Rabu, 29 Mei 2013

inilah tulisan Mungkar ULIL Abshor (Gembong JIL " Jaringan "islam" liberal) yang ingin menantang Allah



[Nusantara] Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Tue Nov 19 03:01:30 2002

Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam 
 
18-11-2002 @ 02:12 AM 
Dikirim oleh: Gigih Nusantara
Views:  
Oleh Ulil Abshar-Abdalla 
 
SAYA meletakkan Islam pertama-tama sebagai sebuah
"organisme" yang hidup; sebuah agama yang berkembang
sesuai dengan denyut nadi perkembangan manusia. Islam
bukan sebuah monumen mati yang dipahat pada abad ke-7
Masehi, lalu dianggap sebagai "patung" indah yang tak
boleh disentuh tangan sejarah. 
 
 
 
Saya melihat, kecenderungan untuk "me-monumen-kan"
Islam amat menonjol saat ini. Sudah saatnya suara
lantang dikemukakan untuk menandingi kecenderungan
ini. 
 
Saya mengemukakan sejumlah pokok pikiran di bawah ini
sebagai usaha sederhana menyegarkan kembali pemikiran
Islam yang saya pandang cenderung membeku, menjadi
"paket" yang sulit didebat dan dipersoalkan: paket
Tuhan yang disuguhkan kepada kita semua dengan pesan
sederhana, take it or leave it! Islam yang disuguhkan
dengan cara demikian, amat berbahaya bagi kemajuan
Islam itu sendiri. 
 
Jalan satu-satunya menuju kemajuan Islam adalah dengan
mempersoalkan cara kita menafsirkan agama ini. Untuk
menuju ke arah itu, kita memerlukan beberapa hal. 
 
Pertama, penafsiran Islam yang non-literal,
substansial, kontekstual, dan sesuai denyut nadi
peradaban manusia yang sedang dan terus berubah. 
 
Kedua, penafsiran Islam yang dapat memisahkan mana
unsur-unsur di dalamnya yang merupakan kreasi budaya
setempat, dan mana yang merupakan nilai fundamental.
Kita harus bisa membedakan mana ajaran dalam Islam
yang merupakan pengaruh kultur Arab dan mana yang
tidak. 
 
Islam itu kontekstual, dalam pengertian,
nilai-nilainya yang universal harus diterjemahkan
dalam konteks tertentu, misalnya konteks Arab, Melayu,
Asia Tengah, dan seterusnya. Tetapi, bentuk-bentuk
Islam yang kontekstual itu hanya ekspresi budaya, dan
kita tidak diwajibkan mengikutinya. 
 
Aspek-aspek Islam yang merupakan cerminan kebudayaan
Arab, misalnya, tidak usah diikuti. Contoh, soal
jilbab, potong tangan, qishash, rajam, jenggot, jubah,
tidak wajib diikuti, karena itu hanya ekspresi lokal
partikular Islam di Arab. 
 
Yang harus diikuti adalah nilai-nilai universal yang
melandasi praktik-praktik itu. Jilbab intinya adalah
mengenakan pakaian yang memenuhi standar kepantasan
umum (public decency). Kepantasan umum tentu sifatnya
fleksibel dan berkembang sesuai perkembangan
kebudayaan manusia. Begitu seterusnya. 
 
Ketiga, umat Islam hendaknya tidak memandang dirinya
sebagai "masyarakat" atau "umat" yang terpisah dari
golongan yang lain. Umat manusia adalah keluarga
universal yang dipersatukan oleh kemanusiaan itu
sendiri. Kemanusiaan adalah nilai yang sejalan, bukan
berlawanan, dengan Islam. 
 
Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara
perempuan Islam dengan lelaki non-Islam, sudah tidak
relevan lagi. Quran sendiri tidak pernah dengan tegas
melarang itu, karena Quran menganut pandangan
universal tentang martabat manusia yang sederajat,
tanpa melihat perbedaan agama. Segala produk hukum
Islam klasik yang membedakan antara kedudukan orang
Islam dan non-Islam harus diamandemen berdasarkan
prinsip kesederajatan universal dalam tataran
kemanusiaan ini. 
 
Keempat, kita membutuhkan struktur sosial yang dengan
jelas memisahkan mana kekuasaan politik dan mana
kekuasaan agama. Agama adalah urusan pribadi;
sementara pengaturan kehidupan publik adalah
sepenuhnya hasil kesepakatan masyarakat melalui
prosedur demokrasi. Nilai-nilai universal agama tentu
diharapkan ikut membentuk nilai-nilai publik, tetapi
doktrin dan praktik peribadatan agama yang sifatnya
partikular adalah urusan masing-masing agama. 
 
Menurut saya, tidak ada yang disebut "hukum Tuhan"
dalam pengertian seperti dipahami kebanyakan orang
Islam. Misalnya, hukum Tuhan tentang pencurian, jual
beli, pernikahan, pemerintahan, dan sebagainya. Yang
ada adalah prinsip-prinsip umum yang universal yang
dalam tradisi pengkajian hukum Islam klasik disebut
sebagai maqashidusy syari'ah, atau tujuan umum syariat
Islam. 
 
Nilai-nilai itu adalah perlindungan atas kebebasan
beragama, akal, kepemilikan, keluarga/keturunan, dan
kehormatan (honor). Bagaimana nilai-nilai itu
diterjemahkan dalam konteks sejarah dan sosial
tertentu, itu adalah urusan manusia Muslim sendiri. 
 
*** 
 
BAGAIMANA meletakkan kedudukan Rasul Muhammad SAW
dalam konteks pemikiran semacam ini? Menurut saya,
Rasul Muhammad SAW adalah tokoh historis yang harus
dikaji dengan kritis, (sehingga tidak hanya menjadi
mitos yang dikagumi saja, tanpa memandang aspek-aspek
beliau sebagai manusia yang juga banyak
kekurangannya), sekaligus panutan yang harus diikuti
(qudwah hasanah). 
 
Bagaimana mengikuti Rasul? Di sini, saya mempunyai
perbedaan dengan pandangan dominan. Dalam usaha
menerjemahkan Islam dalam konteks sosial-politik di
Madinah, Rasul tentu menghadapi banyak keterbatasan.
Rasul memang berhasil menerjemahkan cita-cita sosial
dan spiritual Islam di Madinah, tetapi Islam
sebagaimana diwujudkan di sana adalah Islam historis,
partikular, dan kontekstual. 
 
Kita tidak diwajibkan mengikuti Rasul secara harfiah,
sebab apa yang dilakukan olehnya di Madinah adalah
upaya menegosiasikan antara nilai-nilai universal
Islam dengan situasi sosial di sana dengan seluruh
kendala yang ada. Islam di Madinah adalah hasil suatu
trade-off antara "yang universal" dengan "yang
partikular". 
 
Umat Islam harus ber-ijtihad mencari formula baru
dalam menerjemahkan nilai-nilai itu dalam konteks
kehidupan mereka sendiri. "Islam"-nya Rasul di Madinah
adalah salah satu kemungkinan menerjemahkan Islam yang
universal di muka Bumi; ada kemungkinan lain untuk
menerjemahkan Islam dengan cara lain, dalam konteks
yang lain pula. Islam di Madinah adalah one among
others, salah satu jenis Islam yang hadir di muka
Bumi. 
 
Oleh karena itu, umat Islam tidak sebaiknya mandek
dengan melihat contoh di Madinah saja, sebab kehidupan
manusia terus bergerak menuju perbaikan dan
penyempurnaan. Bagi saya, wahyu tidak berhenti pada
zaman Nabi; wahyu terus bekerja dan turun kepada
manusia. Wahyu verbal memang telah selesai dalam
Quran, tetapi wahyu nonverbal dalam bentuk ijtihad
akal manusia terus berlangsung. 
 
Temuan-temuan besar dalam sejarah manusia sebagai
bagian dari usaha menuju perbaikan mutu kehidupan
adalah wahyu Tuhan pula, karena temuan-temuan itu
dilahirkan oleh akal manusia yang merupakan anugerah
Tuhan. Karena itu, seluruh karya cipta manusia, tidak
peduli agamanya, adalah milik orang Islam juga; tidak
ada gunanya orang Islam membuat tembok ketat antara
peradaban Islam dan peradaban Barat: yang satu
dianggap unggul, yang lain dianggap rendah. Sebab,
setiap peradaban adalah hasil karya manusia, dan
karena itu milik semua bangsa, termasuk milik orang
Islam. 
 
Umat Islam harus mengembangkan suatu pemahaman bahwa
suatu penafsiran Islam oleh golongan tertentu bukanlah
paling benar dan mutlak, karena itu harus ada
kesediaan untuk menerima dari semua sumber kebenaran,
termasuk yang datangnya dari luar Islam. Setiap
golongan hendaknya menghargai hak golongan lain untuk
menafsirkan Islam berdasarkan sudut pandangnya
sendiri; yang harus di-"lawan" adalah setiap usaha
untuk memutlakkan pandangan keagamaan tertentu. 
 
Saya berpandangan lebih jauh lagi: setiap nilai
kebaikan, di mana pun tempatnya, sejatinya adalah
nilai Islami juga. Islam-seperti pernah dikemukakan
Cak Nur dan sejumlah pemikir lain-adalah "nilai
generis" yang bisa ada di Kristen, Hindu, Buddha,
Konghucu, Yahudi, Taoisme, agama dan kepercayaan
lokal, dan sebagainya. Bisa jadi, kebenaran "Islam"
bisa ada dalam filsafat Marxisme. 
 
Saya tidak lagi memandang bentuk, tetapi isi.
Keyakinan dan praktik keIslam-an yang dianut oleh
orang-orang yang menamakan diri sebagai umat Islam
hanyalah "baju" dan forma; bukan itu yang penting.
Yang pokok adalah nilai yang tersembunyi di baliknya. 
 
Amat konyol umat manusia bertikai karena perbedaan
"baju" yang dipakai, sementara mereka lupa, inti
"memakai baju" adalah menjaga martabat manusia sebagai
makhluk berbudaya. Semua agama adalah baju, sarana,
wasilah, alat untuk menuju tujuan pokok: penyerahan
diri kepada Yang Maha Benar. 
 
Ada periode di mana umat beragama menganggap, "baju"
bersifat mutlak dan segalanya, lalu pertengkaran
muncul karena perbedaan baju itu. Tetapi, pertengkaran
semacam itu tidak layak lagi untuk dilanggengkan kini.
 
 
*** 
 
MUSUH semua agama adalah "ketidakadilan". Nilai yang
diutamakan Islam adalah keadilan. 
 
Misi Islam yang saya anggap paling penting sekarang
adalah bagaimana menegakkan keadilan di muka Bumi,
terutama di bidang politik dan ekonomi (tentu juga di
bidang budaya), bukan menegakkan jilbab, mengurung
kembali perempuan, memelihara jenggot, memendekkan
ujung celana, dan tetek bengek masalah yang menurut
saya amat bersifat furu'iyyah. Keadilan itu tidak bisa
hanya dikhotbahkan, tetapi harus diwujudkan dalam
bentuk sistem dan aturan main, undang-undang, dan
sebagainya, dan diwujudkan dalam perbuatan. 
 
Upaya menegakkan syariat Islam, bagi saya, adalah
wujud ketidakberdayaan umat Islam dalam menghadapi
masalah yang mengimpit mereka dan menyelesaikannya
dengan cara rasional. Umat Islam menganggap, semua
masalah akan selesai dengan sendirinya manakala
syariat Islam, dalam penafsirannya yang kolot dan
dogmatis, diterapkan di muka Bumi. 
 
Masalah kemanusiaan tidak bisa diselesaikan dengan
semata-mata merujuk kepada "hukum Tuhan" (sekali lagi:
saya tidak percaya adanya "hukum Tuhan"; kami hanya
percaya pada nilai-nilai ketuhanan yang universal),
tetapi harus merujuk kepada hukum-hukum atau sunnah
yang telah diletakkan Allah sendiri dalam setiap
bidang masalah. Bidang politik mengenal hukumnya
sendiri, bidang ekonomi mengenal hukumnya sendiri,
bidang sosial mengenal hukumnya sendiri, dan
seterusnya. 
 
Kata Nabi, konon, man aradad dunya fa'alihi bil 'ilmi,
wa man aradal akhirata fa 'alihi bil 'ilmi; barang
siapa hendak mengatasi masalah keduniaan, hendaknya
memakai ilmu, begitu juga yang hendak mencapai
kebahagiaan di dunia "nanti", juga harus pakai ilmu.
Setiap bidang ada aturan, dan tidak bisa semena-mena
merujuk kepada hukum Tuhan sebelum mengkajinya lebih
dulu. Setiap ilmu pada masing-masing bidang juga terus
berkembang, sesuai perkembangan tingkat kedewasaan
manusia. Sunnah Tuhan, dengan demikian, juga ikut
berkembang. 
 
Sudah tentu hukum-hukum yang mengatur masing-masing
bidang kehidupan itu harus tunduk kepada nilai primer,
yaitu keadilan. Karena itu, syariat Islam, hanya
merupakan sehimpunan nilai-nilai pokok yang sifatnya
abstrak dan universal; bagaimana nilai-nilai itu
menjadi nyata dan dapat memenuhi kebutuhan untuk
menangani suatu masalah dalam periode tertentu,
sepenuhnya diserahkan kepada ijtihad manusia itu
sendiri. 
 
Pandangan bahwa syariat adalah suatu "paket lengkap"
yang sudah jadi, suatu resep dari Tuhan untuk
menyelesaikan masalah di segala zaman, adalah wujud
ketidaktahuan dan ketidakmampuan memahami sunnah Tuhan
itu sendiri. Mengajukan syariat Islam sebagai solusi
atas semua masalah adalah sebentuk kemalasan berpikir,
atau lebih parah lagi, merupakan cara untuk lari dari
masalah; sebentuk eskapisme dengan memakai alasan
hukum Tuhan. 
 
Eskapisme inilah yang menjadi sumber kemunduran umat
Islam di mana-mana. Saya tidak bisa menerima
"kemalasan" semacam ini, apalagi kalau ditutup-tutupi
dengan alasan, itu semua demi menegakkan hukum Tuhan.
Jangan dilupakan: tak ada hukum Tuhan, yang ada adalah
sunnah Tuhan serta nilai-nilai universal yang dimiliki
semua umat manusia. 
 
Musuh Islam paling berbahaya sekarang ini adalah
dogmatisme, sejenis keyakinan yang tertutup bahwa
suatu doktrin tertentu merupakan obat mujarab atas
semua masalah, dan mengabaikan bahwa kehidupan manusia
terus berkembang, dan perkembangan peradaban manusia
dari dulu hingga sekarang adalah hasil usaha bersama,
akumulasi pencapaian yang disangga semua bangsa. 
 
Setiap doktrin yang hendak membangun tembok antara
"kami" dengan "mereka", antara hizbul Lah (golongan
Allah) dan hizbusy syaithan (golongan setan) dengan
penafsiran yang sempit atas dua kata itu, antara
"Barat" dan "Islam"; doktrin demikian adalah penyakit
sosial yang akan menghancurkan nilai dasar Islam itu
sendiri, nilai tentang kesederajatan umat manusia,
nilai tentang manusia sebagai warga dunia yang satu. 
 
Pemisah antara "kami" dan "mereka" sebagai akar pokok
dogmatisme, mengingkari kenyataan bahwa kebenaran bisa
dipelajari di mana-mana, dalam lingkungan yang disebut
"kami" itu, tetapi juga bisa di lingkungan "mereka".
Saya berpandangan, ilmu Tuhan lebih besar dan lebih
luas dari yang semata-mata tertera di antara
lembaran-lembaran Quran. 
 
Ilmu Tuhan adalah penjumlahan dari seluruh kebenaran
yang tertera dalam setiap lembaran "Kitab Suci" atau
"Kitab-Tak-Suci", lembaran-lembaran pengetahuan yang
dihasilkan akal manusia, serta kebenaran yang belum
sempat terkatakan, apalagi tertera dalam suatu kitab
apa pun. Kebenaran Tuhan, dengan demikian, lebih besar
dari Islam itu sendiri sebagai agama yang dipeluk oleh
entitas sosial yang bernama umat Islam. Kebenaran
Tuhan lebih besar dari Quran, Hadis dan seluruh korpus
kitab tafsir yang dihasilkan umat Islam sepanjang
sejarah. 
 
Oleh karena itu, Islam sebetulnya lebih tepat disebut
sebagai sebuah "proses" yang tak pernah selesai,
ketimbang sebuah "lembaga agama" yang sudah mati,
baku, beku, jumud, dan mengungkung kebebasan. Ayat
Innaddina 'indal Lahil Islam (QS 3:19), lebih tepat
diterjemahkan sebagai, "Sesungguhnya jalan
religiusitas yang benar adalah
proses-yang-tak-pernah-selesai menuju ketundukan
(kepada Yang Maha Benar)." 
 
Dengan tanpa rasa sungkan dan kikuk, saya mengatakan,
semua agama adalah tepat berada pada jalan seperti
itu, jalan panjang menuju Yang Mahabenar. Semua agama,
dengan demikian, adalah benar, dengan variasi, tingkat
dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati
jalan religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu
keluarga besar yang sama: yaitu keluarga pencinta
jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya. 
 
Maka, fastabiqul khairat, kata Quran (QS 2:148);
berlombalah-lombalah dalam menghayati jalan
religiusitas itu. 
 
Syarat dasar memahami Islam yang tepat adalah dengan
tetap mengingat, apa pun penafsiran yang kita bubuhkan
atas agama itu, patokan utama yang harus menjadi batu
uji adalah maslahat manusia itu sendiri. 
 
Agama adalah suatu kebaikan buat umat manusia; dan
karena manusia adalah organisme yang terus berkembang,
baik secara kuantitatif dan kualitatif, maka agama
juga harus bisa mengembangkan diri sesuai kebutuhan
manusia itu sendiri. Yang ada adalah hukum manusia,
bukan hukum Tuhan, karena manusialah stake holder yang
berkepentingan dalam semua perbincangan soal agama
ini. 
 
Jika Islam hendak diseret kepada suatu penafsiran yang
justru berlawanan dengan maslahat manusia itu sendiri,
atau malah menindas kemanusiaan itu, maka Islam yang
semacam ini adalah agama fosil yang tak lagi berguna
buat umat manusia. 
 
Mari kita cari Islam yang lebih segar, lebih cerah,
lebih memenuhi maslahat manusia. Mari kita tinggalkan
Islam yang beku, yang menjadi sarang dogmatisme yang
menindas maslahat manusia itu sendiri. 
 
ULIL ABSHAR-ABDALLA, Koordinator Jaringan Islam
Liberal (JIL), Jakarta 
 
 
 
=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com
 
__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Web Hosting - Let the expert host your site
http://webhosting.yahoo.com
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar