimana vitalnya posisi dan peranan Ali bin Abu Thalib dikehidupan Nabi dan putrinya Fatimah.
Sejak kecil, Nabi dibesarkan dalam lingkungan keluarga ayahnya dari suku Bani Hasyim yang merupakan salah satu keluarga terpandang dikalangan penduduk Mekkah saat itu. Ketika kakeknya Abdul Muthalib wafat, hak pengasuhan atas diri Nabi pindah ketangan pamannya yang bernama Abu Thalib, dari pamannya inilah Nabi belajar banyak hal mengenai perdagangan dan kejujuran hingga beliau dikenal sebagai al-Amin (orang yang terpercaya) sampai-sampai beliau dipercaya untuk membawa dan menjualkan dagangan sejumlah saudagar hingga kenegri Syam dan bertemu dengan Khadijjah yang kelak dinikahinya.
Dimasa awal turunnya wahyu, selain istrinya, orang kedua yang mengimani kenabiannya adalah Ali putra pamannya, Abu Thalib yang dengan beraninya mengumumkan keislamannya secara terbuka kepada keluarganya.
Dalam bukunya yang berjudul Sejarah Hidup Muhammad, hal 89, Muhammad Husain Haekal menggambarkan pernyataan kesetiaan Ali terhadap Nabi sebagai berikut :
Tuhan menjadikanku tanpa aku perlu berunding dengan Abu Thalib, apa gunanya aku harus berunding dengannya untuk menyembah Allah ?; selanjutnya pada halaman 92 juga dituliskan pernyataan Ali yang lain : Rasulullah, aku akan membantumu, aku adalah lawan siapa saja yang menentangmu.
Meskipun demikian, Abu Thalib sendiri menurut riwayat tetap pada keyakinan lamanya sebagai penyembah berhala, bertolak belakang dengan sikap putranya. Namun perbedaan keyakinan antara mereka tidak membuat Abu Thalib melepaskan perlindungan dan kasih sayangnya pada diri Nabi, Ali dan Khadijjah, beliaulah yang sering melakukan pembelaan manakala ada pihak Quraisy yang bermaksud mencelakakannya dan ini terus dilakoninya sampai ia wafat.
Ali bin Abu Thalib telah ikut bersama Nabi semenjak usia anak-anak, jauh sebelum Nabi bertemu dengan para sahabat lainnya, karena itu juga mungkin beliau digelari Karamallahuwajhah (yaitu wajah yang disucikan Allah dari penyembahan berhala).
Allah sendiri melalui wahyu-Nya telah menekankan kepada Nabi agar terlebih dahulu menyerukan ajaran Islam kepada keluarga terdekatnya :
Dan berilah peringatan kepada keluargamu yang terdekat, Limpahkanlah kasih sayang terhadap orang-orang beriman yang mengikutimu; Jika mereka mendurhakaimu maka katakanlah:"Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu kerjakan". Qs. Asy-Syuaraa 26:214-216
Seruannya memang di-ikuti oleh keluarganya dimulai oleh Khadijjah istrinya, Ali bin Abu Thalib sepupu sekaligus menantunya kelak, paman sesusuannya, Hamzah bin Abdul Muthalib, Jafar bin Abu Thalib dan pamannya Abbas bin Abdul Muthalib.
Olehnya tidak menjadi suatu kesangsian lagi bila Ali mengenal betul sifat dan watak yang ada pada diri Nabi sehingga tidak ada alasan baginya untuk menolak perintah maupun membantah keputusannya, terlebih dalam kapasitasnya selaku seorang Rasul Tuhan. ; Jelas dalam hal ini sikap Ali bin Abu Thalib tidak bisa disejajarkan dengan sikap beberapa sahabat yang kritis dan vokal terhadap beberapa pendapat Nabi, bisa dimaklumi bahwa notabene mereka mengenal Nabi tidak lebih lama dari Ali bin Abu Thalib selain juga ditentukan oleh faktor watak dan kondisi lain yang melatar belakanginya.
Dimalam hijrahnya ke Madinah, Nabi meminta Ali bin Abu Thalib menggantikan posisi tidurnya dipembaringan dengan mengenakan mantel hijaunya dari Hadzramut, menyongsong rencana pembunuhan yang sudah disusun oleh para kafir Quraisy yang saat itu berada disekitar kediaman Nabi.
Tindakan Nabi ini seolah mengisyaratkan bahwa beliau berkeinginan untuk menjadikan sepupunya itu pengganti dirinya dikala hidup dan mati.
Saat Nabi mempersatukan kaum Muhajirin dan Anshar dikota Madinah, Nabi sendiri justru mengangkat Ali bin Abu Thalib sebagai saudaranya (padahal keduanya sama-sama Muhajirin), berbeda misalnya dengan Abu Bakar yang disaudarakan dengan Kharija bin Zaid, Umar bin Khatab dengan Itban bin Malik al-Khazraji, bahkan pamannya sendiri yaitu Hamzah bin Abdul Muthalib dipersaudarakan dengan Zaid, mantan budaknya.
Persaudaraannya ini sering di-ingatkan oleh Nabi dalam hadis-hadisnya bahwa kedudukannya terhadap Ali laksana kedudukan Musa terhadap Harun (bukankah dalam al-Quran surah al-Araaf 7 : 142 disebutkan bahwa Harun menjadi pengganti Musa tatkala beliau berangkat ke Sinai untuk mendapat wahyu ? )
Dari Saad bin Abu Waqqas : Rasulullah Saw mengatakan kepada Ali : Engkau dengan aku serupa dengan kedudukan Harun dengan Musa, tetapi sesungguhnya tidak ada Nabi sesudah aku Hadis Riwayat Muslim
Saat semua sahabat utamanya mengajukan lamaran untuk menyunting Fatimah sebagai istri mereka, Nabi menolaknya dan menikahkan putri tercintanya itu dengan Ali bin Abu Thalib.
Tatkala Hisyam bin Mughirah meminta izin kepada Nabi agar memperbolehkan mengawinkan anak perempuannya dengan Ali, Nabi juga menolaknya dan bersabda :
Aku tidak mengizinkan, sekali lagi aku tidak mengizinkan dan sekali lagi aku tidak mengizinkannya kecuali bila Ali bin Abu Thalib mau menceraikan puteriku dan kawin dengan anak-anak perempuan Hisyam, karena sesungguhnya, puteriku darah dagingku, menyusahkanku apa yang menyusahkannya dan menyakitkanku apa saja yang menyakitkannya Riwayat Muslim
Ali juga merupakan satu-satunya orang yang diserahi panji Islam dalam peperangan Khaibar oleh Nabi yang menurut beliau bahwa panji itu hanya layak bagi laki-laki yang benar-benar mencintai Allah dan Rasul-Nya lalu ditangannya Allah akan memberikan kemenangan.; Padahal Umar bin Khatab sangat berambisi agar tugas itu diserahkan kepadanya. (Riwayat Muslim dan Bukhari)
Saat akan terjadi Mubahalah antara Nabi dengan para pendeta dari Najran, beliau memanggil Ali, Fatimah serta kedua cucunya yaitu Hasan dan Husin untuk mendampinginya baru para istri beliau (ini ditegaskan juga dalam surah 3 Ali Imron ayat 61 yang mendahulukan penyebutan anak-anak Nabi dari istri-istrinya, ditambah riwayat dari Imam Muslim bahwa saat itu Nabi menunjuk Ali, Fatimah, Hasan dan Husin sebagai keluarganya).
Dalam haji terakhirnya disuatu daerah bernama ghadir khum, beberapa riwayat menyebutkan bahwa Nabi sempat menyinggung tentang regenerasi kepemimpinan umat sepeninggal beliau dan mengumumkan Ali sebagai penerusnya.; dan memperingatkan kaum Muslimin agar memperhatikan keluarga beliau sepeninggalnya kelak, ucapan ini sampai diulangnya sebanyak 3 kali, dan Zaid bin Arkam menyatakan bahwa yang dimaksud oleh Nabi adalah keluarga Ali, Aqil, keluarga Jafar dan keluarga Abbas. Riwayat Muslim
Menjelang akhir hayatnya, Nabi menugaskan sebagian besar sahabat utamanya termasuk Abu Bakar dan Umar kedalam satu ekspedisi ke daerah Ubna, suatu tempat di Syiria dibawah komando Usamah bin Zaid bin Haritsah, sementara Ali sendiri diminta untuk tetap menemani hari-hari terakhirnya dikota Madinah serta memberinya wasiat agar mau mengurus jenasah dan pemakamannya bila waktunya tiba.
Ini juga tersirat tentang keinginan Nabi menjadikan dan memantapkan posisi Ali sebagai pengganti beliau memimpin umat, dijauhkannya para sahabat senior lain dari kota Madinah agar ketika mereka kembali tidak akan terjadi keributan seputar suksesi kepemimpinan.
Hanya sayang rencana Nabi kandas karena sebagian sahabat senior merasa enggan berada dalam komando Usamah bin Zaid yang masih relatif remaja sampai Nabi marah dan mempertanyakan kredebilitas dirinya dihadapan mereka mengenai penunjukan Usamah itu.
Pada akhirnya kehendak Nabi harus mengalah dengan kehendak Tuhan yang sudah mentakdirkan jalan lain, tidak ubah seperti keinginan Isa al-Masih agar cawan penyaliban dihindarkan darinya namun Tuhan tetap menginginkan semuanya terjadi sesuai mau-Nya.
Nabi wafat dipelukan Ali setelah membisikkan kepada Fatimah agar tidak bersedih sepeninggalnya karena dalam waktu tidak berapa lama setelah kematiannya, putrinya itupun akan menyusulnya.
Ali juga yang memandikan jenasah Nabi bersama Ibnu Abbas dan mengurus pemakamannya, saat yang sama sekelompok orang disaat itu malah meributkan suksesi kepemimpinan dan akhirnya menobatkan Abu Bakar selaku Khalifah penerus Nabi dalam memimpin umat serta melupakan semua peran dan posisi Ali dihadapan Nabi.
Inilah awal dari isyu perpecahan ditubuh Islam, sebagai bentuk protes terhadap perbuatan mereka ini, Ali, Fatimah dan sejumlah sahabat lainnya menolak mengakui kepemimpinan Abu Bakar, lebih-lebih lagi setelah sang Khalifah menolak memberikan tanah Fadak yang diwariskan Nabi kepada Fatimah hasil rampasan perang Khaibar.; Padahal semua orang tahu, bahwa menyakiti Fatimah sama seperti menyakiti Nabi, namun mereka mengabaikannya hingga akhirnya Fatimah wafat dalam keadaan tetap mendiamkan Abu Bakar dan menolak berbaiat kepada pemerintahannya.
Ali bin Abu Thalib memakamkan jenasah istrinya disuatu tempat pada malam harinya secara diam-diam dan hanya dihadiri oleh para simpatisan dan pengikut mereka karena tidak ingin dihadiri oleh pihak yang berseberangan dengannya.
Manakala keadaan Madinah semakin memanas, dan beberapa pihak berusaha menghasut terjadinya peperangan antara pihak Ali dan Abu Bakar, sebuah keputusan berdamai diambil oleh Ali demi menjaga persatuan umat dan terciptanya kedamaian.
Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah). - Qs. al-Ahzaab 33:6
Kondisi ini terus berlangsung hingga wafatnya Umar bin Khatab dan turunnya kredibelitas Usman bin Affan selaku Khalifah ke-3 akibat ulah para keluarganya yang tamak dan haus kekuasaan.
Keterbunuhan Usman bin Affan dan pengangkatan dirinya sebagai Amirul Mukminin membangkitkan dendam lama Quraisy terhadap Bani Hasyim keturunan Nabi, walaupun berakhir dengan baik dan terhormat, tidak urung pertempuran Jamal yang dipimpin langsung oleh 'Aisyah istri Nabi merupakan awal yang bagus untuk dimanfaatkan oleh Muawiah bin Abu Sofyan dalam mengobarkan pemberontakan terhadap otoritas kepemimpinan Ali.
Ali akhirnya terbunuh dimasjid Kufah akibat tusukan pedang beracun milik salah seorang dari kelompok Khawarij bernama Abdurahman bin Muljam pada suatu Jum'at pagi dan menghembuskan nafas terakhirnya pada malam Ahad 21 Ramadhan 40 H.
Setelah kematian Ali bin Abu Thalib, Hasan puteranya tertua diangkat oleh sekelompok besar sahabat Nabi selaku Khalifah pengganti. Namun lagi-lagi Muawiyah tidak senang dan terus mengobarkan semangat permusuhan dengan Ali dan keturunannya, orang dipaksa untuk mencaci maki keluarga Nabi itu sejahat-jahatnya bahkan termasuk dalam mimbar-mimbar Jum'at.
Kenyataan ini jelas semakin memperdalam kehancuran persatuan umat Islam, suatu ironi yang tidak dapat dihindarkan, betapa dengan susah payah Nabi menggalang satu tatanan kehidupan masyarakat yang madani dengan mengorbankan air mata dan tetesan darah para syuhada harus hancur dihadapan cucu beliau sendiri.
Akhirnya Hasan bin Ali memutuskan untuk berdamai dengan Muawiyah dan menyerahkan tampuk kekuasaan Khalifah kepadanya demi untuk menghindarkan jurang yang lebih dalam lagi dikalangan umat Islam dengan beberapa persyaratan perjanjian.
Beberapa isi dari perjanjian itu adalah pemerintahan Muawiyah akan menjalankan pemerintahan berdasarkan kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya, menjaga persatuan umat, menyejahterakannya, melindungi kepentingannya, tidak membalas dendam kepada anak-anak yang orang tuanya gugur didalam berperang dengan Muawiyah juga tidak mengganggu seluruh keluarga Nabi Muhammad Saw baik secara terang-terangan maupun tersembunyi dan menghentikan caci maki terhadap para Ahli Bait ini serta tidak mempergunakan gelar "Amirul Mukminin" sebagaimana pernah disandang oleh Khalifah Umar bin Khatab dan Khalifah Ali bin Abu Thalib.
Akan tetapi selang beberapa saat sesudah Muawiyah diakui sebagai Khalifah, dia mulai melanggar isi perjanjian tersebut, orang-orang yang dianggap mendukung keluarga Nabi diculik dan dibunuh, perbendaharaan kas baitul mal Kufah disalah gunakan, caci maki terhadap keturunan Nabi dari Fatimah kembali dibangkitkan malah lebih parah lagi mereka memaksa orang untuk memutuskan hubungan dengan ahli Bait Nabi.
Tidak hanya sebatas itu, beberapa hukum agama yang diatur oleh Nabi Muhammad Saw pun dirombak oleh Muawiyah, misalnya Sholat hari raya mempergunakan azan, khotbah lebih didahulukan daripada sholat, laki-laki diperbolehkan memakai pakaian sutera dan sebagainya.
Mereka juga membuat pernyataan-pernyataan yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad Saw dan beberapa sahabat utama yang sebenarnya tidak pernah ada.
Hal ini membuat prihatin para pendukung Hasan bin Ali bin Abu Thalib, mereka sepakat untuk kembali menyatakan cucu Nabi Saw ini selaku seorang Imam atau pemimpin mereka.
Orang-orang ini diantaranya Hajar bin Adi, Adi bin Hatim, Musayyab bin Nujbah, Malik bin Dhamrah, Basyir al-Hamdan dan Sulaiman bin Sharat.
Akan tetapi selang tak lama, putera pertama dari Fatimah az-Azzahrah ini wafat karena diracun, lama masa pemerintahan Khalifah Hasan ini 6 bulan lebih 1 hari.
Kekejaman dinasti Bani Umayyah terhadap Bani Hasyim keturunan Nabi Muhammad Saw terus berlanjut sampai pada masa pemerintahan Yazid bin Muawiyah bin Abu Sofyan yang melakukan pembantaian besar-besaran atas diri Husain sekeluarga dan para pengikutnya dipadang Karbala pada hari Asyura.
Kepala Husain yang mulia telah dipenggal, wanita dan anak-anak di-injak-injak, wanita hamil serta orang tua pun tidak luput dari pembunuhan kejam itu.
Seluruh keturunan Nabi Muhammad Saw melalui Ali bin Abu Thalib terus dicaci maki meskipun tubuh mereka telah bersimbah darah merah, semerah matahari senja yang meninggalkan cahaya ke-emasannya untuk berganti pada kegelapan.
Kekejaman Yazid dalam membunuh Husain, menyembelih anak-anak dan pembantu-pembantunya, begitu pula memberi aib kepada wanita-wanitanya, ditambah dalam tahun ke-2 memperkosa kota Madinah yang suci serta membunuh ribuan penduduknya, tidak kurang dari 700 orang dari Muhajirin dan Anshar sahabat-sahabat besar Nabi yang masih hidup.
Marilah sekarang kita berpikir secara objektif, apakah perbuatan ini dianggap baik oleh orang yang mengaku mencintai Nabinya dan senantiasa bersholawat kepada beliau dan keluarganya dalam setiap sholat ?
Masihkah kita berpikir jahat terhadap orang yang mencintai dan mengasihi ahli Bait sementara kita sendiri justru berusaha untuk membela orang-orang yang justru telah secara nyata melakukan pembasmian terhadap keluarga Nabi Muhammad Saw ?
Permusuhan Muawiyyah bin Abu Sofyan terhadap Bani Hasyim terus menurun kepada generasi sesudahnya seperti Yazid bin Muawiyah, Marwan, Abdul Malik dan Walid, barulah pada pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz keadaan berubah.
Sekalipun Umar bin Abdul Aziz berasal dari klan Bani Umayyah sebagaimana juga pendahulunya, namun beliau bukan orang yang zalim, seluruh penghinaan terhadap keluarga Nabi dilarangnya, sebaliknya beliau membersihkan nama dan sangat menghormati para ahli Bait.
Sebagai tambahan catatan, dendam lama antara Bani Umayyah terhadap Bani Hasyim pernah secara nyata dilakukan pada jaman Nabi Muhammad Saw masih hidup, yaitu manakala Hindun istri Abu Sofyan (orang tua dari Muawiyah) melakukan permusuhan terhadap Rasul dan bahkan ia juga yang membunuh Hamzah bin Abdul Muthalib secara licik dalam peperangan Uhud lalu tanpa prikemanusiaan mencincang tubuh paman Nabi itu lalu mengunyah hatinya dimedan perang.
Namun pembalasan apa yang dilakukan oleh Rasulullah Muhammad Saw ketika berhasil menguasai seluruh kota Mekkah pada hari Fath Mekkah ?
Seluruh kejahatan Abu Sofyan dan Hindun justru dimaafkan begitu saja oleh Nabi dan rumah Abu Sofyan dinyatakan sebagai tempat yang aman bagi semua orang sebagaimana juga Masjidil Haram dinyatakan bersih dan terjamin keselamatan orang-orang yang berada disana.
Sungguh bertolak belakang sekali perlakuan generasi Bani Hasyim dibanding perlakukan Bani Umayyah terhadap sisa-sisa Bani Hasyim dari keturunan Nabi.
Jika keagungan tujuan, kesempitan sarana dan hasil yang menakjubkan, adalah tiga kriteria kejeniusan manusia, siapa yang berani membandingkan manusia yang memiliki kebesaran didalam sejarah modern dengan Muhammad ?
Orang-orang paling terkenal menciptakan tentara, hukum dan kekaisaran semata.
Mereka mendirikan apa saja, tidak lebih dari kekuatan material yang acapkali hancur didepan mata mereka sendiri.
Nabi Muhammad Saw, Rasul Allah yang agung, penutup semua Nabi, tidak hanya menggerakkan bala tentara, rakyat dan dinasti, mengubah perundang-undangan, kekaisaran. Tetapi juga menggerakkan jutaan orang bahkan lebih dari itu, dia memindahkan altar-altar, agama-agama, ide-ide, keyakinan-keyakinan dan jiwa-jiwa.
Berdasarkan sebuah kitab, yang setiap ayatnya menjadi hukum, dia menciptakan kebangsaan beragama yang membaurkan bangsa-bangsa dari setiap jenis bahasa dan setiap ras.
Dalam diri Muhammad, dunia telah menyaksikan fenomena yang paling jarang diatas bumi ini, seorang yang miskin, berjuang tanpa fasilitas, tidak goyah oleh kerasnya ulah para pendosa.
Dia bukan seorang yang jahat, dia keturunan baik-baik, keluarganya merupakan keluarga yang terhormat dalam pandangan penduduk Mekkah kala itu. Namun dia meninggalkan semua kehormatan tersebut dan lebih memilih untuk berjuang, mengalami sakit dan derita, panasnya matahari dan dinginnya malam hari ditengah gurun pasir hanya untuk menghambakan dirinya demi Tuhannya. Dia lebih baik dari apa yang semestinya terjadi pada seseorang seperti dia.
Mari kita semua berpikir objektif dan mengedepankan kejujuran ... sekali lagi, jika dengan mencintai keluarga Nabi maka seseorang disebut sebagai Syiah, maka saya adalah Syi'ah ... tetapi apakah Syi'ah dalam arti aliran keagamaan ? - Tidak - Islam yang saya yakini bukan Islam yang disekat oleh aliran dan madzhab.

Wassalam,
Armansyah

Waspada : Kajian hadist Dikalangan Orientalis

Para pakar berbeda pendapat tentang kapan dan siapa orang barat pertama kali yang mengenal Islam. Ada yang berpendapat bahwa hal itu terjadi pada waktu perang Mu'tah (tahun 8 H) kemudian perang Tabuk (tahun 9) di mana terjadi kontak pertama kali antara orang-orang Romawi dengan kaum muslimin. Sementara pakar lain berpendapat bahwa hal itu terjadi ketika meletus perang antara kaum muslimin dan kaum Nasrani di Andalus (Spanyol), terutama setelah Raja Alphonse VI menguasai Toledo pada tahun 488 H/1085 M. Ada juga yang berpendapat bahwa hal itu terjadi ketika orang-orang Barat merasa terdesak oleh penaklukan Islam, terutama setelah jatuhnya Konstantinopel (Istanbul) pada tahun 857 H/1453 M ke tangan kaum muslimin di mana kemudian mereka memasuki Wina. Orang Barat merasa perlu untuk membendung ekspansi ini, sekaligus mempertahankan eksistensi kaum Nashrani. Sementara itu ada pula pakar yang berpendapat lain.

Namun sejarah mencatat bahwa orang-orang seperti Jerbert de Oraliac (938-1003 M), Adelard of Bath (1070)-1135 M), Pierre le Venerable (1094-1156 M), Gerard de gremona (1114-1187 M), dan Leonardo Fibonacci (1170-1241 M) pernah tinggal di Andalus dan mempelajari Islam di kota-kota seperti Toledo, Cordova, Sevilla. Pulang dari Andalus yang saat itu masih dikuasai oleh umat Islam mereka menyebarkan ilmunya di daratan Eropa. Misalnya Jerbert de Oraliac yang kemudian terpilih sebagai Paus Silvestre II (999-1003) mendirikan dua sekolah Arab di Roma dan Perancis. Bahkan Robert of Cheter (populer antara tahun 1141-1148 M) dan kawannya yang bernama Hermann Alemanus (w.1172 M) setelah pulang dari Andalus, mereka menerjemahkan al-Qur'an atas saran dari Paus Silvestre II.

Penerjemahan al-Qur'an ke dalam bahasa Latin ini dibantu oleh dua orang Arab dan selesai pada tahun 1143 M. Dan ini merupakan terjemahan al-Qur'an yang pertama dalam sejarah. Nama-nama di atas tercatat sebagai orang-orang Eropa yang pertama kali melakukan kajian tentang Islam yang kemudian lazim dikenal sebagai orientalisme. Prof. Dr. M.M. Azami, Guru Besar Ilmu Hadis di Universitas King Saud, Saudi Arabia, menyatakan bahwa sarjana Barat yang pertama kali melakukan kajian Hadis kemungkinan adalah Ignaz Goldziher, seorang orientalis Yahudi yang lahir di Hongaria dan hidup antara tahun 1850-1921 M.

Pada tahun 1890 ia menerbitkan hasil penelitiannya tentang Hadis Nabawi dalam sebuah buku berjudul Muhammedanische Studien (Studi Islam). Sejak itu hingga sekarang buku ini menjadi kitab suci di kalangan orientalis.

Kurang lebih enam puluh tahun setelah terbitnya buku Goldziher, Joseph Schacht juga orientalis Yahudi menerbitkan hasil penelitiannya tentang Hadis dalam sebuah buku berudul The Origins of Muhammadan Jurisprudence. Konon, lebih dari sepuluh tahun ia melakukan penelitian Hadis. Dan sejak itu (tahun 1950 M), buku Schacht ini menjadi kitab suci kedua di kalangan orientalis. Dibanding dengan Goldziher, Schacht memiliki "keunggulan" karena Schacht sampai pada kesimpulan "meyakinkan" bahwa tidak ada satupun Hadis yang otentik dari Rasulullah, khususnya Hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum Islam, sementara Goldziher hanya sampai pada kesimpulan "meragukan" otentisitas Hadis. Setelah Goldziher dan Schacht, kajian Hadis memasuki periode Pasca-Goldziher.

Pada masa ini, para orientalis banyak yang melakukan kajian Hadis. Namun penelitian dan kajian mereka tidak memiliki bobot ilmiah yang signifikan.

Kajian dan penelitian mereka lebih merupakan sebagai upaya mengutip pribahasa Arab "yanfukhu fi al-ramad" (meniup arang), yaitu mengulang-ulang kajian yang telah ada sebelumnya.

Memburuk-burukkan Islam Orientalisme sejak semula telah memberikan perhatian kepada penyelidikan Hadis. Motivasi perhatian itu dapat dicari pada beberapa factor, antara lain dan yang mungkin terkuat adalah bahwa usaha untuk memburuk-burukkan Islam melalui penelitian Hadis lebih mudah dari pada melalui penelitian al-Qur'an. Adanya keinginan untuk mendiskreditkan Islam ini telah mengakibatkan banyak kekeliruan dalam penyelidikan Hadis hingga saat ini.

Gambaran yang sangat negatif dan prasangka yang berlebihan telah menyesatkan hampir semua kaum orientalis, kecuali beberapa sarjana yang berpikiran jernih dan bersifat obyektif dalam melakukan penyelidikan Hadis. Dan tampaknya baik Ignaz Goldziher maupun Joseph Schacht memiliki sasaran yang sama, yaitu ingin melecehkan Hadis agar ia tidak dapat dipakai sebagai rujukan umat Islam . Keduanya memiliki tesis yang menyatakan bahwa Hadis bukan sesuatu yang otentik dari Rasulullah, melainkan sesuatu yang lahir pada abad I dan II hijri, yang kesemuanya merupakan bikinan ulama. Kiat-kiat Orientalis Dalam rangka mencapai sasarannya, yaitu melecehkan dan menggusur eksistensi Hadis, kaum orientalis melakukan kiat-kiat antara lain sebagai berikut: 1. Mengubah Teks-teks Sejarah Di antara tokoh-tokoh ulama Hadis yang menjadi incaran pelecehan Goldziher adalah Ibn Syihab al-Zuhri (w. 123 H). disamping dituduhnya sebagai pemalsu Hadis, Goldziher juga mengubah teks-teks sejarah yang berkaitan dengan Ibnu Syihab al-Zuhri, sehingga timbul kesan bahwa al-Zuhri mengakui bahwa dirinya memang pemalsu Hadis. Menurut Goldziher, al-Zuhri mengatakan; Para penguasa itu telah memaksa kami untuk menulis Hadis. Kata ahadits dalam kutipan Goldziher tidak menggunakan "al" yang dalam bahasa Arab menunjukkan sesuatu yang telah definitive (ma'rifah).

Sementara dalam teks yang asli, seperti yang terdapat dalam kitab Ibn Sa'd dan Ibn 'Asakir, adalah al-ahadits yang berarti Hadis-hadis yang telah dimaklumi ada secara definitif, yaitu Hadis-hadis yang berasal dari Rasulullah.

Jadi pengertian ucapan al-Zuhri yang asli adalah bahwa para pejabat atau penguasa itu telah memaksanya untuk menuliskan Hadis-hadis yang pada saat itu sudah ada tapi belum terhimpun dalam satu buku.

Sementara pengertian ucapannya dalam kutipan Goldziher adalah bahwa para pejabat itu telah memaksanya untuk menuliskan Hadis-hadis yang pada saat itu belum ada.
Dengan kata lain, al-Zuhri dipaksa oleh para penguasa itu untuk membuat Hadis-hadis palsu.

2. Membuat Teori Rekayasa Untuk memperkuat tuduhannya bahwa apa yang dikenal sebagai Hadis adalah bukan berasal dari Rasulullah, tetapi bikinan ulama abad I dan II hijri, Schacht membuat teori tentang rekonstruksi terjadinya sanad Hadis. Teorinya kemudian dikenal dengan nama teori "Projecting Back" (Proyeksi belakang).

Menurut Schacht, hukum Islam belum eksis pada masa al-Sya'bi (w. 110 H). Ini artinya bahwa apabila bahwa apabila terdapat Hadis yang berkaitan dengan hukum Islam, maka Hadis-hadis itu adalah buatan orang-orang yang hidup sesudah al-Sya'bi. Schacht berpendapat bahwa hukum Islam baru dikenal semenjak masa pengangkatan para qadhi (hakim agama). Para Khalifah dahulu tidak pernah mengangkat qadhi.

Pengangkatan qadhi baru dilakukan pada masa Dinasti Bani Umayyah. Kira-kira pada akhir abad I hijri, pengangkatan qadhi itu ditujukan kepada "orang-orang spesialis" yang berasal dari kalangan taat beragama. Karena jumlah orang-orang ini bertambah banyak, maka akhirnya mereka berkembang menjadi kelompok aliran fiqh klasik (madzhab). Hal ini terjadi pada awal abad pertama hijri. Keputusan-keputusan hukum yang diberikan pada qadhi memerlukan legitimasi dari orang-orang yang memiliki otoritas yang lebih tinggi. Karenanya, mereka tidak menisbahkan (mengaitkan) keputusan-keputusan itu kepada diri sendiri, melainkan kepada tokoh-tokoh sebelumnya. Misalnya, orang-orang Iraq menisbahkan pendapat-pendapat mereka kepada Ibrahim al-Nakha'i (w. 95 H). Pada perkembangan berikutnya, pendapat-pendapat qadhi itu tidak hanya dinisbahkan kepada tokoh-tokoh terdahulu yang jaraknya masih dekat, melainkan dinisbahkan kepada tokoh-tokoh yang lebih terdahulu, misalnya Masruq. Langkah berikutnya untuk memperoleh legitimasi yang lebih kuat, pendapat-pendapat itu dinisbahkan kepada tokoh yang memiliki otoritas yang lebih tinggi, misalnya Shahabat Abdullah bin Mas'ud. Dan pada ronde terakhir, pendapat-pendapat itu dinisbahkan kepada Nabi Muhammad. Inilah rekonstruksi terbentuknya sanad Hadis menurut Prof. Dr. Joseph Schacht, yaitu dengan memproyeksikan pendapat-pendapat itu kepada tokoh-tokoh di belakang (Projecting Back). Teori rekayasa ini bertujuan untuk memperkuat tuduhannya bahwa apa yang disebut sanad Hadis itu adalah palsu. Begitu pula mantan atau materi Hadisnya, karena kesemuanya adalah ciptaan orang-orang belakangan.




Sumber : Prof. DR. Ali Mustafa Yaqub, MA { Guru Besar Ilmu Hadis Institut Ilmu Al-Qur'an Jakarta } di publikasi di waspada online

Khutbah Ied: Memberantas Terorisme, Hentikan Kezaliman dan Tegakkan Keadilan



Oleh Fadly pada Jum'at 18 September 2009, 08:13 AM
Khotbah ini disampaikan oleh Irfan S Awwas, Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin, di hadapan Jamaah Shalat ‘Idul Fithri 1 Syawal 1430 H/ 20 September 20099 M, di Lapangan Gedongan, Desa Muruh, Kec. Gantiwarno, Kabupaten Klaten.
Allahu Akbar 9 x
إِنَّ الْحَمْدَ للهِ, نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا, مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ, أَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَأُمَّتِهِ الْمُطِيْعِيْنَ الْمَجَاهِدِيْنَ.
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ وَقُوْلُوا قَوْلاً سَدِيْدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْلَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزاً عَظِيْمًا. أَمَّا بَعْدُهُ : أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ
Mengawali khutbah ini, terlebih dahulu marilah kita memupuji kebesaran Ilahy yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga pada hari ini kita dapat melaksanakan perintah agama, shalat Idul Fithri di tempat ini. Kita bersyukur kepada Allah Swt yang telah menciptakan segala sesuatu, dan menurunkan syari’at sebagai petunjuk jalan bagi makhluk ciptaan-Nya dalam mengarugi kehidupan dunia ini.
Semoga Allah senantiasa mencurahkan rahmat dan kesejahteraan kepada Nabi Muhammad Saw, keluarga, para shahabat, tabi’it-tabi’in serta seluruh kaum Muslimin yang setia mengikuti beliau dengan baik hingga hari kiamat.
Kemudian, sebagai khatib pada kesempatan khutbah hari raya ini, perkenankan kami mengingatkan diri pribadi dan segenap jamaah sekalian untuk senantiasa meningkatkan taqwa kepada Allah Swt. Marilah peningkatan taqwa ini kita jadikan sebagai agenda hidup yang utama, agar menjadi manusia ideal menurut Islam. Yakni, menjadi manusia mulia dan dimuliakan oleh Allah Swt sebagaimana firman-Nya (yang artinya):
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di hadapan Allah adalah orang yang paling bertaqwa.” (Qs. Al-Hujurat, 49:13)
Di zaman kita sekarang sedikit orang yang menjadikan taqwa sebagai agenda hidupnya, yaitu menjalani hidup di bawah naungan syari’at Allah. Kebanyakan umat Islam adalah ‘Muslim Otodidak’ yang mengamalkan Islam menurut pemahaman dan penghayatan pribadinya, sehingga adakalanya benar dan lebih sering keliru dalam memahami dan mengamalkan perintah taqwallah (takut pada Allah).
Sekalipun kalimat taqwa menjadi bagian dari sumpah jabatan para pejabat Negara, tapi faktanya, pemerintah belum pernah memberi contoh yang benar tentang praktik taqwa pada Allah Swt. Yang kita saksikan justru sebaliknya, berbagai penolakan dan pelanggaran terhadap ajaran Islam yang dilakukan masyarakat dan pejabat Negara.
Ketika ada orang Islam mengimplementasikan pola hidp taqwa dengan mengamalkan syari’at Islam dan menuntut pelaksanaannya melalui lembaga Negara, malah dicurigai sebagai fundamentalis. Belum adanya standar hidup taqwa dalam agenda pemerintahan Negara, menyebabkan penilaian masyarakat menjadi kacau. Orang shalih dianggap salah, mengenakan pakaian taqwa (jibab) bagi Muslimah dipersulit bekerja di perusahaan atau masuk lembaga pendidikan karena dianggap budaya Arab, sementara para koruptor dimanjakan, sebaliknya lembaga pemberantas korupsi dicurigai dan sebagainya.
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah...
Allahu Akbar, Allahu Akbar wa Lillahil Hamdu
Pada hari ini kita tengah menapaki hari perdana di bulan Syawal 1430 H dengan menunaikan shalat ‘Idul Fithri sebagai penutup kesempurnaan zikir, mengingat dan menyebut asma Allah Swt. Marilah kita bersungguh-sungguh di dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah, dan menjauhi kesalahan dan dosa agar kita beruntung dengan mendapatkan kehidupan yang baik di dunia dan pahala yang banyak sesudah mati.
Kini bulan suci Ramadhan telah berlalu, dan ia akan menjadi saksi yang menguntungkan atau memberatkan atas amalan-amalan yang telah kita kerjakan. Jika selama bulan Ramadhan yang kita lakukan adalah amal-amal yang shalih, hendaklah kita memuji Allah atas hal itu dan hendaklah bergembira dengan pahala yang baik. Sesungguhnya Allah tidak akan menyia-nyiakan orang yang berbuat kebajikan. Sebaliknya, siapa yang melakukan amal yang buruk, hendaklah ia segera bertaubat kepada Allah dengan taubatan nashuha, karena sesungguhnya Allah menerima taubat orang yang bertaubat kepada-Nya.
Sesungguhnya kaum Muslimin sangat merindukan kembalinya kejayaan Islam, agar dapat menciptakan dunia yang penuh kedamaian, kesejahteraan, kasih sayang, keadilan dan persatuan bagi segenap umat manusia. Harapan ini merupakan missi Islam yang diproklamirkan oleh Rasulullah Saw sejak beliau memulai dakwahnya di Makkah yang dikenal dengan misi Rahmatan lil Alamin.
Sebenarnya banyak sekali umat Islam dewasa ini yang siap menerima apapun yang sesuai dengan ajaran Islam, tetapi semua ini cepat berubah manakala muncul konflik antara Islam dan kekafiran. Kelemahan ini bahkan terdapat di kalangan orang-orang yang menyatakan diri sebagai pembela-pembela Islam. Mereka meneriakkan puji-pujian terhadap Islam, melakukan aktivitas keislaman, membentuk jamaah zikir dengan puluhan ribu pengikutnya.
Namun, jika diseru supaya melaksanakan syari’at Islam dalam urusan pribadi, keluarga, Negara, relasi-relasi bisnis, lembaga pendidikan, dan di segala aspek kehidupan, mereka akan menjawab: “Negara kita bukan Negara Islam, lebih baik kita abaikan dulu untuk sementara waktu menunggu momentum yang tepat agar kita tidak dicurigai.”
Kapankah kondisi yang aman damai itu akan tiba, sehingga kebenaran dapat disampaikan dengan terus terang? Hingga hari kiamat sekalipun kondisi demikian tidak akan pernah datang, karena orang-orang kafir akan terus membuat makar untuk mendiskreditkan dakwah Islam. Ingatlah nasihat Khalifah Umar bin Khathab bahwa, “Kebenaranlah yang membuat kamu menjadi kuat, dan bukan kekuatan kamu yang membuat jayanya kebenaran.” Sedangkan Khalifah Utsman berpesan, “Kejayaan umat ini akan terpelihara selama Al Qur’an berdampingan dengan kekuatan. Bilamana kekuatan tanpa Qur’an akan menjadi anarkhis dan bilamana Qur’an tanpa kekuatan tidak bermakna bagi kehidupan.”
Kesan yang kini sangat dominan di kalangan kaum Muslimin, bahwa menegakkan kehidupan berbasis Islam seakan ancaman terhadap keselamatan dirinya. Ada juga di kalangan umat Islam yang salah faham terhadap ajaran Allah Rabbul Alamin. Bila Allah Swt memerintahkan suatu perbuatan tertentu, mereka menganggap akan merugikan dan menyusahkan hidupnya, sedang bila dilarang mengerjakan tindakan tertentu, justru melanggar larangan dianggap menguntungkan dirinya. Hal ini tercermin pada keengganan umat Islam untuk berterus terang dengan agamanya dan menerima stigmatisasi musuh-musuh Islam, seolah-olah Islam adalah agama yang telah kehilangan relevansi untuk terus dipertahankan di era globalisasi ini.
Dengan stigmatisasi seperti ini menjadi berat bagi tokoh-tokoh Islam, terutama para politisinya, untuk mengibarkan bendera syari’at Islam secara jujur dan terus terang. Kondisi demikian menciptakan hubungan yang tegang, saling mencurigai diantara komunitas Muslim sehingga muncul pengelompokan Islam moderat dan radikal, toleran versus ektrem, inklusif versus eksklusif, dan nasional versus transnasional.
Pemetaan seperti ini sengaja dibuat oleh musuh-musuh Islam, sehingga kekuatan Islam dipecah-pecah sesuai program mereka. Sehingga menjadi beban berat bagi umat Islam yang memiliki komitmen tinggi terhadap agamanya. Dampak negatifnya, muncullah perasaan tertindas, tertekan di kalangan Muslim; merasa teraniaya dan hidupnya menjadi sengsara. Mentalitas yang merasa sengsara karena Islam, merasa tertindih beban berat bila mengamalkan Al-Qur’an dikoreksi dan mendapat teguran keras dari Allah Swt:
“Kami tidak menurunkan Al Quran ini kepadamu agar kamu menjadi susah; tetapi sebagai peringatan bagi orangyang takut kepada Allah.” (Qs. Thaha, 20:2-3).
Al-Qur’anul Karim diturunkan bukan untuk menjadikan manusia hidup dalam tatanan yang membawa kesengsaraan, kemiskinan, penderitaan dan saling menindas. Tetapi untuk memberikan tatanan hidup yang dapat membangun kasih sayang, berbuat kebajikan, perdamaian, persaudaraan, dan saling menghormati martabat manusia satu dengan lainnya.
Ibarat kafilah di tengah padang sahara yang sedang kehabisan bekal perjalanan. Tidak cukup untuk meneruskan perjalanan dan tidak pula cukup digunakan buat kembali ke tempat asal. Di saat kebingungan dan rasa panik, datanglah seorang pengembara menawarkan pertolongan, mengajak mereka ke suatu taman nan hijau di tengahnya membentang kolam air yang jernih dan menyegarkan.  Di antara anggota kafilah itu ada yang belum puas dan ingin di ajak ke tempat yang lebih nyaman, tapi sebagian lain menyatakan, “kami puas dengan keadaan ini dan kami ingin tinggal menetap disini.”
Begitulah perumpamaan kehadiran Nabi Muhammad Saw dengan Al-Qur’an, pemberi petunjuk bagi kafilah manusia yang kebingungan di tengah sahara tandus, kehilangan kompas kehidupan, terlunta di tengah kegelapan akibat maksiat dan kemungkaran.
Mengawasi Juru Dakwah
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah...
Allahu Akbar, Allahu Akbar wa Lillahil Hamdu
Pada masa akhir-akhir ini, kondisi yang mencekam dan menakutkan menimpa kaum Muslimin, terutama ketika Islam dikait-kaitkan dengan terorisme. Munculnya gagasan aparat keamanan untuk mengawasi juru dakwah dengan dalih pemberantasan terorisme, mengundang kekhawatiran mendalam. Apalagi, dengan mudahnya mengidentifikasikan seseorang sebagai jaringan teroris, melalui atribut pakaian berjubah, bercadar bagi Muslimah, memanjangkan jenggot dan celana komprang.
Sesungguhnya juru dakwah merupakan urat nadi kehidupan sosial, bukan pengacau dan bukan pula penyebar teror. Adakalanya seorang juru dakwah tampil sebagai tabib di tengah-tengah masyarakat, atau menjadi pengamat sosial yang berinisiatif mengubah masyarakat yang bobrok, jorok atau bodoh menjadi masyarakat yang terhormat. Bahkan seorang juru dakwah bisa menjadi pendamping yang produktif bagi si kaya, dan sekaligus menjadi pendamping yang kreatif bagi si miskin.
Namun kini, umat Islam di berbagai belahan dunia justru mengalami terror dari musuh-musuh Islam, bahkan diteror di dalam hatinya sendiri. Ketika terdapat tokoh dan orang-orang tertentu yang tidak bersahabat dengan Islam, dan merusak citra Islam dengan mengatakan, bahwa salah satu ayat Qur’an dalam surat  Al Maidah ayat 44, 45, 47, tentang penguasa kafir, faseq dan zalim, merupakan pemicu terorisme.
Inilah teror terhadap umat Islam yang dilakukan oleh orang yang mengaku beragama Islam. Padahal sepanjang sejarahnya, Islam tidak ada kaitannya dengan terorisme. Memang Islam memerintahkan jihad fisabilillah, dan jihad jelas bukan terorisme. Maka, dalam kaitan ini kita perlu menyampaikan himbauan Islam kepada para penguasa agar tidak membiarkan aparat keamanan untuk mencari-cari kesalahan rakyat apalagi mengintimidasi mereka.
Rasulullah Saw bersabda:
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ عَنِ النَّبِيِّ قَالَ : إِنَّ الأَمِيْرَ إِذَا ابْتَغَىْ الرِّيْبَةَ فِي النَّاسِ أَفْسَدَهُمْ [رواه أبوداود]
“Dari Abu Umamah, Nabi Saw bersabda: “Sesungguhnya apabila penguasa mencari-cari hal yang mencurigakan dari rakyatnya, maka dia akan menghancurkan rakyatnya.”
Bila rakyat terus menerus dimata-matai intelijen, dengan dalih pemberantasan terorisme, rakyat jadi kehilangan inisiatif untuk berprestasi. Dari fakta sejarah kita ketahui bahwa akar terorisme sebenarnya adalah kezaliman dan ketidakadilan penguasa. Inilah yang dengan kasat mata kita saksikan, bahwa kejahatan yang dilakukan oleh Amerika dan sekutunya di Negara-negara Muslim seperti Iraq, Afghanistan, Pakistan, dan negeri-negeri lain termasuk Indonesia.
Kenyataan ini mengingatkan kita ke zaman Fir’aun, 2500 tahun SM,  yang sezaman dengan Nabi Musa As. Ketika itu terjadi kezaliman dan berbagai bentuk ketidak adilan yang dilakukan oleh Fir’aun terhadap bani Israel. Rakyat diintimidasi dan diprovokasi seperti termatub dalam firman Allah Swt :
“Dan ingatlah ketika Kami selamatkan kamu dan Fir’aun dan pengikut-pengikutnya; mereka menimpakan kepadamu sikasaan yang seberat-beratnya, mereka menyembelih anak-anakmu yang laki-laki dan membiarkan hidup anak-anakmu yang perempuan. Dan pada yang demikian itu terdapat cobaan-cobaan yang besar dari Rabmu.” (Qs. Al Baqarah, 2:49).
Rezim fir’aun menyembelih anak-anak, menelantarkan kaum wanita dan mematai-matai gerak gerik setiap orang dari bani Israel karena distigmatisasai sebagai ancaman terhadap Negara. Akibat dari sikap paranoid Fir’aun dan rezimnya, maka kaum ibu bani Israel takut melahirkan bayi laki-laki, sebab hal ini berarti menjadi alasan penguasa untuk membunuh bayinya dan sekaligus memenjarakan ibunya.
Jika hendak mmemberantas terorisme, maka hentikan kezaliman dan hentikan kerjasama dengan penguasa jahat, baik di barat maupun di timur. Pemerintah hendaknya menjauhkan diri dari kezaliman dalam kebijakannya, terutama sekali berkaitan dengan pengelolaan alam untuk tidak diserahkan pada orang asing. Pemerintah jangan memosisikan diri sebagai elite penguasa yang memandang Indonesia sebagai pasar kapitalis global, sehingga rakyat tetap terpuruk dalam perjuangan mencapai kesejahteraan. Harus ada keberanian menghadapi tekanan asing yang menginginkan kekuatan Islam di Indonesia menjadi lumpuh seperti yang dilakukan kaum salibis di Spanyol lima abad yang lalu.
Rasulullah Saw menasihati para penguasa agar berbuat adil dan menjauhi kezaliman, dalam sabdanya:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : اتَّقُوا الظُّلْمَ فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ [رواه مسلم]
Rasulullah Saw bersabda: “Jauhilah kedzaliman, karena sesungguhnya kedzaliman membuahkan kegelapan pada hari kiamat.”
Kezaliman akan semakin merajalela bila rakyat tidak berani mencegahnya. Maka bila ada ulama yang berani mencegah kezaliman penguasa, rakyat harus bersyukur dan membelanya karena dia telah berusaha mencegah malapetaka dan murka Allah.
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah...
Allahu Akbar, Allahu Akbar walillhil Hamdu
Kaum Muslimin bangsa Indonesia supaya menyadari posisi dirinya sebagai pemilik sah negeri ini. Karena hanya umat Islam satu-satunya yang paling konsistensi mempertahankan NKRI. Sedang umat lain, justru menuntut keluar dari Indonesia seperti yang dilakukan oleh pengikut Kristen di Papua dan kelompok RMS di Maluku.
Para tokoh Islam baik di organisasi politik maupun massa tidak menjadi bagian dari agenda musuh Islkam untuk mengerdilkan peran umat Islam di Indonesia, seperti yang dilakukan oleh JIL, Islam oderat yang mengajak umat Islam untuk menukar aqidahnya dengan pluralisme atau tata dunia baru yang berbaris pada doktrin zionisme dan HAM. Karena sikap-sikap ambivalen hanya akan melahirkan orang Islam yang sekadar puas menjalankan ibadah, tetapi mengabaikan ajaran Islam sebagai jalan kehidupan.
Para ulama jangan pernah memosisikan diri sebagai terompet jahat musuh Islam, dengana menolak berlakunya syariat Islam di lembaga Negara. Merekalah yang seharusnya memimpin rakyat agar berani meluruskan apa yang bengkok dari penguasa, berani berkata benar secara terus terang. Rasulullah Saw bersabda:
عَنْ مُعَاوِيَةَ بْن أَبِيْ سُفْيَان ، عَنِ النَّبِيِّ قال : يَكُوْنُ أُمَرَاءَ يَقُوْلُوْنَ وَلاَ يُرَدُّ عَلَيْهِمْ ، يَتَهَافَتُوْنَ فِي النَّارِ يَتْبَعُ بَعْضُهُمْ بَعْضاً [رواه الطبراني]
“Dari Mu’awiyah bin Abu sufyan, dari Nabi Saw bersabda: “Akan muncul para penguasa yang berkata sesuka mereka dan tidak ada yang membantahnya. Mereka akan berjatuhan masuk neraka beriringan satu demi satu.”

DO’A
Ma’asyiral Muslim Rahimakumullah...
Allahu Akbar, Allahu Akbar walillahil Hamdu
Mengakhiri khutbah ini, merilah kita berdo’a, dengan meluruskan niat, membersihkan hati dan menjernihkan fikiran. Semoga Allah memperkenankan do’a hamba-Nya yang ikhlas.
اَللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَاتَحُوْلُ بِهِ بَيْنَتَا وَبَيْنَ مَعْصِيَتِكَ وَمِنْ طَاعَتِكَ مَاتُبَلِّغُنَا بِهِ جَنَّتَكَ وَمِنَ الْيَقِيْنِ مَا تُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مَصَآئِبَ الدُّنْياَ  اَللَّهُمَّ مَتِّعْنَابِأَسْمَاعِنَا وَأَبْصَارِنَا وَقُوَّتِنَا مَاأَحْيَيْتَنَا وَاجْعَلْهُ الْوَارِثَ مِنَّا وَاجْعَلْ ثَأْرَنَا عَلَى مَنْ ظََلَمَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى مَنْ عَادَانَا وَلاَتَجْعَلْ مُصِيْبَتَنَا فِى دِيْنِنَا وَلاَتَجْعَلِ الدُّنْياَ أَكْبَرَ هَمِّنَا وَمَبْلَغَ عِلْمِنَا وَلاَتُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لاَ يَرْحَمُنَا. اَللَّهُمَّ الْعَنِ الْكَفَرَةَ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِيْنَ الَّذِيْنَ يَصُدُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِكَ وَيُكَذِّبُوْنَ رُسُلَكَ وَيُقَاتِلُوْنَ اَوْلِيَآءَكَ. اَللَّهُمَّ اَلِّفْ بَيْنَ قُلُوْبِنَا وَاَصْلِحْ ذَاتَ بَيْنِنَا وَاهْدِنَا سُبُلَ السَّلاَمِ وَنَجِّنَا مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّوْرِ وَبَارِكْ لَنَا فِى أَسْمَاعِنَا وَاَبْصَارِنَا وَقُلُوْبِنَا وَأَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّبُ الرَّحِيْمِ . وَصَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ اَجْمَعِيْنَ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ.
Ya Allah, ya Rab kami, bagi-bagikanlah kepada kami demi takut kepada-Mu apa yang dapat kiranya menghalang antara kami dan ma'siat kepada-Mu; dan (bagi-bagikan juga kepada kami) demi taat kepada-Mu apa yang sekiranya dapat menyampaikan kami ke sorga-Mu; dan (bagi-bagikan juga kepada kami) demi taat kepada-Mu dan demi suatu keyakinan yang kiranya meringankan beban musibah dunia kami.
Ya Allah, ya Rab kami, senangkanlah pendengaran-pendengaran kami, penglihatan –penglihatan kami dan kekuatan kami pada apa yang Engkau telah menghidupkan kami, dan jadikanlah ia sebagai warisan dari kami, dan jadikanlah pembelaan kami (memukul) orang-orang yang menzhalimi kami serta bantulah kami dari menghadapi orang-orang yang memusuhi kami; dan jangan kiranya Engkau jadikan musibah kami mengenai agama kami, jangan pula Engkau jadikan dunia ini sebagai cita-cita kami yang paling besar, tidak juga sebagai tujuan akhir dari ilmu pengetahuan kami; dan janganlah Engkau kuasakan atas kami orang-orang yang tidak menaruh sayang kepada kami (HR. Tirmidzi dan ia berkata hadist ini hasan.)
Ya Allah, laknatilah orang-orang kafir ahli kitab dan orang-orang musyrik yang menghalang-haalangi jalan-Mu, mendustakan Rasul-rasul-Mu, dan membunuh kekasih-kekasih-Mu
Ya Allah, persatukanlah hati-hati kami dan perbaikilah keadaan kami dan tunjukilah kami jalan-jalan keselamatan serta entaskanlah kami dari kegelapan menuju cahaya yang terang. Dan jauhkanlah kami dari kejahatan yang tampak maupun tersembunyi dan berkatilah pendengaran-pendengaran kami, penglihatan-penglihatan kami, hati-hati kami dan isteri-isteri serta anak keturunan kami, dan ampunilah kami sesungguhnya Engkaulah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Shalawat atas Nabi Muhammad SAW dan ahli keluarga serta sahabat-sahabat beliau semuanya. Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam.

Khutbah Ied: Memberantas Terorisme, Hentikan Kezaliman dan Tegakkan Keadilan

Tulisan Terkait

Ar Rahmah Media Network
© 2006 - 2009 Arrahmah.com. Designed & Developed by Arrahmah IT