Assalamu'alaykum Wr. Wb.
Adalah suatu hal yang sangat memprihatinkan
apabila sampai pada hari ini umat Islam masih bertengkar mempermasalahkan status
madzhab, pola pikir atau juga sekte. Seolah merasa kebenaran adalah mutlak milik
madzhab dan golongan masing-masing, diluarnya salah dan sesat.
Lalu sampai seberapa jauh Islam ini akan dibawa
kepada pertarungan panjang yang melelahkan ? haruskah fanatisme dan kebutaan
pemikiran senantiasa melingkupi hati kita, mencemari kesucian roh dan
mencampakkan Nafs ?
Haruskah semuanya kita lanjutkan sampai masa
yang akan datang ?
Semoga Allah mengampuni kita yang tidak
mengerti betapa agung dan pluralnya Islam itu, kenapa kita menyianyiakan satu
ajaran yang konon gunungpun tak kuasa menerimanya ?
Jika dengan mencintai para keluarga Nabi,
membela kebenaran yang ada didiri Fatimah, Ali, Hasan dan Husin maka seseorang
disebut sebagai Syiah, maka saya akan dengan bangga menyatakan diri saya Syiah,
sebaliknya jika mengagumi ketokohan Umar bin Khatab dan mengamalkan hadis-hadis
selain riwayat dari para ahli Bait Nabi maka seseorang disebut sebagai Ahli
Sunnah, maka sayapun menyebut diri saya demikian.
Tidak ada yang salah dengan kedua istilah
tersebut, Syiah dan Sunni merupakan istilah yang terbentuk setelah ajaran Islam
selesai diwahyukan, keduanya pada dasarnya merupakan polarisasi pemahaman yang
berawal dari pemilihan pemimpin umat Islam pasca kematian Nabi yang akhirnya
meluas sampai pada tingkat penyelewengan dimasing-masing pemahaman oleh
generasi-generasi sesudahnya.
Sudah sampai saatnya masing-masing kita
melakukan koreksi diri terhadap apa yang selama ini terdoktrinisasi, bahwa
pelurusan sejarah serta pentaklidan buta sudah saatnya dilakukan.
Isyu perpecahan didalam Islam memang bukan hal
yang baru dan rasanya ini sesuatu yang wajar karena setiap orang bisa memahami
ajaran Islam dari sudut pandang keilmuan yang berbeda, apalagi Islam mencakup
pengajaran semua bangsa dan daerah yang masing-masingnya memiliki corak budaya,
tradisi serta situasi yang beraneka ragam sebagai salah satu sifat
universalismenya.
Semua perbedaan tersebut seharusnya tidak
dijadikan sekat dalam mengembangkan rasa kebersaudaraan dan toleransi beragama,
sebagaimana sabda Nabi sendiri bahwa umat Islam itu bagaikan satu tubuh,
semuanya bersaudara yang diikat oleh tali Tauhid, pengakuan ketiadaan Tuhan
selain Allah, Tuhan yang satu, yang tidak beranak dan tidak diperanakkan dalam
berbagai bentuk, penafsiran serta sifat apapun.
Karenanya kecenderungan untuk menghakimi
pemahaman yang berbeda dari apa yang kita pahami apalagi sampai melekatkan label
kekafiran atasnya sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang disampaikan oleh
Allah melalui nabi-Nya.
"Barangsiapa bersaksi bahwa Tiada Tuhan selain
Allah,
menghadap kiblat kita,
mengerjakan Sholat kita dan memakan hasil
sembelihan kita,
maka ia adalah seorang Muslim. Baginya berlaku
hak dan kewajiban yang sama
sebagai Muslim lainnya."
- Riwayat Bukhari -
Maraknya ajaran-ajaran sesat yang terjadi
diberbagai belahan dunia akhir-akhir ini memang sewajarnya membuat umat Islam
merasa prihatin, terlebih lagi mereka yang menggunakan nama dan tata cara Islam
sebagai topeng yang menutupi kesesatannya. ; Akan tetapi kita juga harus mampu
bersikap objektif, berpikiran terbuka dan jernih menyikapinya, selama kita belum
mengetahui secara jelas seberapa jauh penyimpangan yang dianggap sudah dilakukan
oleh mereka maka selama itu pula hendaknya kita menahan diri dari komentar
maupun tanggapan yang justru menimbulkan keresahan dimasyarakat.
Saya tidak terikat dengan organisasi keagamaan
manapun atau juga madzhab apapun yang ada, secara plural saya menganggap
semuanya mengajarkan kebaikan dan dari masing-masing kebaikan yang diajarkan itu
saya memetik nilai-nilai kebenaran yang sesuai dengan nash kitab suci serta
objektifitas berpikir.
Islam adalah satu, semuanya bersumber dari
ajaran yang satu, yaitu Yang Maha Kuasa yang kemudian diturunkan kepada kita
melalui salah seorang hamba terkasih-Nya bernama Muhammad bin Abdullah ditanah
Arab pada abad ke-6 masehi.
Jika Islam adalah satu, maka umatnya pun adalah
satu dan ini konsekwensi logis darinya, karena itu Nabi bersabda :
"Dari Miqdad bin 'Amr ; ia pernah bertanya
kepada Nabi : Bagaimana jika ia berperang dengan kaum kafir, lalu berkelahi
dengan seorang diantaranya hingga tangannya terputus dan dalam satu kesempatan
sang musuh berhasil dijatuhkan lalu saat akan dibunuhnya dia berseru "Aslamtu
lillah" - aku Islam kepada Allah - namun masih dibunuhnya, apa jawab Nabi
?
- Jangan kau bunuh dia, jika kau bunuh dia maka
sesungguhnya dia sudah berada dalam kedudukanmu sebelum engkau membunuhnya,
yaitu seorang Muslim, sedangkan kamu berada dalam posisinya sebelum dia
mengucapkan kalimat itu (yaitu kafir).; lalu dijawab oleh Miqdad bahwa
pernyataan orang itu hanya untuk menghindari pembunuhan saja, jawab Nabi lagi,
bahwa dirinya diutus Allah tidak untuk menghakimi hati seseorang."
"Islam adalah kesaksian bahwa Tiada Tuhan
selain Allah dan pembenaran kepada Rasulullah Saw, atas dasar itulah nyawa
manusia dijamin keselamatannya. Dan atas dasar itu juga berlangsung pernikahan
dan pewarisan serta terbina kesatuan kaum Muslimin." - Riwayat
Sama'ah
"Nabi bersabda : bahwa Jibril datang kepada
beliau dan mengabarkan tentang keutamaan seseorang yang meninggal dunia dalam
keadaan bertauhid secara murni maka ia akan masuk syurga kendati ybs pernah
berzina dan mencuri." - Riwayat Bukhari dari Abu Dzar
Kita semua tahu bagaimana vitalnya posisi dan
peranan Ali bin Abu Thalib dikehidupan Nabi dan putrinya Fatimah.
Sejak kecil, Nabi dibesarkan dalam lingkungan
keluarga ayahnya dari suku Bani Hasyim yang merupakan salah satu keluarga
terpandang dikalangan penduduk Mekkah saat itu. Ketika kakeknya Abdul Muthalib
wafat, hak pengasuhan atas diri Nabi pindah ketangan pamannya yang bernama Abu
Thalib, dari pamannya inilah Nabi belajar banyak hal mengenai perdagangan dan
kejujuran hingga beliau dikenal sebagai al-Amin (orang yang terpercaya)
sampai-sampai beliau dipercaya untuk membawa dan menjualkan dagangan sejumlah
saudagar hingga kenegri Syam dan bertemu dengan Khadijjah yang kelak
dinikahinya.
Dimasa awal turunnya wahyu, selain istrinya,
orang kedua yang mengimani kenabiannya adalah Ali putra pamannya, Abu Thalib
yang dengan beraninya mengumumkan keislamannya secara terbuka kepada
keluarganya.
Dalam bukunya yang berjudul “Sejarah Hidup Muhammad”, hal 89, Muhammad Husain Haekal
menggambarkan pernyataan kesetiaan Ali terhadap Nabi sebagai berikut :
“Tuhan menjadikanku
tanpa aku perlu berunding dengan Abu Thalib, apa gunanya aku harus berunding
dengannya untuk menyembah Allah ?”; selanjutnya pada halaman 92 juga dituliskan pernyataan Ali yang
lain : “Rasulullah, aku akan
membantumu, aku adalah lawan siapa saja yang menentangmu”.
Meskipun demikian, Abu Thalib sendiri menurut
riwayat tetap pada keyakinan lamanya sebagai penyembah berhala, bertolak
belakang dengan sikap putranya. Namun perbedaan keyakinan antara mereka tidak
membuat Abu Thalib melepaskan perlindungan dan kasih sayangnya pada diri Nabi,
Ali dan Khadijjah, beliaulah yang sering melakukan pembelaan manakala ada pihak
Quraisy yang bermaksud mencelakakannya dan ini terus dilakoninya sampai ia
wafat.
Ali bin Abu Thalib telah ikut bersama Nabi
semenjak usia anak-anak, jauh sebelum Nabi bertemu dengan para sahabat lainnya,
karena itu juga mungkin beliau digelari Karamallahuwajhah (yaitu wajah yang
disucikan Allah dari penyembahan berhala).
Allah sendiri melalui wahyu-Nya telah
menekankan kepada Nabi agar terlebih dahulu menyerukan ajaran Islam kepada
keluarga terdekatnya :
Dan berilah peringatan kepada keluargamu yang
terdekat, Limpahkanlah kasih sayang terhadap orang-orang beriman yang
mengikutimu; Jika mereka mendurhakaimu maka katakanlah:"Sesungguhnya aku tidak
bertanggung jawab terhadap apa yang kamu kerjakan". – Qs. Asy-Syu’araa 26:214-216
Seruannya memang di-ikuti oleh keluarganya
dimulai oleh Khadijjah istrinya, Ali bin Abu Thalib sepupu sekaligus menantunya
kelak, paman sesusuannya, Hamzah bin Abdul Muthalib, Ja’far bin Abu Thalib dan pamannya Abbas bin
Abdul Muthalib.
Olehnya tidak menjadi suatu kesangsian lagi
bila Ali mengenal betul sifat dan watak yang ada pada diri Nabi sehingga tidak
ada alasan baginya untuk menolak perintah maupun membantah keputusannya,
terlebih dalam kapasitasnya selaku seorang Rasul Tuhan. ; Jelas dalam hal ini
sikap Ali bin Abu Thalib tidak bisa disejajarkan dengan sikap beberapa sahabat
yang kritis dan vokal terhadap beberapa pendapat Nabi, bisa dimaklumi bahwa
notabene mereka mengenal Nabi tidak lebih lama dari Ali bin Abu Thalib selain
juga ditentukan oleh faktor watak dan kondisi lain yang melatar
belakanginya.
Dimalam hijrahnya ke Madinah, Nabi meminta Ali
bin Abu Thalib menggantikan posisi tidurnya dipembaringan dengan mengenakan
mantel hijaunya dari Hadzramut, menyongsong rencana pembunuhan yang sudah
disusun oleh para kafir Quraisy yang saat itu berada disekitar kediaman
Nabi.
Tindakan Nabi ini seolah mengisyaratkan bahwa
beliau berkeinginan untuk menjadikan sepupunya itu pengganti dirinya dikala
hidup dan mati.
Saat Nabi mempersatukan kaum Muhajirin dan
Anshar dikota Madinah, Nabi sendiri justru mengangkat Ali bin Abu Thalib sebagai
saudaranya (padahal keduanya sama-sama Muhajirin), berbeda misalnya dengan Abu
Bakar yang disaudarakan dengan Kharija bin Zaid, Umar bin Khatab dengan
‘Itban bin Malik al-Khazraji,
bahkan pamannya sendiri yaitu Hamzah bin Abdul Muthalib dipersaudarakan dengan
Zaid, mantan budaknya.
Persaudaraannya ini sering di-ingatkan oleh
Nabi dalam hadis-hadisnya bahwa kedudukannya terhadap Ali laksana kedudukan Musa
terhadap Harun (bukankah dalam al-Qur’an surah al-A’raaf 7 : 142 disebutkan bahwa Harun menjadi pengganti Musa tatkala
beliau berangkat ke Sinai untuk mendapat wahyu ? )
Dari Sa’ad bin Abu Waqqas : “Rasulullah Saw mengatakan kepada Ali : Engkau dengan aku serupa
dengan kedudukan Harun dengan Musa, tetapi sesungguhnya tidak ada Nabi sesudah
aku” – Hadis Riwayat Muslim
Saat semua sahabat utamanya mengajukan lamaran
untuk menyunting Fatimah sebagai istri mereka, Nabi menolaknya dan menikahkan
putri tercintanya itu dengan Ali bin Abu Thalib.
Tatkala Hisyam bin Mughirah meminta izin kepada
Nabi agar memperbolehkan mengawinkan anak perempuannya dengan Ali, Nabi juga
menolaknya dan bersabda :
“Aku tidak
mengizinkan, sekali lagi aku tidak mengizinkan dan sekali lagi aku tidak
mengizinkannya kecuali bila Ali bin Abu Thalib mau menceraikan puteriku dan
kawin dengan anak-anak perempuan Hisyam, karena sesungguhnya, puteriku darah
dagingku, menyusahkanku apa yang menyusahkannya dan menyakitkanku apa saja yang
menyakitkannya” – Riwayat Muslim
Ali juga merupakan satu-satunya orang yang
diserahi panji Islam dalam peperangan Khaibar oleh Nabi yang menurut beliau
bahwa panji itu hanya layak bagi laki-laki yang benar-benar mencintai Allah dan
Rasul-Nya lalu ditangannya Allah akan memberikan kemenangan.; Padahal Umar bin
Khatab sangat berambisi agar tugas itu diserahkan kepadanya. (Riwayat Muslim dan
Bukhari)
Saat akan terjadi Mubahalah antara Nabi dengan
para pendeta dari Najran, beliau memanggil Ali, Fatimah serta kedua cucunya
yaitu Hasan dan Husin untuk mendampinginya baru para istri beliau (ini
ditegaskan juga dalam surah 3 Ali Imron ayat 61 yang mendahulukan penyebutan
anak-anak Nabi dari istri-istrinya, ditambah riwayat dari Imam Muslim bahwa saat
itu Nabi menunjuk Ali, Fatimah, Hasan dan Husin sebagai keluarganya).
Dalam haji terakhirnya disuatu daerah bernama
ghadir khum, beberapa riwayat menyebutkan bahwa Nabi sempat menyinggung tentang
regenerasi kepemimpinan umat sepeninggal beliau dan mengumumkan Ali sebagai
penerusnya.; dan memperingatkan kaum Muslimin agar memperhatikan keluarga beliau
sepeninggalnya kelak, ucapan ini sampai diulangnya sebanyak 3 kali, dan Zaid bin
Arkam menyatakan bahwa yang dimaksud oleh Nabi adalah keluarga Ali, ‘Aqil, keluarga Ja’far dan keluarga ‘Abbas. – Riwayat Muslim
Menjelang akhir hayatnya, Nabi menugaskan
sebagian besar sahabat utamanya termasuk Abu Bakar dan Umar kedalam satu
ekspedisi ke daerah Ubna, suatu tempat di Syiria dibawah komando Usamah bin Zaid
bin Haritsah, sementara Ali sendiri diminta untuk tetap menemani hari-hari
terakhirnya dikota Madinah serta memberinya wasiat agar mau mengurus jenasah dan
pemakamannya bila waktunya tiba.
Ini juga tersirat tentang keinginan Nabi
menjadikan dan memantapkan posisi Ali sebagai pengganti beliau memimpin umat,
dijauhkannya para sahabat senior lain dari kota Madinah agar ketika mereka
kembali tidak akan terjadi keributan seputar suksesi kepemimpinan.
Hanya sayang rencana Nabi kandas karena
sebagian sahabat senior merasa enggan berada dalam komando Usamah bin Zaid yang
masih relatif remaja sampai Nabi marah dan mempertanyakan kredebilitas dirinya
dihadapan mereka mengenai penunjukan Usamah itu.
Pada akhirnya kehendak Nabi harus mengalah
dengan kehendak Tuhan yang sudah mentakdirkan jalan lain, tidak ubah seperti
keinginan Isa al-Masih agar cawan penyaliban dihindarkan darinya namun Tuhan
tetap menginginkan semuanya terjadi sesuai mau-Nya.
Nabi wafat dipelukan Ali setelah membisikkan
kepada Fatimah agar tidak bersedih sepeninggalnya karena dalam waktu tidak
berapa lama setelah kematiannya, putrinya itupun akan menyusulnya.
Ali juga yang memandikan jenasah Nabi bersama
Ibnu Abbas dan mengurus pemakamannya, saat yang sama sekelompok orang disaat itu
malah meributkan suksesi kepemimpinan dan akhirnya menobatkan Abu Bakar selaku
Khalifah penerus Nabi dalam memimpin umat serta melupakan semua peran dan posisi
Ali dihadapan Nabi.
Inilah awal dari isyu perpecahan ditubuh Islam,
sebagai bentuk protes terhadap perbuatan mereka ini, Ali, Fatimah dan sejumlah
sahabat lainnya menolak mengakui kepemimpinan Abu Bakar, lebih-lebih lagi
setelah sang Khalifah menolak memberikan tanah Fadak yang diwariskan Nabi kepada
Fatimah hasil rampasan perang Khaibar.; Padahal semua orang tahu, bahwa
menyakiti Fatimah sama seperti menyakiti Nabi, namun mereka mengabaikannya
hingga akhirnya Fatimah wafat dalam keadaan tetap mendiamkan Abu Bakar dan
menolak berbaiat kepada pemerintahannya.
Ali bin Abu Thalib memakamkan jenasah istrinya
disuatu tempat pada malam harinya secara diam-diam dan hanya dihadiri oleh para
simpatisan dan pengikut mereka karena tidak ingin dihadiri oleh pihak yang
berseberangan dengannya.
Manakala keadaan Madinah semakin memanas, dan
beberapa pihak berusaha menghasut terjadinya peperangan antara pihak Ali dan Abu
Bakar, sebuah keputusan berdamai diambil oleh Ali demi menjaga persatuan umat
dan terciptanya kedamaian.
“Dan orang-orang yang
mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di dalam
Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau
kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang demikian
itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah). - Qs. al-Ahzaab 33:6
Kondisi ini terus berlangsung hingga wafatnya
Umar bin Khatab dan turunnya kredibelitas Usman bin Affan selaku Khalifah ke-3
akibat ulah para keluarganya yang tamak dan haus kekuasaan.
Keterbunuhan Usman bin Affan dan pengangkatan
dirinya sebagai Amirul Mukminin membangkitkan dendam lama Quraisy terhadap Bani
Hasyim keturunan Nabi, walaupun berakhir dengan baik dan terhormat, tidak urung
pertempuran Jamal yang dipimpin langsung oleh 'Aisyah istri Nabi merupakan awal
yang bagus untuk dimanfaatkan oleh Muawiah bin Abu Sofyan dalam mengobarkan
pemberontakan terhadap otoritas kepemimpinan Ali.
Ali akhirnya terbunuh dimasjid Kufah akibat
tusukan pedang beracun milik salah seorang dari kelompok Khawarij bernama
Abdurahman bin Muljam pada suatu Jum'at pagi dan menghembuskan nafas terakhirnya
pada malam Ahad 21 Ramadhan 40 H.
Setelah kematian Ali bin Abu Thalib, Hasan
puteranya tertua diangkat oleh sekelompok besar sahabat Nabi selaku Khalifah
pengganti. Namun lagi-lagi Muawiyah tidak senang dan terus mengobarkan semangat
permusuhan dengan Ali dan keturunannya, orang dipaksa untuk mencaci maki
keluarga Nabi itu sejahat-jahatnya bahkan termasuk dalam mimbar-mimbar
Jum'at.
Kenyataan ini jelas semakin memperdalam
kehancuran persatuan umat Islam, suatu ironi yang tidak dapat dihindarkan,
betapa dengan susah payah Nabi menggalang satu tatanan kehidupan masyarakat yang
madani dengan mengorbankan air mata dan tetesan darah para syuhada harus hancur
dihadapan cucu beliau sendiri.
Akhirnya Hasan bin Ali memutuskan untuk
berdamai dengan Muawiyah dan menyerahkan tampuk kekuasaan Khalifah kepadanya
demi untuk menghindarkan jurang yang lebih dalam lagi dikalangan umat Islam
dengan beberapa persyaratan perjanjian.
Beberapa isi dari perjanjian itu adalah
pemerintahan Muawiyah akan menjalankan pemerintahan berdasarkan kitab Allah dan
sunnah Rasul-Nya, menjaga persatuan umat, menyejahterakannya, melindungi
kepentingannya, tidak membalas dendam kepada anak-anak yang orang tuanya gugur
didalam berperang dengan Muawiyah juga tidak mengganggu seluruh keluarga Nabi
Muhammad Saw baik secara terang-terangan maupun tersembunyi dan menghentikan
caci maki terhadap para Ahli Bait ini serta tidak mempergunakan gelar "Amirul
Mukminin" sebagaimana pernah disandang oleh Khalifah Umar bin Khatab dan
Khalifah Ali bin Abu Thalib.
Akan tetapi selang beberapa saat sesudah
Muawiyah diakui sebagai Khalifah, dia mulai melanggar isi perjanjian tersebut,
orang-orang yang dianggap mendukung keluarga Nabi diculik dan dibunuh,
perbendaharaan kas baitul mal Kufah disalah gunakan, caci maki terhadap
keturunan Nabi dari Fatimah kembali dibangkitkan malah lebih parah lagi mereka
memaksa orang untuk memutuskan hubungan dengan ahli Bait Nabi.
Tidak hanya sebatas itu, beberapa hukum agama
yang diatur oleh Nabi Muhammad Saw pun dirombak oleh Muawiyah, misalnya Sholat
hari raya mempergunakan azan, khotbah lebih didahulukan daripada sholat,
laki-laki diperbolehkan memakai pakaian sutera dan sebagainya.
Mereka juga membuat pernyataan-pernyataan yang
dinisbatkan kepada Nabi Muhammad Saw dan beberapa sahabat utama yang sebenarnya
tidak pernah ada.
Hal ini membuat prihatin para pendukung Hasan
bin Ali bin Abu Thalib, mereka sepakat untuk kembali menyatakan cucu Nabi Saw
ini selaku seorang Imam atau pemimpin mereka.
Orang-orang ini diantaranya Hajar bin Adi, Adi
bin Hatim, Musayyab bin Nujbah, Malik bin Dhamrah, Basyir al-Hamdan dan Sulaiman
bin Sharat.
Akan tetapi selang tak lama, putera pertama
dari Fatimah az-Azzahrah ini wafat karena diracun, lama masa pemerintahan
Khalifah Hasan ini 6 bulan lebih 1 hari.
Kekejaman dinasti Bani Umayyah terhadap Bani
Hasyim keturunan Nabi Muhammad Saw terus berlanjut sampai pada masa pemerintahan
Yazid bin Muawiyah bin Abu Sofyan yang melakukan pembantaian besar-besaran atas
diri Husain sekeluarga dan para pengikutnya dipadang Karbala pada hari
Asyura.
Kepala Husain yang mulia telah dipenggal,
wanita dan anak-anak di-injak-injak, wanita hamil serta orang tua pun tidak
luput dari pembunuhan kejam itu.
Seluruh keturunan Nabi Muhammad Saw melalui Ali
bin Abu Thalib terus dicaci maki meskipun tubuh mereka telah bersimbah darah
merah, semerah matahari senja yang meninggalkan cahaya ke-emasannya untuk
berganti pada kegelapan.
Kekejaman Yazid dalam membunuh Husain,
menyembelih anak-anak dan pembantu-pembantunya, begitu pula memberi aib kepada
wanita-wanitanya, ditambah dalam tahun ke-2 memperkosa kota Madinah yang suci
serta membunuh ribuan penduduknya, tidak kurang dari 700 orang dari Muhajirin
dan Anshar sahabat-sahabat besar Nabi yang masih hidup.
Marilah sekarang kita berpikir secara objektif,
apakah perbuatan ini dianggap baik oleh orang yang mengaku mencintai Nabinya dan
senantiasa bersholawat kepada beliau dan keluarganya dalam setiap sholat ?
Masihkah kita berpikir jahat terhadap orang
yang mencintai dan mengasihi ahli Bait sementara kita sendiri justru berusaha
untuk membela orang-orang yang justru telah secara nyata melakukan pembasmian
terhadap keluarga Nabi Muhammad Saw ?
Permusuhan Muawiyyah bin Abu Sofyan terhadap
Bani Hasyim terus menurun kepada generasi sesudahnya seperti Yazid bin Muawiyah,
Marwan, Abdul Malik dan Walid, barulah pada pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul
Aziz keadaan berubah.
Sekalipun Umar bin Abdul Aziz berasal dari klan
Bani Umayyah sebagaimana juga pendahulunya, namun beliau bukan orang yang zalim,
seluruh penghinaan terhadap keluarga Nabi dilarangnya, sebaliknya beliau
membersihkan nama dan sangat menghormati para ahli Bait.
Sebagai tambahan catatan, dendam lama antara
Bani Umayyah terhadap Bani Hasyim pernah secara nyata dilakukan pada jaman Nabi
Muhammad Saw masih hidup, yaitu manakala Hindun istri Abu Sofyan (orang tua dari
Muawiyah) melakukan permusuhan terhadap Rasul dan bahkan ia juga yang membunuh
Hamzah bin Abdul Muthalib secara licik dalam peperangan Uhud lalu tanpa
prikemanusiaan mencincang tubuh paman Nabi itu lalu mengunyah hatinya dimedan
perang.
Namun pembalasan apa yang dilakukan oleh
Rasulullah Muhammad Saw ketika berhasil menguasai seluruh kota Mekkah pada hari
Fath Mekkah ?
Seluruh kejahatan Abu Sofyan dan Hindun justru
dimaafkan begitu saja oleh Nabi dan rumah Abu Sofyan dinyatakan sebagai tempat
yang aman bagi semua orang sebagaimana juga Masjidil Haram dinyatakan bersih dan
terjamin keselamatan orang-orang yang berada disana.
Sungguh bertolak belakang sekali perlakuan
generasi Bani Hasyim dibanding perlakukan Bani Umayyah terhadap sisa-sisa Bani
Hasyim dari keturunan Nabi.
Jika keagungan tujuan, kesempitan sarana dan
hasil yang menakjubkan, adalah tiga kriteria kejeniusan manusia, siapa yang
berani membandingkan manusia yang memiliki kebesaran didalam sejarah modern
dengan Muhammad ?
Orang-orang paling terkenal menciptakan
tentara, hukum dan kekaisaran semata.
Mereka mendirikan apa saja, tidak lebih dari
kekuatan material yang acapkali hancur didepan mata mereka sendiri.
Nabi Muhammad Saw, Rasul Allah yang agung,
penutup semua Nabi, tidak hanya menggerakkan bala tentara, rakyat dan dinasti,
mengubah perundang-undangan, kekaisaran. Tetapi juga menggerakkan jutaan orang
bahkan lebih dari itu, dia memindahkan altar-altar, agama-agama, ide-ide,
keyakinan-keyakinan dan jiwa-jiwa.
Berdasarkan sebuah kitab, yang setiap ayatnya
menjadi hukum, dia menciptakan kebangsaan beragama yang membaurkan bangsa-bangsa
dari setiap jenis bahasa dan setiap ras.
Dalam diri Muhammad, dunia telah menyaksikan
fenomena yang paling jarang diatas bumi ini, seorang yang miskin, berjuang tanpa
fasilitas, tidak goyah oleh kerasnya ulah para pendosa.
Dia bukan seorang yang jahat, dia keturunan
baik-baik, keluarganya merupakan keluarga yang terhormat dalam pandangan
penduduk Mekkah kala itu. Namun dia meninggalkan semua kehormatan tersebut dan
lebih memilih untuk berjuang, mengalami sakit dan derita, panasnya matahari dan
dinginnya malam hari ditengah gurun pasir hanya untuk menghambakan dirinya demi
Tuhannya. Dia lebih baik dari apa yang semestinya terjadi pada seseorang seperti
dia.
Mari kita semua berpikir objektif dan
mengedepankan kejujuran ... sekali lagi, jika dengan mencintai keluarga Nabi
maka seseorang disebut sebagai Syiah, maka saya adalah Syi'ah ... tetapi apakah
Syi'ah dalam arti aliran keagamaan ? - Tidak - Islam yang saya yakini bukan
Islam yang disekat oleh aliran dan madzhab.
Wassalam,
Armansyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar